Bagaimana Hubungan Antara Agama dan Negara Menurut Islam?

relasi Agama dan Negara

Agama Islam, yang mempunyai prinsip rahmatan lil alamin, pasti mempunyai petunjuk terkait dengan bagaimana hubungan antara negara dan agama itu berlangsung. Bagaimana relasi Agama dan Negara menurut Islam ?

Persoalan politik, terutama konsepsi tentang negara dan pemerintahan telah menimbulkan diskusi panjang dan kontroversi di kalangan pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan tidak hanya terhenti pada tataran teoritis konseptual tetapi juga memasuki wilayah politik praktis sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam.

Secara garis besar para teoretisi politik Islam merumuskan teori-teori tentang hubungan agama dan negara serta membedakannya menjadi tiga paradigma yaitu Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik.

  • Paradigma Integralistik. Paradigma ini menerangkan bahwa agama dan negara menyatu (integrated), negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah agama. Karena agama dan negara menyatu maka ini berakibat masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama, karena itu rakyat yang menaati segala ketentuan dan peraturan negara dalam paradigma ini dianggap taat kepada agama, begitu juga sebaliknya. Karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung dibalik agama maka otoritarianisme dan kesewenang-wenangan oleh penguasa tentu saja sangat potensial terjadi dalam negara dengan model seperti ini. Kepala negara merupakan “penjelmaan” dari Tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa ada alternatif yang lain. Atas nama “Tuhan” penguasa bisa berbuat apa saja dan menabukan perlawanan rakyat.

    Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam. Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.

  • Paradigma Simbiotik. Paradigma ini berpandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.

  • Paradigma Sekularistik. Paradigma ini memisahkan agama atas negara dan memisahkan negara dari agama. Dengan pengertian ini secara tidak langsung akan menjelaskan bahwa paradigma ini menolak kedua paradigma sebelumnya. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada bentuk negara tertentu.

Namun saat ini pemikiran tentang politik Islam mengenai pemerintahan, paling tidak mengerucut kedalam tiga kelompok besar yaitu;

  • Kelompok konservatif. Mereka berpendapat bahwa Islam adalah entitas yang serba lengkap (perfect), seluruh umatnya hanya tinggal mempraktekkan secara konsekuen dan bertanggungjawab, kapan dan dimanapun mereka berada. Sistem pemerintahan dan politik yang digariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw, dan empat al-Khulafā‟ al-Rāshidīn. Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi kedalam dua aliran yakni, tradisionalisme dan fundamentalisme.

    • Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan keempat khalifah, dan tokoh sentral dari kalangan ini adalah Muhammad Rasyid Ridha.

    • Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A‟la al-Maududi adalah salah satu tokoh utamanya.

  • Kelompok Modernis. Kelompok ini memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya pada tataran nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat bisa mengambil sistem lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Diantara tokoh kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal dan Muhammad Asad.

  • Kelompok Sekuler. Yang memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh aliran ini yang paling terkenal dan bersuara lantang adalah Ali Abd ar-Raziq.

Referensi :

  • Masykuri Abdilah, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern, Tashwirul Afkar, No. 7, Th. 2000.
  • Said Agil Husin al-Munawar, “Fikih Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, Vol. 1, No. 1, Juni 1999.
  • Marzuki Wahid & Rumaidi, “Fiqh Madzhab Negara” Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001).
  • Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992.