Bagaimana hubungan antara Perjanjian Internasional dengan Hukum Nasional?

Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.”

Bagaimana hubungan antara Perjanjian Internasional dengan Hukum Nasional ?

Dua perkembangan pesat dewasa ini telah membuat sistem Indonesia menggeliat. Pertama adalah perkembangan internal yaitu reformasi ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan proses demokratisasi dalam bidang hukum untuk menuju suatu sistem hukum modern, dan kedua adalah faktor eksternal yaitu globalisasi yang memaksa kehadiran instrumen asing seperti perjanjian internasional di dalam sistem hukum yang sedang bereformasi.

Di kalangan pakar hukum Indonesia sendiri, persoalan yang lebih teknis- yuridis juga belum mencapai titik kesepakatan. Apakah berlakunya perjanjian internasional di level internasional secara otomatis menjadikannya berlaku di hukum nasional ?

Pro dan kontra terhadap pertanyaan ini semakin mengemuka di perdebatan publik antara para pakar hukum dari berbagai bidang. Kementerian Luar Negeri yang paling terkena dampak akibat ketidakseragaman pemahaman publik tentang perjanjian internasional telah berusaha mempertemukan berbagai kelompok pakar dari berbagai disiplin ilmu hukum tata negara dan hukum internasional, guna memetakan kecenderungan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan referensi. Diskusi ini setidaknya berhasil menginventarisasi berbagai pemikiran yang hidup di kalangan pakar hukum tentang bagaimana mereka memandang status perjanjian internasional dalam hukum nasional.

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen perundang- undangan yang jelas pula.

Pada konteks Konvensi Wina 1969, pengertian perjanjian internasional yang dimaksud dalam Pasal 11 UUD 1945 sebelum perubahan hanya melihat perjanjian internasional terbatas sebagai perjanjian antara subjek hukum internasional negara dengan negara. Dengan demikian, rumusan awal dari UUD 1945 tersebut tidak mencakup perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta perjanjian antara organisasi internasional dengan organisasi internasional.

Hukum, doktrin dan praktik Indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional Republik Indonesia belum berkembang dan acap kali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional di dalam kerangka ketidakjelasan. Ini merupakan akibat dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam dunia praktik dalam menjawab tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum Republik Indonesia.

Menurut Damos Dumoli Agusman, dalam tataran praktis, di kalangan pemerintah dan opini publik berkembang berbagai alur pemikiran yang dapat dipetakan sebagai berikut :

  1. Alur pemikiran yang menempatkan perjanjian internasional yang telah disahkan (diratifikasi) sebagai bagian dari hukum nasional.
  2. Alur pemikiran yang mengharuskan adanya legislasi nasional tersendiri untuk mengimplementasikan suatu perjanjian internasional yang telah disahkan.

Istilah perjanjian internasional dalam UUD 1945 baru muncul setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945 pada tahun 2001 yang menambahkan dua ayat baru pada Pasal 11 UUD 1945 dan menjadikan rumusan lama Pasal 11 UUD 1945 sebagai ayat pertama.

Rumusan lengkap Pasal 11 UUD 1945 adalah sebagai berikut41 :

  1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;
  2. Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
  3. Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan Undang-undang.

Perumusan Pasal 11 UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas, rumusan ayat (2) dan ayat (3) berupaya memberi penjelasan bahwa perjanjian internasional tidak hanya diartikan sebagai perjanjian dengan negara lain, tetapi perjanjian internasional dalam pemahaman perjanjian internasional yang diakui dalam hukum internasional.

Negara di satu sisi masih menjadi subjek hukum yang utama namun di sisi lain peningkatan peran subjek-subjek bukan negara tidak dapat dipungkiri telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan hukum internasional.

Sebagai bukti atas hal tersebut, bisa dilihat definisi hukum internasional yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa :
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

1). Negara dengan negara;
2). Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.”

Definisi di atas memperlihatkan bahwa hukum internasional bukan hanya dapat dibentuk oleh negara namun juga dapat dibuat oleh subjek-subjek yang bukan negara.
Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki sebuah peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Internasional dalam rangka mendukung penyelenggaran hubungan luar negeri yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan kepastian hukum yang lebih kuat yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang mana memberikan definisi tersendiri untuk perjanjian internasional, yaitu

Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri juga memberikan definisi Perjanjian Internasional, yaitu :

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.

Kedua perangkat hukum dimaksud merupakan landasan hukum yang mengikat bagi pemerintah pusat dan pelaku hubungan luar negeri lainnya termasuk unsur-unsur daerah dalam melaksanakan hubungan luar negeri. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi praktik, elemen-elemen perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Konvensi Wina telah dipenuhi.

Namun, praktik pembuatan perjanjian internasional di Indonesia masih menyisakan kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan Governed by International Law, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat Pemerintah RI dengan subjek hukum internasional dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti loan agreements atau perjanjian pinjaman.

Dalam tatanan teoritis maupun praktik-praktik termasuk Indonesia, ditemukan pula jenis perjanjian yang bersifat administratif yang dibuat antara lembaga pemerintah/negara Indonesia dengan lembaga pemerintah/negara asing misalnya perjanjian antara Kementerian Indonesia dengan Kementerian negara sahabat, termasuk perjanjian antara Pemerintah Daerah seperti MoU Sister City/Sister Province. Perjanjian ini (pada umumnya dalam bentuk MoU) masih menimbulkan kontraversi terkait statusnya sebagai suatu perjanjian internasional (treaty).