Bagaimana hubungan lembaga legislatif eksekutif yudikatif di negara indonesia?

Negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang akhirnya pemerintah menerapkan teori trias politika atau pembagian kekuasaan pemerintah menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar yaitu legislatif,eksekutif,dan yudikatif yang saling memiliki hubungan satu sama lain.

Teori trias politika ini dikemukakan oleh Monte Montesquieu mengatakan kekuasaan dibagi 3, yaitu kekuasaan legislatif (Pembentuk UU ) yaitu DPR, DPD, DPRD, kekuasaan eksekutif (Pelaksanaan UU) yaitu lembaga presiden, mentri-mentri, kekuasaan yudikatif (Pengawasan UU) yaitu MA, KY, MK, pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaa-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama,untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.

Bagaimana hubungan lembaga legislatif eksekutif yudikatif di negara indonesia?

Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnyayang diikat dengan prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.

Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat.Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan.Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (publicpolicy).

Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang sebagai cerminan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi.Lembaga ini sering disebut sebagai dewan perwakilan rakyat atau parlemen bagaimanapun juga kekuasaan parlemen walaupun kekuasaannya diberikan langsung oleh rakyat harus dibatasi agar tidak menjadikan parlemen sebagai lembaga perwakilan yang korup, dan hanya menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat (kepentingan umum).

Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang.Di negara-negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya).Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah pemerintah.

Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri.Jumlah anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat oleh legislatif.Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.

Dan lembaga yudikatif yang mengontrol dari legislatif, yang membuat undang-undang karena lembaga legislatif ini ada cendrung kekuasaan partai sehingga harus ada yang mengontrol yaitu lembaga yudikatif. DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan eksekutif atau presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan.Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip pembagian kekuasaan.Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.

Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya.Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.

Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara eksekutif dan legislatif pada masa itu.Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari fraksi Golongan Karya, selalu turut dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri, menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat.Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan impeachment terhadap Gus Dur.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota DPR yang telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat.Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau hubungan antara presiden dengan anggota DPR itu sendiri.Pengaruh yang dimaksud disini adalah tentang relasi antara presiden dan anggota DPR yang tidak kunjung membaik.Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari rakyat.

Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi.Hal ini membuat keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat. Bertolak dari pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem presidensil, maka bisa jadi hubungan yang tidak kunjung membaik antara presiden Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia.

Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislative, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ‘ketakutan’ eksekutif akan kekuasaannya. Yudikatif sangat penting perannya agar terjadinya pencapaian yang memuaskan rakyat, seperti mk yaitu menguji undang-undang yang dibuat dpr yang telah berkordinasi denang eksekutif harus diawasi oleh yudikatif yaitu MK ataupun MA.