Bagaimana Hubungan Kerajaan Kutai dengan Kerajaan-kerajaan lain?

Hubungan Kerajaan Kutai dengan Kerajaan-kerajaan lain

Kutai bisa dikatakan merupakan Kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Hal ini terbukti dengan ditemukan tujuh buah Prasasti Yupa (batu tulis) yang ditulis dengan Huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta.

Yupa tersebut diperkirakan merupakan peninggalan dari abad ke 4 Masehi atau kurang lebih tahun 400 M. Tidak banyak informasi yang menjelaskan tentang nama kerajaan tersebut nama Kutai diambil dari tempat penemuan Yupa itu sendiri, yakni daerah Kutai.

Sebagaimana kerajaan lain yang memerlukan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain. Bagaimana hubungan kerajaan kutai dengan kerajaan-kerajaan lain?

Hubungan Kerajaan Kutai dengan Kerajaan-kerajaan Tetangga.


1 . Hubungan Dengan Kesultanan Banjarmasin

Sebagaimana telah disebutkan, Kesultan Kutai menjadi bawahan Kesultan Banjarmasin, yang diperintah oleh Raja Pangeran Samudra (1595-1620). Diberitakan, bahwa pada waktu Pangeran Samudra merebutkan Kerajaan Negara daha (Hindu), ia menjadi orang yang ditunjuk oleh kakeknya, yang sebenarnya berhak memerintah atas kerajaan tersebut, tetapi takhta Kerajaan Daha dirampas oleh pamannya, Pangeran Tumenggung. Untuk merebut tahta Kerajaan, Pangeran Samudra meminta bantuan tentara kepada raja-raja dari kerajaan yang dianggap sebagai bawahannya. Permintaan bantuan tentara tersebut berhasil, terbukti dengan dapat dikumpulkannya lebih kurang 40.000 orang, antara lain, dari Kutai.

Dalam sejarah dan Hikayat banjar juga disebutkan, bahwa tiap mesin timur, orang Takisung, Tambangan Laut, Kintap, Hasam-Hasam, Pulau Laut, Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, dan Karasikan datang menhaturkan upeti kepada raja Kesultanan Banjarmasin. Sedangkan pada musim barat, mereka kembali ke negeri masing-masing. Hal ini menunjukkan pengakuan dan sekaligus kepatuhan Kesultanan Kutai kepada Kesultanan Banjarmasin. Namun, hubungan kedua kerajaan ini tidak terdengar lagi sejak sekitar tahun 1620. Pasalnya, pada tahun itu Kesultanan Pasir dan Kutai dikuasai oleh orang-orang Makassar, pada waktu Makassar diperintah oleh Sultan Alauddin.

Untuk mengembalikan wilayah Kutai dan Pasir ketangan Banjarmasin, maka Sultan Banjarmasin, maka sultan Banjarmasinmeminta bantuan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang ditandai dengan perjanjian terlaksana, maka armada VOC asal Belanda itu dapat mengembalikan Pasir dan Kutai kepada Banjarmasin dari pengaruh Makassar. Secara berangsur-berangsur, hubungan Kesultanan Banjarmasin dengan Kutai dan Pasir pun pulih kembali. Keduanya mengakui bahwa mereka harus mengirim upeti kepada raja Banjarmasin. Keadaan demikian berlangsung sampai pertengahan abad ke-17 ketika Kesultanan Banjarmasin berada di bawah pemerintahan Penembahan Marhum. Sesudah masa itu, tidak terdengar lagi adanya hubungan antara Kutai dan Pasir dan Banjarmasin.

Selanjutnya, diketahui bahwa kedua raja, Pasir dan Kutai, melakukan kunjungan persahabatan ke Makassar pada tahun 1689. Sejak tahun 1868, Kutai berada di bawah Gouvernement van makassar (pemerintahan Makassar) sampai tahun 1834. Pada tahun 1726, Kutai dikuasai lagi oleh orang-orang Bugis. Sejak itu, tidak pernah ada tindakan dari Kutai yang menunjukkan bahwa ia berada di bawah pengaruh Banjarmasin.

Hal ini dapat dilihat pada waktu Kesultanan Banjarmasin mengadakan perjanjian dengan VOC tahun 1787 yang isinya, antara lain, menyatakan bahwa Banjarmasin melepaskan Tanah Bumbu, Pagatan, Pasir, Kutai, Berau, Bulungan, dan Kotawaringan. Perjanjian dengan Inggris tahun 1812 menyebutkan juga, antara lain, adanya penyerahan seluruh kekuasaan Banjarmasin dan penaklukannya kepada Inggris. Berikutnya, sebuah perjanjian pada tahun 1817 diadakan lagi dengan pemerintahan Hindia-Belanda (pengganti VOC yang bangkrut tahun 1799) setelah Inggris meninggalkan Kalimantan. Isi perjanjian tersebut, antara lain masih menyebutkan bahwa Kesultanan Banjarmasin melepaskan daerah Dayak, Mendawai, Sampit Kotawaringan, Sintang, Lawai, Jelasi, Bekumpai, Tanah laut, Pagatan, Pulau Lau, Pasir, Kutai, dan Berau kepada Pemerintahan Hindia-Belanda. Sedangkan dari sisi Banjarmasin, kesultanan ini masih mengakui bahwa pengaruhnya, termasuk Kutai, walaupun sudah tidak terdengar lagi dari sumber-sumber yang ada tentang pengiriman upeti dari Kutai.

Hubungan Kutai dengan Banjarmasin pada akhir abad ke-17 secara nyata tidak tampak lagi karena Kutai tidak mengadakan suatu kunjungan ataupun penghaturan upeti kepada Banjarmasin. Jadi, dapat dikatakan bahwa kutai berrkembang sendiri tanpa dipengaruhi oleh Banjarmasin. Jadi, dapat dikatakan bahwa Kutai berkembang sendiri tanpa dipengaruhi oleh Banjarmasin. Oleh karena itu, Kutai dapat melakukan perdagangan bebas dengan daerah-daerah disekitarnya sampai masuknya pengaruh Belanda.

2 . Hubungan Dengan Kesultanan Pasir

Menurut salasilah van Kutai, kedua kerajaan ini sudah mempunyai hubungan yang erat melalui hubungan perkawinan antara seorang putri raja keempat Kutai Raja Mandarsah, yang bernama Raja Putri, dengan cucu raja Pasir, Maharaja Sakti, yang bernama Pangeran Tumengung Baya-Baya. Oleh karena Raja Mandarsah tidak mempunyai puta laki-laki, maka yang menggantikannya adalah Pangeran Tumenggung Baya-Baya dari Pasir. Ia menjadi raja kelima Kutai, yang memerintah kurang lebih tahun 1530-1565.

Pada tahun 1671, Paulus de Bock datang ke Kutai dengan kapal Chialoup de Nooman disebabkan oleh keterlambatan musim angin timur. Tujuan sebenarnya adalah Kepulauan Sulu, demikian menurut Mees. Sementara, menurut Eisenberger, kedatangan Paulus ke kutai sesungguhnya untuk mengadakan hubungan dagang sebagai utusan Kompeni. Karena kedatangannya di Kutai diterima penduduk dengan kecurigaan sehingga usaha-usahanya tidak berhasil, maka ia pun melanjutkan perjalanannya ke Burau. Sesudah dari Berau, ia ternyata kembali lagi ke Kutai. Ia ingin mengadakan hubungan dagang dengan pasir, tetapi keinginannya terhalang karena antara Kutai dan Pasir sering terjadi perampasan dan perampokan di sekitar daerah tersebut sehingga daerah itu semakin tidak aman. Hubungan yang tegang ini berubah membaik pada tahun 1686 sehingga hubungan kerjasama diantara keduanya dapat terselenggara. Hal ini ditandai dengan kunjungan muhibah bersama antara raja Kutai dan raja Pasir ke Makassar .

Sejak itu, kuatlah hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Kutai dan Kesultanan Pasir. Keadaan demikian ini makin diperkuat melalui hubungan perkawinan antara raja Kutai (Sultan Muhammad Idris) dan putri sultan Pasir yang berdarah Bugis, bernama Aji Doya, putri Aru Singkang dari Wajo, yang menjadi Raja di Pasir pada pertengahan abad ke-18. Aji Doya adalah cucu Sultan Sepu Alamsyah. Selain itu, pada waktu Raja Pasir Sultan Sulaiman Alamsyah meninggal dunia, Sultan kutai Muhammad Muslihuddin mengirim putranya, Aji Kuncar, untuk menyatakan turut berbela sungkawa. Ia tinggal di Pasir agak lama dan tertarik dengan putri Sultan Ibrahim Alamsyah (yang menggantikan sultan yang meninggal), bernama Aji Jawiyah. Aji Kuncar menikahi putri Pasir itu. Ia kemudian menjadi Sultan Kutai yang begelar Sultan Muhammad Salehuddin.

3 . Hubungan Dengan Kesultanan Berau Dan Bulungan

Dari sumber-sumber yang ada dikatakan bahwa terjadi hubungan perdagangan antara Kutai dan Berau dan Bulungan, yang letraknya di utara-timur Kalimantan. Hubungan perdangan ini dapat dilihat dari hasil-hasil keduanya yang banyak dikirim ke Pelabuhan Samarinda pada abad ke-19, misalnya sarang burung putih dan hitam, lilin, teripang, karet, emas dan kare telastis.

Dari silsilah raja-raja Kutai yang ditulis oleh Veth, dikatakan bahwa Raja Terawe, putra raja Wajo (Raja Peniki), lari ke Kutai dan mendirikan tempat pemukiman orang-orang Bugis di Samarinda. Ia sendiri diangkat sebagai kepalanya. Mula-mula, hubungan Raja Tarawe menuduh bahwa sultanlah yang memerintahkan untuk membakar tempat pemukimannya. Alhasil, ia menyerang istana Sultan di Tenggarong. Sultan sempat melarikan diri ke daerah yang lebih tinggi di Amahakam, yaitu ke Muara Kaman. Kendati demikian, permusuhan Raja Terawe ini cepat berakhir karena setelah Raja Terawe meninggal; dan kedudukannya digantikan oleh putranya Raden Pateh.

Hubungan antara keduanya menjadi baik, bahkan dikuatkan dengan perkawinannya Raden Petah dengan putri dari sultan, Aji Bungsu. Mereka mempunyai anak bernama Pangeran Mangku Bumi. Belakangan, hubungan Raden Petah dengan sultan menjadi tidak baik sehingga Raden Petah dipaksa keluar dari Samarinda. Ia lalu pergi ke Berau dengan terus ke Bulungan hingga ia wafat di sana. Anaknya kembali ke Kutai bersama-sama dengan pengikutnya, orang-orang Tidung, dalam jumlah lebih kurang 1.000 orang. Mereka menempati daerah Sanga-sanga dan Liu pada pertemuan dua sungai kecil di Mahakam. Selanjutnya, Pangeran Mangkubumi diakui sebagai pemimpim oleh pengikutnya. Itulah salah satu sebab mengapa di Kutai banyak orang Tidung yang berasal dari Bulungan.

4 . Hubungan Dengan Daerah-Daerah Di Luar Kalimantan (Jawa Dan Sulawesi)

Hubungan Dengan Daerah-Daerah Di Pulau Jawa

Hubungan antara kesultanan Kutai dan daerah-daerah di pulau jawa sudah ada sejak kerajaan ini mulai berdiri, terutama dengan kerajaan majapahit, sebagaimana telah terurai dimuka. Perkembangannya untuk menjadi pusat perdagangan makin pesat karena letaknya yang berada pada rute-rute perdagangan antara china, Filipina, dan kerajaan majapahit. Keadaan ini mempermudah kesultanan Kutai untuk mengadakan hubungan dengan daerah-daerah di jawa.

Pada waktu kerajaan singosari di jawa dikuasai oleh kerajaan majapahit pada abad ke-13, bersamaan dengan abad berdirinya Kesultanan Kutai Kertanegara, maka diperkirakan bahwa pelarian dari Singosari kemudian mendirikan permukiman mereka dipantai timur Kalimantan dan menyebut tempat pemukiman mereka dengan “Kertanegara” dalam memperingati Raja Kertanegara (1268-1292), yang sedemikian dihormatinya. Hall juga menulis bahwa kota-kota di Kalimantan melakukan perdagangan dengan membayar upeti ke Jawa sebelum berdagang langsung dengan China pada abad ke-15.

Pengaruh hubungan dengan Jawa sangat terasa sekali dengan kerajaan, misalnya dengan gelar-gelar raja. Bahkan bahasa Kutai pun telah tercampuri bahasa Jawa. menurut catatan All Weddik, diantara penduduk Kutai pun terdapat beberapa orang dari Jawa dengan mata pencaharian menjalankan perdagangan di daerah-daerah kutai.

  • Hubungan dengan Sulawesi

Hubungan Kerajaan Kutai dengan Kerajaan-kerajaan Tetangga.


1 . Hubungan Dengan Kesultanan Banjarmasin

Sebagaimana telah disebutkan, Kesultan Kutai menjadi bawahan Kesultan Banjarmasin, yang diperintah oleh Raja Pangeran Samudra (1595-1620). Diberitakan, bahwa pada waktu Pangeran Samudra merebutkan Kerajaan Negara daha (Hindu), ia menjadi orang yang ditunjuk oleh kakeknya, yang sebenarnya berhak memerintah atas kerajaan tersebut, tetapi takhta Kerajaan Daha dirampas oleh pamannya, Pangeran Tumenggung. Untuk merebut tahta Kerajaan, Pangeran Samudra meminta bantuan tentara kepada raja-raja dari kerajaan yang dianggap sebagai bawahannya. Permintaan bantuan tentara tersebut berhasil, terbukti dengan dapat dikumpulkannya lebih kurang 40.000 orang, antara lain, dari Kutai.

Dalam sejarah dan Hikayat banjar juga disebutkan, bahwa tiap mesin timur, orang Takisung, Tambangan Laut, Kintap, Hasam-Hasam, Pulau Laut, Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, dan Karasikan datang menhaturkan upeti kepada raja Kesultanan Banjarmasin. Sedangkan pada musim barat, mereka kembali ke negeri masing-masing. Hal ini menunjukkan pengakuan dan sekaligus kepatuhan Kesultanan Kutai kepada Kesultanan Banjarmasin. Namun, hubungan kedua kerajaan ini tidak terdengar lagi sejak sekitar tahun 1620. Pasalnya, pada tahun itu Kesultanan Pasir dan Kutai dikuasai oleh orang-orang Makassar, pada waktu Makassar diperintah oleh Sultan Alauddin.

Untuk mengembalikan wilayah Kutai dan Pasir ketangan Banjarmasin, maka Sultan Banjarmasin, maka sultan Banjarmasinmeminta bantuan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang ditandai dengan perjanjian terlaksana, maka armada VOC asal Belanda itu dapat mengembalikan Pasir dan Kutai kepada Banjarmasin dari pengaruh Makassar. Secara berangsur-berangsur, hubungan Kesultanan Banjarmasin dengan Kutai dan Pasir pun pulih kembali. Keduanya mengakui bahwa mereka harus mengirim upeti kepada raja Banjarmasin. Keadaan demikian berlangsung sampai pertengahan abad ke-17 ketika Kesultanan Banjarmasin berada di bawah pemerintahan Penembahan Marhum. Sesudah masa itu, tidak terdengar lagi adanya hubungan antara Kutai dan Pasir dan Banjarmasin.

Selanjutnya, diketahui bahwa kedua raja, Pasir dan Kutai, melakukan kunjungan persahabatan ke Makassar pada tahun 1689. Sejak tahun 1868, Kutai berada di bawah Gouvernement van makassar (pemerintahan Makassar) sampai tahun 1834. Pada tahun 1726, Kutai dikuasai lagi oleh orang-orang Bugis. Sejak itu, tidak pernah ada tindakan dari Kutai yang menunjukkan bahwa ia berada di bawah pengaruh Banjarmasin.

Hal ini dapat dilihat pada waktu Kesultanan Banjarmasin mengadakan perjanjian dengan VOC tahun 1787 yang isinya, antara lain, menyatakan bahwa Banjarmasin melepaskan Tanah Bumbu, Pagatan, Pasir, Kutai, Berau, Bulungan, dan Kotawaringan. Perjanjian dengan Inggris tahun 1812 menyebutkan juga, antara lain, adanya penyerahan seluruh kekuasaan Banjarmasin dan penaklukannya kepada Inggris. Berikutnya, sebuah perjanjian pada tahun 1817 diadakan lagi dengan pemerintahan Hindia-Belanda (pengganti VOC yang bangkrut tahun 1799) setelah Inggris meninggalkan Kalimantan. Isi perjanjian tersebut, antara lain masih menyebutkan bahwa Kesultanan Banjarmasin melepaskan daerah Dayak, Mendawai, Sampit Kotawaringan, Sintang, Lawai, Jelasi, Bekumpai, Tanah laut, Pagatan, Pulau Lau, Pasir, Kutai, dan Berau kepada Pemerintahan Hindia-Belanda. Sedangkan dari sisi Banjarmasin, kesultanan ini masih mengakui bahwa pengaruhnya, termasuk Kutai, walaupun sudah tidak terdengar lagi dari sumber-sumber yang ada tentang pengiriman upeti dari Kutai.

Hubungan Kutai dengan Banjarmasin pada akhir abad ke-17 secara nyata tidak tampak lagi karena Kutai tidak mengadakan suatu kunjungan ataupun penghaturan upeti kepada Banjarmasin. Jadi, dapat dikatakan bahwa kutai berrkembang sendiri tanpa dipengaruhi oleh Banjarmasin. Jadi, dapat dikatakan bahwa Kutai berkembang sendiri tanpa dipengaruhi oleh Banjarmasin. Oleh karena itu, Kutai dapat melakukan perdagangan bebas dengan daerah-daerah disekitarnya sampai masuknya pengaruh Belanda.

2 . Hubungan Dengan Kesultanan Pasir

Menurut salasilah van Kutai, kedua kerajaan ini sudah mempunyai hubungan yang erat melalui hubungan perkawinan antara seorang putri raja keempat Kutai Raja Mandarsah, yang bernama Raja Putri, dengan cucu raja Pasir, Maharaja Sakti, yang bernama Pangeran Tumengung Baya-Baya. Oleh karena Raja Mandarsah tidak mempunyai puta laki-laki, maka yang menggantikannya adalah Pangeran Tumenggung Baya-Baya dari Pasir. Ia menjadi raja kelima Kutai, yang memerintah kurang lebih tahun 1530-1565.

Pada tahun 1671, Paulus de Bock datang ke Kutai dengan kapal Chialoup de Nooman disebabkan oleh keterlambatan musim angin timur. Tujuan sebenarnya adalah Kepulauan Sulu, demikian menurut Mees. Sementara, menurut Eisenberger, kedatangan Paulus ke kutai sesungguhnya untuk mengadakan hubungan dagang sebagai utusan Kompeni. Karena kedatangannya di Kutai diterima penduduk dengan kecurigaan sehingga usaha-usahanya tidak berhasil, maka ia pun melanjutkan perjalanannya ke Burau. Sesudah dari Berau, ia ternyata kembali lagi ke Kutai. Ia ingin mengadakan hubungan dagang dengan pasir, tetapi keinginannya terhalang karena antara Kutai dan Pasir sering terjadi perampasan dan perampokan di sekitar daerah tersebut sehingga daerah itu semakin tidak aman. Hubungan yang tegang ini berubah membaik pada tahun 1686 sehingga hubungan kerjasama diantara keduanya dapat terselenggara. Hal ini ditandai dengan kunjungan muhibah bersama antara raja Kutai dan raja Pasir ke Makassar .

Sejak itu, kuatlah hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Kutai dan Kesultanan Pasir. Keadaan demikian ini makin diperkuat melalui hubungan perkawinan antara raja Kutai (Sultan Muhammad Idris) dan putri sultan Pasir yang berdarah Bugis, bernama Aji Doya, putri Aru Singkang dari Wajo, yang menjadi Raja di Pasir pada pertengahan abad ke-18. Aji Doya adalah cucu Sultan Sepu Alamsyah. Selain itu, pada waktu Raja Pasir Sultan Sulaiman Alamsyah meninggal dunia, Sultan kutai Muhammad Muslihuddin mengirim putranya, Aji Kuncar, untuk menyatakan turut berbela sungkawa. Ia tinggal di Pasir agak lama dan tertarik dengan putri Sultan Ibrahim Alamsyah (yang menggantikan sultan yang meninggal), bernama Aji Jawiyah. Aji Kuncar menikahi putri Pasir itu. Ia kemudian menjadi Sultan Kutai yang begelar Sultan Muhammad Salehuddin.

3 . Hubungan Dengan Kesultanan Berau Dan Bulungan

Dari sumber-sumber yang ada dikatakan bahwa terjadi hubungan perdagangan antara Kutai dan Berau dan Bulungan, yang letraknya di utara-timur Kalimantan. Hubungan perdangan ini dapat dilihat dari hasil-hasil keduanya yang banyak dikirim ke Pelabuhan Samarinda pada abad ke-19, misalnya sarang burung putih dan hitam, lilin, teripang, karet, emas dan kare telastis.

Dari silsilah raja-raja Kutai yang ditulis oleh Veth, dikatakan bahwa Raja Terawe, putra raja Wajo (Raja Peniki), lari ke Kutai dan mendirikan tempat pemukiman orang-orang Bugis di Samarinda. Ia sendiri diangkat sebagai kepalanya. Mula-mula, hubungan Raja Tarawe menuduh bahwa sultanlah yang memerintahkan untuk membakar tempat pemukimannya. Alhasil, ia menyerang istana Sultan di Tenggarong. Sultan sempat melarikan diri ke daerah yang lebih tinggi di Amahakam, yaitu ke Muara Kaman. Kendati demikian, permusuhan Raja Terawe ini cepat berakhir karena setelah Raja Terawe meninggal; dan kedudukannya digantikan oleh putranya Raden Pateh.

Hubungan antara keduanya menjadi baik, bahkan dikuatkan dengan perkawinannya Raden Petah dengan putri dari sultan, Aji Bungsu. Mereka mempunyai anak bernama Pangeran Mangku Bumi. Belakangan, hubungan Raden Petah dengan sultan menjadi tidak baik sehingga Raden Petah dipaksa keluar dari Samarinda. Ia lalu pergi ke Berau dengan terus ke Bulungan hingga ia wafat di sana. Anaknya kembali ke Kutai bersama-sama dengan pengikutnya, orang-orang Tidung, dalam jumlah lebih kurang 1.000 orang. Mereka menempati daerah Sanga-sanga dan Liu pada pertemuan dua sungai kecil di Mahakam. Selanjutnya, Pangeran Mangkubumi diakui sebagai pemimpim oleh pengikutnya. Itulah salah satu sebab mengapa di Kutai banyak orang Tidung yang berasal dari Bulungan.

4 . Hubungan Dengan Daerah-Daerah Di Luar Kalimantan (Jawa Dan Sulawesi)

  • Hubungan Dengan Daerah-Daerah Di Pulau Jawa

    Hubungan antara kesultanan Kutai dan daerah-daerah di pulau jawa sudah ada sejak kerajaan ini mulai berdiri, terutama dengan kerajaan majapahit, sebagaimana telah terurai dimuka. Perkembangannya untuk menjadi pusat perdagangan makin pesat karena letaknya yang berada pada rute-rute perdagangan antara china, Filipina, dan kerajaan majapahit. Keadaan ini mempermudah kesultanan Kutai untuk mengadakan hubungan dengan daerah-daerah di jawa.

    Pada waktu kerajaan singosari di jawa dikuasai oleh kerajaan majapahit pada abad ke-13, bersamaan dengan abad berdirinya Kesultanan Kutai Kertanegara, maka diperkirakan bahwa pelarian dari Singosari kemudian mendirikan permukiman mereka dipantai timur Kalimantan dan menyebut tempat pemukiman mereka dengan “Kertanegara” dalam memperingati Raja Kertanegara (1268-1292), yang sedemikian dihormatinya. Hall juga menulis bahwa kota-kota di Kalimantan melakukan perdagangan dengan membayar upeti ke Jawa sebelum berdagang langsung dengan China pada abad ke-15.

    Pengaruh hubungan dengan Jawa sangat terasa sekali dengan kerajaan, misalnya dengan gelar-gelar raja. Bahkan bahasa Kutai pun telah tercampuri bahasa Jawa. menurut catatan All Weddik, diantara penduduk Kutai pun terdapat beberapa orang dari Jawa dengan mata pencaharian menjalankan perdagangan di daerah-daerah kutai.

  • Hubungan dengan Sulawesi

    Hubungan Kesultanan Kurtai dengan Sulawesi, terutama dengan orang- orang Makassar, seperti telah disebutkan, yakni dengan didudukinya Kutai oleh orang-orang Makassar pada tahun 1620 dan kemudian melalui kunjungan Sultan Kutai ke Makassar pada tahun 1686. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan yang baik antara Kutai dan Makassar.

    Selanjutnya pada tahun 1726, Kutai yang dikatakan menjadi bawahan Banjarmasin, diduduki oleh Aru Singkang, seorang putra dari Wajo (Sulawesi). Setelah menguasai Pasir, ia menguasai Kutai, kemudian kembali ke Wajo menjadi raja Wajo. Ia dikenal dengan nama Aru Panik/Raja Peniki. Putranya, Petta seberangon, disebut juga Raja Bengarun, menikah dengan putri sultan, yang bernama Anden Ajang alias Aji Ratu. mereka kemudian diberi nama putri yang diberi nama Aji Doya. Aji Doya ini kemudian menikah dengan Sultan Kutai (Sultan Muhammad Idris). Dari perkawinan mereka, lahirlah Aji Imbut/Sultan Muslihuddin yang menjadi raja Kutai berdarah Bugis.

    Sementara itu, putra Aru Peniki yang lain, yang bernama Raja Tarawe/Pangeran Terawe/Patta To Rawe, pergi ke Kutai. Ia diizinkan oleh Sultan Muhammad Idris untuk menempati Samarinda Sebrang dan diangkat sebagai pemimpin orang-orang bugis di sana. Sultan menempatkan orang-orang Bugis disana untuk mencegah perompakan dari bajak laut Lanun. Kemudian Sultan mengadakan perjanjian dengan orang Bugis, yang isinya antara lain bahwa Bugis dan Kutai harus saling membantu.

    Demikianlah, pemerintahan Aji Imbut/Sultan Aji Muhammad Muslihuddin/Sultan Muslihuddin tahun 1780-1816 menadapat dukungan orang- orang Bugis. Oleh Pua Adu la Tojeng Daeng Ri Petta atau Raden Patah (saudara sepupu istri Sultan Muslihuddin bernama Pua Abeng dari Kerajaan Wajo), ditempatkan 200 orang Bugis di Tenggarong. Orang-orang ini dikepalai oleh adik dan ipar Pua Adu, masing-masing bernama Kapiten La Hapide Daeng Parani dan Anderi Guru La Makkasau Daeng Mappuna. Sejak inilah, Tenggarong berkembang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura sampai pada masa pemerintahan sultan yang terakhir, yaitu Aji Muhammad Parikesit.Hubungan Kesultanan Kurtai dengan Sulawesi, terutama dengan orang- orang Makassar, seperti telah disebutkan, yakni dengan didudukinya Kutai oleh orang-orang Makassar pada tahun 1620 dan kemudian melalui kunjungan Sultan Kutai ke Makassar pada tahun 1686. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan yang baik antara Kutai dan Makassar.

    Selanjutnya pada tahun 1726, Kutai yang dikatakan menjadi bawahan Banjarmasin, diduduki oleh Aru Singkang, seorang putra dari Wajo (Sulawesi). Setelah menguasai Pasir, ia menguasai Kutai, kemudian kembali ke Wajo menjadi raja Wajo. Ia dikenal dengan nama Aru Panik/Raja Peniki. Putranya, Petta seberangon, disebut juga Raja Bengarun, menikah dengan putri sultan, yang bernama Anden Ajang alias Aji Ratu. mereka kemudian diberi nama putri yang diberi nama Aji Doya. Aji Doya ini kemudian menikah dengan Sultan Kutai (Sultan Muhammad Idris). Dari perkawinan mereka, lahirlah Aji Imbut/Sultan Muslihuddin yang menjadi raja Kutai berdarah Bugis.

    Sementara itu, putra Aru Peniki yang lain, yang bernama Raja Tarawe/Pangeran Terawe/Patta To Rawe, pergi ke Kutai. Ia diizinkan oleh Sultan Muhammad Idris untuk menempati Samarinda Sebrang dan diangkat sebagai pemimpin orang-orang bugis di sana. Sultan menempatkan orang-orang Bugis disana untuk mencegah perompakan dari bajak laut Lanun. Kemudian Sultan mengadakan perjanjian dengan orang Bugis, yang isinya antara lain bahwa Bugis dan Kutai harus saling membantu.

    Demikianlah, pemerintahan Aji Imbut/Sultan Aji Muhammad Muslihuddin/Sultan Muslihuddin tahun 1780-1816 menadapat dukungan orang- orang Bugis. Oleh Pua Adu la Tojeng Daeng Ri Petta atau Raden Patah (saudara sepupu istri Sultan Muslihuddin bernama Pua Abeng dari Kerajaan Wajo), ditempatkan 200 orang Bugis di Tenggarong. Orang-orang ini dikepalai oleh adik dan ipar Pua Adu, masing-masing bernama Kapiten La Hapide Daeng Parani dan Anderi Guru La Makkasau Daeng Mappuna. Sejak inilah, Tenggarong berkembang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura sampai pada masa pemerintahan sultan yang terakhir, yaitu Aji Muhammad Parikesit.