Bagaimana Hubungan Antara Konsep Sosiologi dan Sastra?

image
Seperti yang kita ketahui jika sosiologi dan sastra merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Apakah keduanya memiliki hubungan? Bagaimanakah konsepnya?

Konsep sastra di Indonesia memang berkembang lebih lambat dibanding sastra Barat. Harus kita akui, di Indonesia, yang disebut konspsi pascamodernime sastra selalu mengekor ke barat. Terlebih lagi sosiologi sastra dalam konteks posmodernisme, jelas datang terlambat. Para peneliti sastra, masih terlalu berkutat pada konsep-konsep sosiologi lama, yang kurang menjanjikan mengejjar makna.

Yang terjadi, penelitian sosiologi sastra masih selalu bergumul pada pola struktural. Konsep sastra yang indah, belum banyak dibedah melalui jagad sosiologi. Akibatnya titik temu konsep sastra dan sosiolog masih terus perlu dilacak. Pola-pola penelitian di jagad modernisme, masih sering mengganggu perkembangan konsep sastra dan konsep sosial sastra. Padahal, kalau mau mengakui, ke depan harus ada terobosan penelitian sastra yang benanr-benar canggih. Konsep sosiologi sastra yang mampu memanfaatkan konsep sastra dan konsep sosiologi secara padu, tentu akan menghasilkan penelitian yang lebih bermanfaat.

Konsep penelitian sosiologi sastra sering rancu (berat sebelah), antara konsep sastra dan konsep sosiologi. Banyak peneliti yang mulai bingung, ketika berhadapan dengan penelitian konsep tersebut. Maksudnya, apakah akan menggunakan konsep sastra atau konsep sosiologi, atau gabungan keduanya. Ratna (2003:17-18) memang telah memaparkan masalah konsep sosiologi sastra. Dia juga merunut etimologi kata konsep itu. Implikasi perunutan, dia mengemukakan beberapa konsep sosial dan konsep sosiologi sastra yang dapat dipadukan. Secara etimologis, konsep berasal dari kata theoria (Yunani), berarti kontemplasi kosmos atau realitas. Setelah mengalami perluasan makna, secara definitif konsep diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannva, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan di satu pihak, aplikasi dalam penelitian praktis di pihak yang lain.

Dari konsep yang sering digunakan dalam penelitian sosiologi sastra, memang sering kurang proporsional. Menurut hemat saya, penelitian konsep sosiologi sastra seharusnya konsentransi pada konsep sastra, khususnya konsep sosial sastra. Konsep sosial sastra menjadi grand theory, sedangkan konsep sosiologis sebagai supporting theory. Konsep sosial sastra berfungsi untuk mengubah dan membangun pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sosiologi sastra. Dalam penelitian, konsep sosial sastra berfungsi untuk mengarahkan, sebagai penunjuk jalan agar suatu penelitian tidak kehilangan arah. Karena itulah, menurut Goldmann (dalam Elizabeth dan Tom Burns, 1973: 111), apabila terjadi ketidaksesuaian dengan objek dan data penelitian, maka yang dimodifikasi adalah konsep, bukan objeknya. Dalam suatu penelitian hendaknya hanya ada satu konsep, dengan kalimat lain, apabila memanfaatkan lebih dari satu konsep, maka konsepkonsep yang lain berfungsi sebagai subkonsep. Konsep yang valid dapat dioperasikan di balik gejala sehingga penelitian memberikan hasil secara maksimal.

Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra, secara harfiah mesti ditopang oleh dua konsep yang berbeda, yaitu konsep-konsep sosiologi dan konsep-konsep sastra. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal. Dalam sosiologi sastra yang seharusnya mendominasi jelas konsep-konsep yang berkaitan dengan sastra, sedangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer. Bahkan akan lebih tajam lagi jika para peneliti lebih spesifik, sehingga muncul sosiologi puisi, sosiologi novel, sosiologi drama, dan sebagainya. Hal ini saya dasarkan asumsi kritis bahwa setiap genre sastra tentu memiliki kekhususan konsep sosial yang berlainan.

Konsep-konsep sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah konsep-konsep yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial. Perlu diingat, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek- aspek ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial, dan sebagainva, tidak mudah diuraikan dengan konsep sastra. Sesuai dengan kedudukannya, sebagai ilmu-ilmu bantu, konsep-konsep sosiologi dibicarakan secara implisit. Memang banyak konsep sosiologi, namun ketika konsep sosial sastra ada, belum menemui jalan buntu, seyogyanya peneliti memanfaatkan konsep sastra. Konsep Karl Marx (khususnya paradigma kelompok para-Marxis) dalam membicarakan sistem sosiokultural, misalnya analisis ideologi, polarisasi superstruktur ideologis dan infrastruktur material memang sering mewarnai penelitian sosiologi sastra. Konsep Difford Geertz dalam membicarakan sistem simbol kebudayaan, misalnya analisis karya seni sebagai sistem simbol, karya sebagai bagian integral struktur sosial, juga tidak terlalu berlebihan jika dipergunakan. Begitu pula konsep pertunjukan ritual dari Victor Turner, kiranya dapat membantu penelitian sosiologi sastra

Konsep-konsep sastra yang terkait langsung dengan sosiologi sastra, antara lain:

  1. Konsep resepsi (penerimaan masyarakat tertentu terhadap karya tertentu), oleh Leo Lowenthal,
  2. Konsep hegemoni (karya dengan kekuatan wacana internal dalam mengevokasi struktur sosial), oleh Antonio Gramsci,
  3. Konsep trilogi pengarang-karya-pembaca (karya sastra sekaligus dalam kaitannya dengan subjek kreator dan audiens), oleh Rene Wellek/Austin Warren dan Ian Watt,
  4. Konsep refraksi (sebagai institusi, di samping merefleksikan, sastra juga merupakan bias terhadap masyarakat), oleh Harry Levin,
  5. Konsep patronase (karya dalam kaitannya dengan pelindung proses kreativitas), oleh Robert Escarpit,
  6. Konsep retorika sejarah (kesejajaran antara narasi sejarah dengan sastra), oleh Hayden White,
  7. Konsep anonimitas (kematian pengarang), oleh Roland Barthes,
  8. Konsep dialogis (karya sebagai suara rangkap dan polifoni), oleh Mikhail Bakhtin,
  9. Konsep dekonstruksi (proliferasi makna karya dengan cara mensubversi pusat), oleh Jacques Derrida, dan sebagainya,
  10. Konsep mimesis (karya seni sebagai tiruan masyarakat), oleh Plato dan Aristoteles,
  11. Konsep sosiogeografis (pengaruh alam sekitar terhadap karya), oleh Johan Gottfried von Herder dan Madame de Stael,
  12. Konsep genetis (pengaruh ras, saat, dan lingkungan terhadap asal-usul karya), oleh Hippolyte Taine,
  13. Konsep struktur kelas (karya seni sebagai cermin kelas sosial tertentu), baik oleh kelompok Marxis ortodoks maupun kelompok para-Marxis, sebagai Marxis strukturalis, seperti: George Lukacs, sebagai Marxis ortodoks, Marxis dogmatis, dengan ciri khas sastra sebagai refleksi struktur mental masvarakat.

Konsep-konsep lain seperti Taine, Swingewood, Junus, dan Goldmann juga perlu dikembangkan, disesuaikan dengan bahan penelitian. Adaptasi konsep sosial sastra memang cukup penting, agar konsep yang digunakan mampu membedah karya sastra yang dihadapi. Keragaman konsep sosial sastra tersebut, sering menggoda para peneliti. Umumnya, mereka masih ragu ketika memanfaatkan konsep penelitian, sebab harus menyesuaikan bahan penelitian, sasaran, dan tujuan yang hendak dicapai. Keluasan bahan penelitian, akan menentukan pilihan konsep mana yang dianggap tepat.

Menurut Ratna (2003:17-20) dengan tampilnya sosiologi sastra sebagai disiplin yang otonom, khususnya sesudah timbulnya kesadaran bahwa analisis strukturalisme memiliki keterbatasan, sebagai metode yang mengalienasikan karya terhadap struktur sosial yang menghasilkannya, lahirlah konsep-konsep yang secara spesifik, yang secara konseptual paradigmatis ditujukan dalam analisis sosiologi sastra. Sama seperti konsep-konsep sosiologi, konsep-konsep sosiologi sastra pada umumnya diadopsi melalui konsep-konsep Barat yang kemudian disesuaikan dengan kondisi-kondisi sastra Indonesia. Secara kronologis dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu:

  • Konsep-konsep positivistik (hubungan searah, keberadaan karya sastra ditentukan oleh struktur sosial),
  • Konsep-konsep refleksi (hubungan dwiarah, tetapi sastra masih bersifat pasif),
  • Konsep-konsep dialektik (hubungan dwiarah, sastra dan masyarakat berada dalam kondisi saling menentukan), dan
  • Konsep-konsep poststrukturalisme (hubungan dwiarah, signifikasi kedua gejala hadir secara simultan).

Antara konsep sosial dan konsep sastra memang sulit dipisahkan. Konsep sosial melengkapi kehadiran konsep ekstrinsik sastra. Oleh karena itu, yang dipentingkan adalah pemanfaatan konsep sosial dan konsep sastra secara proporsional. Pemanfaatan konsep yang berat sebelah, kurang tajam dalam mengungkap makna sastra. Makna selalu tersembunyi, di balik realitas sosial. Oleh sebab itu, konsep yang dibangun perlu dinamik dari konsep sosial ke konsep sastra, atau sebaliknya. Yang penting, konsep sastra perlu dipegang erat, agar penelitian tidak membelok arah.

Apa pun yang terjadi, seyogyanya peneliti sosiologi sastra tetap memegang teguh konsep sastra dan konsep sosial. Kedua konsep yang berasal dari fenomena berbeda itu, ketika disatukan akan menghasilkan konsep sosiologi sastra yang handal. Biarpun kita mengadopsi gagasan konsep sastra dan sosial asing, seperti gagasan Coleridge, M.H. Abrams, Teeuw, dan lain-lain tetap akan bermanfaat. Terlebih lagi kalau kita mau berbuat yang lebih akurat, dengan meneladani sastrawan, seniman, dan penyair yang berjiwa sosialis, tentu akan sukses mempelajari sastra. Di Indonesia, banyak penulis yang berprospek sosial seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, WS. Rendra, Esmiet, Suparta Brata, dan sebagainya akan membantu pemahaman konsep sastra dan konsep sosial.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/pendidikan/Bahan+Kuliah+Sosiologi+Sastra_0.pdf