Bagaimana Hubungan Antara Identitas Sosial dengan Aksi Bersama (Collective Action)?

Identitas Sosial dengan Aksi Bersama

Bagaimana Hubungan Antara Identitas Sosial dengan Aksi Bersama (Collective Action) ?

Identitas yang melekat pada individu tidak hanya identitas dirinya sendiri. Namun juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, hal inilah yang diyakini sebagai identitas sosial. Secara pengertian, identitas sosial adalah suatu persepsi individu yang terbentuk dari proses hubungan sosial dengan tujuan untuk meningkatkan self image individu jika berhadapan dengan kelompok lain (Hidayat, 2014). Individu yang merasakan adanya kesamaan nilai antara dirinya dengan kelompok, kemudian akan mempersepsikan nilai-nilai tersebut menjadi identitas baru didalam dirinya (Baron dan Bryne, 2004). Sehingga dalam berperilaku pun individu akan mencerminkan dari identitas kelompoknya tersebut.

Menurut Cameron (2004) identitas sosial terdiri dari tiga aspek, yang

  • Pertama cognitive centrality yaitu kemampuan kognitif individu berdasarkan proses pengamatan terhadap lingkungan, tetapi kemampuan ini relatif berbeda berdasarkan jenis kelamin (Cameron dan Lalonde, 2001).

  • Kedua, ingroup affect yaitu pengaruh dari kelompok yang melibatkan emosi dan evaluasi terhadap individu., meskipun kemudian individu akan banyak dipengaruhi oleh orang lain disekitarnya (Weinreich, 1986).

  • Ketiga, ingroup ties yaitu kedekatan hubungan antara individu terhadap kelompok sehingga perilaku yang muncul pun mencerminkan identitas kelompoknya tersebut. Namun tidak setiap saat identitas sosial yang melekat dalam individu akan muncul secara tiba-tiba.

Vaugh dan Hart (2004) menjelaskan bahwa identitas sosial hanya akan dimunculkan oleh individu ketika kelompoknya mendapatkan ancaman dari luar. Seperti halnya pada kelompok masyarakat yang melakukan penolakan relokasi, mereka melakukan tindakan tersebut karena menganggap rencana relokasi sebagai suatu ancaman harga diri kelompoknya. Ketika melakukan tindakan pun tidak ada lagi memandang secara individual, demikian pun yang disampaikan oleh Viaranita (2008) pada kelompok buruh bahwa dalam melakukan aksi mereka mengatasnamakan “kita” serta tidak memandang gender, status, ataupun latar belakang individu.

Dalam istilah psikologi, aksi yang dilakukan secara massal dikenal dengan istilah collective action. Ellemers (2002) menjelaskan bahwa tindakan collective action merupakan hasil proses kognitif dan afektif individu dalam kelompok dalam merespon suatu ancaman yang berasal dari luar. Secara substansial tindakan kolektif sebenarnya tidak jauh berbeda dengan protes sosial karena memiliki kesamaan berupa tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh suatu kelompok dalam melakukan “perlawanan” demi memperjuangkan harga diri kelompoknya.

Hal ini senada dengan yang disebutkan Lofland (2015) dalam bukunya yang menjelaskan bahwa protes sosial suatu kelompok dapat dikategorikan sebagai tindakan collective action karena selalu dilakukan secara massal yang kemunculannya sebagai respon dari luar kelompok.

Dalam artikelnya Sukamto (2010) menyebutkan bahwa munculnya tindakan collective action diawali dari sekelompok orang-orang yang berkumpul dengan berbagai faktor yang serupa seperti faktor psikologis, sosiologis, politis, budaya, dan ekonomi. Secara teoritis tindakan collective action berasal dari dua teori penting yang saling berkaitan, yaitu teori identitas sosial dengan fokus utamanya pada aspek kognitif identifikasi berupa pengamatan dan juga evaluasi, dan yang kedua adalah teori perampasan relatif dengan fokusnya pada peran emosi ekspresif individu terhadap kelompoknya (Mummendey, 1999).

Temuan mengenai emosi yang mempengaruhi munculnya tindakan collective action juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Yang (2000), disebutkan bahwa emosi setiap individu akan mempengaruhi keturutsertaan untuk melakukan collective action. Emosi yang dimaksud tidak selalu emosi negatif, emosi positif pun dapat mempengaruhi individu terlibat dalam tindakan tersebut. Kedua emosi ini saling terkait, emosi negatif (kemarahan) merupakan emosi yang muncul dari respon ketidakadilan yang dirasakan oleh individu ataupun kelompok (Wlodarczyk, Basabe, Paez, & Zumeta. 2007).

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zomeren, Postmes, & Spears (2008) bahwa respon dalam menyikapi suatu stimulus merupakan bentuk sikap dari individu. Suharyat (2009) menambahkan bahwa individu atau kelompok yang dalam kondisi dirugikan, maka akan memunculkan sikap yang mengarah untuk memperbaiki kondisi kelompok.

Meskipun ada hal lain yang menjadi komponen sikap selain emosi atau afektif (Ajzen, 1991), yaitu komponen kognisi yang merujuk pada kemampuan individu dalam mempersepsikan suatu stimulus yang datang, dan komponen konatif yang merujuk pada keinginan individu untuk melakukan suatu tindakan sebagai respon terhadap suatu stimulus sesuai dengan keyakinan dan keinginannya (Suharyat, 2009).

Kemudian Zuchdi (1995) menambahkan bahwa sikap dapat dimunculkan oleh individu ataupun kelompok atas dasar agar terpenuhinya hierarki kebutuhan menurut Maslow, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Atas dasar inilah, suatu kelompok dapat bersikap dengan melakukan tindakan secara kolektif untuk mempertahankan harga diri kelompok.

Sebelum jauh terlibat dalam suatu tindakan, individu akan mengevaluasi suatu rencana yang akan dilakukan. Dengan demikian akan memunculkan suatu intensi atau niat keterlibatan dalam melakukan tindakan tersebut. Zomeren, Postmes, & Spears (2008) menyebutkan bahwa intensi merupakan dasar motivasional individu untuk terlibat atau tidak dalam suatu tindakan.

Faktor eksternal atau lingkungan dianggap memiliki pengaruh kuat terhadap individu agar terlibat dalam tindakan / perilaku seperti yang dilakukan oleh kelompoknya. Keterlibatan individu untuk turut serta melakukan tindakan kolektif selalu erat kaitannya dengan sikap dan niat. Kemudian sikap dan niat akan semakin mengarah untuk melakukan tindakan yang seperti dilakukan oleh kelompoknya karena persepsi kesamaan identitas sosial sebagai kelompok.

Thomas, Mavor, & McGarty (2011) pun menyebutkan dalam penelitiannya bahwa identitas sosial mampu memotivasi individu dalam hal emosi, sikap, niat serta keyakinan yang sama untuk melakukan suatu tindakan secara massal. Begitupun pada penelitian yang dilakukan oleh Kawakami dan Dion (1995), disebutkan bahwa jika individu tidak dapat bertindak secara individu, maka individu akan bergabung dengan kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama.