Gejala akibat defisiensi tunggal magnesium dalam ransum telah dilaporkan untuk sejumlah hewan. Pada tikus yang diberikan makan ransum murni gejala tersebut meliputi peningkatan iritabilitas saraf dan kekejangan. Percobaan yang dilakukan pada anak sapi yang dibesarkan dengan ransum susu bermagnesium rendah mengakibatkan kandungan magnesium serum darah menjadi rendah, tulang tidak kebagian magnesium, tetanus serta kematian. Keadaan tersebut biasa ditemukan pada anak sapi yang berumur sekitar 50 sampai 70 hari yang diberikan susu.
Pada ruminansia dewasa keadaan yang dikenal dengan nama tetanus hipomagnesaemia yang diakibatkan oleh rendahnya konsentrasi magnesium dalam darah telah dikenal sejak tahun tigapuluhan. Banyak sekali perhatian telah diberikan kepada keadaan tersebut, karena penyebarannya dan laju kematian yang sangat tinggi. Tetanus hipomagnesaemia telah dikenal dengan berbagai nama termasuk tetanus magnesium, tetanus laktasi, dan tetanus rumput. Namun istilah tersebut tidak dipakai lagi karena penyakit tersebut tidak selalu berkaitan dengan laktasi dan hewan yang merumput (McDonald et al. 1995).
Tetanus hipomagnesaemia dapat terjadi pada sapi perah yang dikandangkan, sapi gunung, sapi yang merumput dan juga domba. Terdapat beberapa bukti bahwa di Inggris bangsa sapi yang paling rentan kena kasus Tetanus hipomagnesaemia paling banyak ditemukan pada Ayrshire dan paling tidak rentan adalah Jersey. Sebagian besar kasus pada hewan yang merumput ditemui pada musim semi ketika ternak merumput pada hijauan muda yang masih segar. Tetanus bisa berkembang dalam tempo satu atau dua hari pada hewan yang baru merumput, kondisi tersebut ternah dianggap sebagai bentuk yang akut. Pada jenis yang akut tersebut, kandungan magnesium darah turun secara drastis sehingga cadangan magnesium tubuh tidak dapat dimobilisasi cukup cepat untuk mengatasinya. Pada bentuk penyakit yang kronis, kandungan magnesium dalam plasma turun dalam jangka waktu yang lama sampai mencapai titik terendah. Jenis tersebut tidak umum pada sapi muda. Di Selandia Baru, di mana sapi merumput pada padang penggembalaam sepanjang tahun, tetanus hipomagnesaemia terjadi paling sering akhir musim dingin dan awal musim semi. Di Australia, kejadian penyakit paling tinggi berkaitan dengan periode pertumbuhan cepat rumput padang penggembalaan pada musim dingin (McDonald et al. 1995).
Kandungan magnesium darah yang normal pada sapi adalah kisaran 17 sampai 40 mg/l serum darah, akan tetapi level di bawah 17 sering kali terjadi tanpa gejala klinis tetanus hipomagnesaemia. Tetanus umumnya diawali dengan penurunan magnesium dalam serum darah sampai sekitar 5 mg/l. Penyuntikan magnesium sulfat secara subkutan, atau lebih disukai magnesium laktat, biasanya dapat diharapkan mengobati hewan yang terkena tetanus hipomagnesaemia jika diberikan lebih dini. Gejala tetanus yang khas adalah nervous, tremor, kontraksi otot muka, langkah kaku dan kejang-kejang (McDonald et al. 1995).
Penyebab tetanus hipomagnesaemia pada hewan ruminansia masih belum pasti penyebabnya, namun defisiensi magnesium dalam ransum menyumbangkan beberapa faktor. Beberapa peneliti menganggap keadaan tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan kation-anion dalam ransum dan terdapat bukti-bukti hubungan positif antara tetanus dan pemupukan pastur dengan pupuk nitrogen dan kalium secara berat. Meskipun penyebab hipomagnesaemia yang tepat masih belum pasti, faktor utama kelihatannya adalah ketidakcukupan penyerapan magnesium dalam saluran cerna. Suatu derajat keberhasilan yang tinggi pencegahan hipomagnesaemia bisa diperoleh dengan meningkatkan konsumsi magnesium. Hal tersebut dapat ditempuh dengan memberikan makanan dengan campuran mineral yang kaya akan magnesium, atau secara alternatif dengan cara meningkatkan kandungan magnesium pastur dengan penggunaan pupuk magnesium (McDonald et al. 1995).
Sumber magnesium pada makanan ternak dapat diperoleh dari dedak gandum, kapang kering, dan sebagian besar konsentrat protein, khususnya tahu biji kapas, dan linseed merupakan sumber magnesium yang baik. Clover umumnya lebih banyak kandungan megnesiumnya dibandingkan dengan rumput, meskipun kandungan magnesium tanaman hijauan sangat bervariasi. Supplemen mineral yang paling umum adalah magnesium oksida, yang dijual secara komersial sebagai kalsin magnesit. Jika tetanus hipomagnesaemia sangat mungkin terjadi maka disarankan untuk memberikan 50 g magnesium oksida per ekor per hari sebagai tindakan pencahar. Dosis pencahar harian untuk anak sapi adalah 7 sampai 15 g magnesium oksida, sementara untuk domba laktasi adalah sekitar 7 g. Supplemen mineral dapat diberikan dalam keadaan tercampur dengan konsentrat. Secara alternatif campuran larutan magnesium asetat dan molases dapat digunakan, yang sering kali disediakan dalam sistem bebas pilih disediakan dalam sistem bebas pilih dari tempat makanan yang ditempatkan di lapangan (McDonald et al. 1995).