Bagaimana hubungan antara emosi dan memori (ingatan)?

Emosi mempengaruhi cara kita untuk berpikir dan bertindak. Bagaimana hubungan antara emosi dan memori (ingatan) ?

Seringkali orang berpendapat: “Hati boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin”. Pendapat itu dapat dibenarkan sebab kalau hati panas akan membuat kepala panas maka akibatnya perilaku akan agresif, impulsif dan tak rasional. Namun demikian dalam Kenyataannya sehari‐hari terkadang emosi (hati) dapat mempengaruhi kognisi (kepala) orang.

Wilayah penelitian itu dikenal dengan kognisi “panas’ (Ellis & Hunt, 1993) yang mengukur pengaruh emosi terhadap kognisi dan memori. Ellis dan Hunt memperkirakan bahwa penelitian mengenai pengaruh keadaan emosi dengan kinerja memori mulai menjamur sekitar tahun 1975an.

Wilayah penelitian ini sebenarnya mempunyai akar yang lebih lama namun mengalami kemandekan karena:

  • Kurangnya perhatian para psikolog kognitif. Para peneliti kognisi dan memori sibuk dengan pemahaman bagaimana bekerjanya proses dasar memori tanpa menghiraukan peran emosi,

  • Belum adanya prosedur eksperimen yang dapat diterima untuk menghasilkan atau memani‐ pulasi keadaan emosi di laboratorium. Baru ketika terdapat prosedur yang mampu memanipulasi keadaan emosi maka psikolog kognitif melakukan penelitian tentang efek emosi terhadap memori,

  • Kenyataan bahwa konsep, teori dan metode di kedua bidang itu (emosi dan memori) terpisah satu sama lain meskipun kadang‐kadang ada usaha untuk menghubungkan keduanya (Ellis & Hunt, 1993).

Ellis dan Hunt (1993) memberikan sejumlah alasan mengapa dewasa ini penting melakukan kajian mengenai pengaruh emosi pada memori, antara lain :

  • Jelas bahwa keadaan emosi atau afeksi cukup berpengaruh pada kognisi, maka psikologi kognitif perlu mempelajari apa pengaruh dan bagaimana cara emosi mempengaruhi memori,

  • Telah diketemukan cara menginduksi keadaan emosional sementara, sehingga manipulasi eksperimental emosi dapat dijadikan sebagai variabel independen. Misalnya, subjek dapat diinduksi kedalam keadaan emosi senang atau sedih dengan cara dihipnosis atau lewat induksi verbal. Ini artinya kemajuan metodologi memungkinkan dilakukannya penelitian pengaruh emosi terhadap memori,

  • Diakuinya keterbatasan studi klinis tentang memori. Mayoritas penelitian tentang efek depresi terhadap memori dan kognisi memakai populasi pasien klinis. Namun kelemahannya adalah depresi hanya diukur tetapi tidak dimanipulasi langsung sehingga keyakinan mengenai efek depresi terhadap memori kurang tinggi,

  • Penjelasan teoretis mengenai memori dan kognisi harus menje‐ laskan juga pengaruh keadaan afektif seperti stress, kecemasan, depresi dan sebagainya.

memori dan kognisi

Pengaruh emosi terhadap memori dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu

  • kesesuaian dengan suasana hati (mood‐congruent)
  • ketergantungan pada kondisi suasana hati (mood‐state dependent) (Ellis & Hunt, 1993; Matlin, 1998).

Kesesuaian Dengan Suasana Hati (Mood‐Congruent)

Kesesuaian dengan suasana hati menggambarkan gejala bahwa orang lebih mampu mengingat informasi yang cocok dengan keadaan emosinya pada saat mereka mempelajari materi tersebut. Memori akan lebih baik kalau materi yang dipelajari cocok dengan suasana hati orang pada saat mempelajari materi itu.

Sederhananya, seorang yang sedang senang cenderung lebih gampang mengingat materi yang bersifat menyenangkan daripada materi yang sedih, sebaliknya seorang yang sedang sedih cenderung lebih mampu mengingat materi yang sedih daripada materi yang menyenangkan.

Teasdale & Russel (1983) dalam Anderson meminta subjek belajar satu daftar kata‐kata positif, netral, dan negatif dalam suasana hati normal. Kemudian mereka dites dalam situasi suasana hati senang dan sedih yang diciptakan peneliti. Hasilnya, subjek merecall lebih banyak kata yang cocok dengan suasana hati pada saat tes.

Penelitian McDowall (1984) menemukan bahwa penderita depresi lebih mampu mengingat kembali kata‐kata sedih dibanding kata‐ kata riang. Eksperimen McDowal tersebut adalah sebagai berikut. Subjek eksperimen adalah 60 orang penderita depresi, 20 orang penderita gangguan psikologis namun bukan depresi, dan 20 orang staf rumah sakit.

Stimulus eksperimen adalah 30 kata yang terdiri dari 12 kata yang menyenangkan (kiss, affectionate, embrace, lovely, love, beauy, elated, delightful, kind, happiness, friendly, dan joyful), 12 kata yang tidak menyenangkan (enemy, dejected, terror, ridicule, grieved, hate, misery, shame, deceive, distressed, lonely, dan failure), dan 6 kata netral.

Stimulus berbentuk kata‐ kata tersebut ditayangkan di monitor satu persatu secara acak selama 3 detik setiap kata. Ada dua kondisi perlakuan, yaitu :

  • Kondisi instruksi free‐recall.
    Kelompok ini diminta melihat kata‐kata tadi dan mengingatnya sebab akan ada tes mengingat kembali (recall),

  • Kondisi pengkategorisasian kata.
    Kelompok ini diperintah untuk melihat setiap kata dan membuat penilaian apakah kata itu menyenangkan atau tidak menyenangkan. Subjek dalam kelompok ini juga diminta mengingat kata‐kata tersebut untuk persiapan tes recall.

Sesudah stimulus kata selesai disajikan maka subjek diminta mela‐ porkan kembali kata‐kata yang telah disajikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam kondisi free‐recall subjek penderita depresi secara signifikan melaporkan kembali lebih sedikit kata‐kata yang menyenangkan daripada kata‐kata yang tidak menyenang‐ kan. Akan tetapi perbedaan ini tidak ada pada subjek depresi di kondisi pengkatego‐ risasian (McDowall, 1984).

Ketergantungan Dengan Kondisi Suasana Hati (Mood‐State Dependent)

Ketergantungan dengan suasana hati menggambarkan bahwa materi yang dipelajari dalam satu suasana hati tertentu akan diingat kembali (recall) atau dikenali lagi/ direkognisi (recognition) lebih baik ketika orang dites dalam keadaan emosi yang sama dengan suasana hati saat belajar (Ellis & Hunt, 1993).

Apabila suasana hati sewaktu penyandian informasi cocok dengan suasana hati sewaktu mengingat kembali informasi tersebut, maka kinerja memori akan lebih baik. Sifat emosional materi tidak penting. Ketergantungan dengan suasana hati meru‐ pakan salah satu contoh kekhususan penyandian (encoding specificity): kemampuan meng‐ ingat kembali informasi (recall) akan lebih baik kalau konteks pengambilan kembali informasi (retrieval) sama dengan konteks penyandian (Matlin, 1998).

Eich dan Metcalfe (1989, studi 1) meneliti pengaruh kesamaan suasana hati saat penyandian dengan saat mengingat kembali terhadap memori. Saat penyandian, subjek diminta mendengarkan musik (musik gembira atau sedih) dan menilai suasana hatinya. Subjek kemudian diperlihatkan serangkaian tiga kata (misal, precious metals: silver‐Gold).

Dua hari kemudian saat mengingat kembali, subjek mendengarkan lagi musik sedih/ gembira dan menilai suasana hatinya. Jika suasana hatinya sudah sama dengan ketika saat penyandian, maka subjek diminta melakukan recall terhadap serangkaian tiga kata yang telah dilihatnya dua hari lalu. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan melakukan recall akan lebih tinggi jika suasana hati sama antara saat penyandian dengan saat mengingat kembali.

Mengukur dan memanipulasi suasana hati Penelitian pengaruh suasana hati terhadap memori dapat dilakukan dengan secara eksperimental memunculkan suasana hati maupun dengan mengukur suasana hati secara alamiah (Gerrads‐Hesse, Spies, & Hesse, 1994; Poon, 2001).

Mengukur suasana hati secara alamiah misalnya dilakukan dengan mengukur suasana hati ketika hari sedang panas atau hujan, sesudah subjek lulus atau gagal ujian tengah semester, sesudah melihat tayangan pertandingan sepakbola di televisi yang menyenangkan atau membosankan, atau sesudah orang menonton film yang sedih atau gembira di gedung bioskop (Gerrads‐Hesse, Spies, & Hesse, 1994).

Manipulasi suasana hati secara eksperimental dapat dilakukan dalam 5 cara (Gerrads‐Hesse, et.all, 1994), yaitu:

  • Secara bebas membangkitkan mental mengenai keadaan emosi. Hal ini berarti stimulus yang menghasilkan keadaan emosi yang dituju akan diaktifkan secara mental oleh subjek sendiri. Misalnya, subjek dalam keadaan dihipnosis, diminta mengingat kembali pertemuan‐pertemuan romantiknya yang sukses atau gagal. Contoh lain, subjek diminta membayangkan sebuah situasi yang membuat mereka merasa senang, sedih atau netral,

  • Secara terpandu membangkitkan mental mengenai keadaan emosi. Stimulus yang dipakai untuk menghasilkan keadaan emosi tertentu itu adalah tehnik Velten, musik, atau film/ceritera. Stimulus itu akan diberikan kepada subjek bersama dengan perintah untuk mengembangkan kondisi emosi tertentu,

  • Cara yang ketiga juga memberikan stimulus pembangkit emosi seperti tehnik Velten, musik, film/ceritera kepada subjek namun subjek tidak diminta mengembangkan emosi tertentu. Hal ini diasumsikan karena pemberian stimulus itu sendiri sudah otomatis mengembangkan emosi tertentu pada diri subjek. Penelitian Eich & Metcalfe (1989) memperdengarkan musik gembira (misal lagu Eine Kliene Nachtmusik atau Divertimento # 136 oleh Mozart) atau lagu musik sedih (misal Adagio in G Minor dari Albinoni atau Adagio pour Cordes dari Barber). Musik di putar berkali-kali. Setiap lima menit subjek membuat penilaian terhadap suasana hatinya dengan memakai Affect Grid dari Russell et al.

  • Pemaparan subjek dengan situasi yang mengaktifkan kebutuhan tertentu seperti kebutuhan berprestasi. Misalnya, subjek diberi umpan balik kinerjanya yang positif atau negatif tapi sebenarnya keliru untuk meng‐ hasilkan keadaan emosi tertentu, dan

  • Memunculkan keadaan fisiologis yang berkaitan dengan emosi tertentu sehingga pada akhirnya akan menghasilkan keadaan emosi tersebut. Misalnya, suasana hati akan berubah jika orang diminta berwajah tersenyum atau mengerutkan dahi.

Cek manipulasi perlu dilakukan untuk menentukan efektivitas manipulasi suasana hati. Ada tiga cara melakukan cek manipulasi suasana hati, yaitu :

  • Mengobservasi perilaku subjek seperti kinerja psikomotor, kecepatan tugas, gerak isyarat dan ekspresi wajah,

  • Mengukur variabel fisiologis seperti detak jantung atau tekanan darah sebagai indikator susasana hati, dan

  • Kuesioner laporan‐diri mengenai suasana hati (Poon, 2001).

Penjelasan teoretik pengaruh emosi terhadap memori

Pengaruh emosi terhadap memori dapat dijelaskan dari 4 teori, yaitu; teori jaringan (network theory), teori skema (schema theory), dan model alokasi sumber (resource allocation model) (Ellis & Hunt, 1993), serta teori neuro‐ psikologis (Ashby & Isen, 1999).

Teori Jaringan

Teori jaringan (Bower, 1981) menyatakan bahwa kondisi emosi direpresentasikan oleh node atau unsur memori semantik. Teori Bower adalah salah satu teori jaringan memori semantik yang menggambarkan setiap jenis emosi tertentu seperti senang, depresi, atau takut mempunyai sebuah node tertentu atau unit dalam memori yang menyatukankan aspek‐aspek lain dari emosi tersebut. Aspek‐aspek tersebut misalnya pola pembangkitan otonomis, peranan baku, dan perilaku ekspresif yang berkaitan dengan emosi tertentu itu. Sebuah node emosi yang aktif akan mengaktifkan node lain yang terkait dengan jaringan emosi itu sehingga mengaktifkan konsep‐konsep dan memori‐memori yang sesuai (congruent) dengan emosi itu. Sebuah node emosi dapat diaktifkan secara fisiologis atau verbal (memani‐ pulasi emosi)

Teori Skema

Teori skema berpendapat bahwa orang dalam keadaan emosi tertentu akan mempunyai kerangka umum atau skema yang sesuai dengan emosi tersebut. Misalnya, seorang yang sedih akan mempunyai sebuah skema sedih atau depresif untuk mengor‐ ganisasikan informasi. Orang itu akan mempersepsi dan mengingat pengalaman negatifnya, episode sedihnya serta cenderung menafsirkan dunia lingkungannya dari perspektif negatif. Seseorang yang dalam keadaan sedih akan memiliki skema yang mendorongnya untuk mengambil kembali memori‐memori yang mengandung kesedihan. Teori skema ini dipelopori oleh Aaron T.Beck

Model Alokasi Sumber

Teori ini dipengaruhi oleh konsep alokasi sumber atau kapasitas dari teori perhatian. Teori alokasi sumber menjelaskan bahwa pengaruh emosi terhadap memori akan mempertimbangkan (a) peran emosi dalam meregulasi besarnya kapasitas yang dialoka‐ sikan ke tugas kognitif, dan (b) tuntutan terhadap kapasitas pemrosesan tugas kognitif itu sendiri. Teori alokasi sumber dikembangkan oleh Ellis dan Ashbrook.

Mereka mengasumsikan bahwa sumber/kapasitas perhatian itu sangat terbatas untuk melaksanakan tugas kognitif dan emosi akan mempe‐ ngaruhi pengaturan alokasi sumber/kapasitas perhatian yang terbatas itu untuk melakukan tugasnya. Pengaruh emosi akan bersifat disruptif dengan mengurangi kapasitas yang tersedia dalam memproses informasi. Misalnya, depresi akan mengurangi kemampuan mengingat kembali informasi.

Teori Neuropsikologis

Ashby, Isen & Turken (1999) mengembangkan teori neuropsikologis mengenai pengaruh emosi terhadap kognisi. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dalam keadaan emosi netral akan memiliki cukup dopamin. Jika orang dalam keadaan emosi positif maka akan dibarengi dengan peningkatan dopamin dalam sistem mesokortiko‐ limbik. Peningkatan dopamin akan mempengaruhi peningkatan kinerja berbagai tugas kognitif, termasuk memori.

Sumber : Martono dan dicky hastjarjo, Pengaruh emosi terhadap memori, Universitas gadjah mada