Bagaimana Gambaran Surga Menurut Ajaran Islam?

Surga (bahasa Sanskerta : “kayangan”) adalah suatu tempat di alam akhirat yang dipercaya oleh para penganut beberapa agama sebagai tempat berkumpulnya roh-roh manusia yang semasa hidup di dunia berbuat kebajikan sesuai ajaran agamanya. Dalam bahasa Jawa kata tersebut diserap menjadi swarga. Sorga dalam bahasa Arab disebut jannah.

Bagaimana gambaran surga menurut ajaran Islam ?

Penggambaran surga dapat di-imajinasi-kan melalui percakapan-percakapan yang ada didalam surga. Dari percakapan tersebut, kita bisa membayangkan bagaimana kondisi di surga nantinya.

Percakapan Antara Penghuni Surga dengan Sesamanya


QS. Fāṭir [35]: 34-35

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya, didalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu”.

Asbabun nuzul dari ayat ini adalah pada suatu waktu datang seorang lelaki dan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah saw, tidur adalah sebagian dari rahmat Allah di dunia ini. Apakah kelak jika kita berada di surga kita juga tidur?”. Jawab Nabi: “tidak, karena tidur ialah kawannya maut, sedang di dalam surge itu tidak ada maut”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana istirahanya ahli surga ya Rasulullah”. Pertanyaan ini menyinggung hati Rasulullah, sehingga beliau bersabda: “di Surga tidak ada rasa lelah. Semua serba senang dan enak”. Sehubungan dengan itu, maka Allah swt menurunkan ayat 34 dan 35 ini sebagai penegasan tentang kebenaran sabda nabi.

Ayat diatas menguraikan bahwa untuk kenikmatan ruhani mereka diilhami ucapan-ucapan yang baik serta ketenangan bathin. Hanya Dia yang menempatkan kami dalam tempat kediaman yang kekal yakni di surga dan itu semata-mata adalah dari karunia-Nya, di dalamnya kami tiada akan disentuh lagi oleh kelelahan dan tiada pula akan disentuh oleh kelesuan sebagaimana halnya hidup di dunia.”

Kesedihan duka cita yang mereka maksud adalah kesedihan yang mereka alami dalam kehidupan di dunia serta akibat silih bergantinya ujian dan ancaman kaum musyrik. Ada juga yang memahaminya dalam arti kesedihan yang mereka alami setelah kematian dan sebelum ditentukan masuk surga. Kesedihan itu disebabkan oleh kesadaran terhadap dosa-dosa yang pernah mereka lakukan ditambah dengan rasa takut mengahadapi sanksi yang akan dijatuhkan Allah swt.

Para ahli ta’wil berbeda pendapat tentang duka cita yang di maksud pada ayat ini, saat mereka memuji Allah swt., karena telah menghilangkannya dari mereka. Sebagian ahli takwil berpendapat bahwa itu merupakan duka cita yang mereka rasakan sebelum masuk surga akibat takut neraka, karena saat ini mereka sangat takut masuk neraka

Pendapat yang paling mendekati adalah kegalauan terhadap kematian dan kegalauan akibat kebutuhan terhadap makanan dan minuman yang semua ini adalah termasuk duka cita. Saat mengabarkan bahwa mereka memuji Allah swt., karena telah menghilangkan kesedihan dari mereka, Allah swt., tidak menyebut satu jenis kesedihan secara khusus, melainkan Allah swt., mengabarkan bahwa dengan ucapan itu mereka telah mencakup segala jenis kesedihan. Hal ini karena barang siapa masuk surga, maka tidak akan ada lagi kesedihan baginya. Jadi, pujian mereka kepada Allah swt., adalah karena Dia telah menghilangkan semua arti kesedihan.

Kata syākir menurut Imam al-Ghazali sebagai “Dia yang memberi balasan banyak terhadap pelaku kebaikan atau ketaatan yang sedikit, dia yang menganugerahkan kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amalan-amalan yang terhitung dengan hari-hari tertentu yang terbatas. Siapa yang membalas kebajikan dengan berlipat ganda maka dia dinamai mensyukuri kebajikan itu, siapa yang memuji yang berbuat baik, dia pun dapat dinamai mensyukurinya”.

Kata nashabun adalah keletihan , baik akibat terik matahari atau sengatan dingin maupun aneka sebab kesukaran yang dialami, sedang kata lughub adalah kelesuan atau keletihan akibat kerja keras mencari rezeki atau semacamnya. Ayat di atas menggunakan kata yamassuna (menyentuh kami) . Kalau menentuh saja sudah tidak akan terjadi, maka tentu lebih-lebih yang menimpa mereka. Pengulangan kata ini untuk masing-masing kata di atas guna lebih memantapkan ketiadaan, keletihan dan kelesuan itu.

Percakapan Antara Penghuni Surga dengan Penghuni Neraka


Al-Muddaththir [74]: 40-47:

“Berada di dalam surga, mereka tanya menanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian."

Menurut Shaykh Muḥammad Ali al-Ṣabūnī surat ini tergolong ke dalam surat makkiyyah dan dalam pembahasannya membicarakan tentang ancaman Allah swt., kepada orang-orang kafir itu akan mendapatkan neraka. Serta ditutup dengan penjelasan penyebab orang kafir berpaling dari iman kepada Allah swt.

Ayat 41 bagaikan menyatakan bahwa ketika itu, ada di antara mereka yang menceritakan pengalamannya berdialog dengan para pendurhaka, lalu menanyakan kepada mereka: “Apa yang menjadikan kamu terjerumus ke dalam api neraka saqar ?” Para pendurhaka penghuni neraka itu menjawab:”kami dahulu bukanlah termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat wajib, enggan memberi makan orang miskin, enggan mengeluarkan zakat, gemar menggunjing kejelekan orang lain, dan juga kami mengingkari akan adanya hari pembalasan. Kedurhakaan kami itu berlanjut hingga datang kepada kami keyakinan, yakni kematian.”

QS. al-A‘rāf [7]: 50:

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: "Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu". Mereka (penghuni surga) menjawab: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.”

Pendapat Al-Qurthubi dalam ayat ini “ dan penghuni neraka menyeru ”, ada yang mengatakan bahwa setelah ashhab A’raaf masuk ke dalam surga, maka ahli neraka iri dan berkata, “Ya Tuhan kami, sebenarnya kami memiliki kerabat di surga, izinkanlah kami agar kami dapat melihat dan berbicara dengan mereka”. Sedangkan ahli surga ketika itu tidak mengenal mereka karena wajah mereka sangat hitam. Ahli neraka lalu berkata, “ Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.

Ahli surga kemudian menjawab, “ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir, ” maksudnya adalah makanan dan minuman surga.

Kata afīḑū terambil dari kata fayḑ yang berarti sesuatu yang dituang dengan banyak, yakni tercurah dengan melimpah. Hal ini disebabkan karena penghuni neraka itu sadar bahwa untuk memperoleh sedikit air, maka diperlukan curahan air yang banyak, karena jarak antara tempat mereka dengan penghuni surga begitu jauh.

Dalam ayat ini terdapat dalil yang menjelaskan bahwa memberikan air termasuk amal pebuatan yang paling baik. Ibnu Abbas pernah ditanya, “sedekah apakah yang paling utama?” dia menjawab, “Air, tidakkah kalian melihat ahli neraka ketika memohon kepada ahli surga dengan mengatakan, ‘ Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu ’.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Rasulullah saw kemudian menggali sumur lalu bersabda, “ Ini untuk Ummu Sa’ad ”.” Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah saw., Ummu Sa’ad menyukai sedekah. Apakah akan bermanfaat baginya jika bersedekah dengan niat(pahalanya) untuk dirinya?” Beliau menjawab, “Ya, hendaknya kamu mensedahkan air.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw., memerintahkan kepada Sa’ad ibn ‘Ubādah untuk memberikan air kepada Ummu Sa’ad.

Hadits ini menunjukkan bahwa memberikan air termasuk ibadah yang paling besar di sisi Allah swt. Seorang tabi’in pernah berkata, “Siapa saja yang banyak melakukan dosa, maka dia hendaknya memberikan (mensedahkan) air. Jika dosa orang yang memberikan minuman kepada anjing, diampuni oleh Allah, apalah dengan orang yang memberikan minuman kepada orang beriman yang bertauhid dan membuat mereka terus hidup?.”

Huruf ha’ dan mim dalam ayat, “ sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya, ” menunjukkan air dan sesuatu yang disebutkan dalam ayat, “ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya ”, menunjukkan air dan sesuatu yang disebutkan dalam ayat, “ atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu, ” yaitu sesuatu yang diberikan Allah kepada kamu.

Yang dimaksud dengan bukan dalam arti keharaman menurut istilah agama, karena di akhirat nanti tidak ada lagi kewajiban keagamaan. Maksudnya adalah haram dari segi pengertian bahasa yakni mencegah keduanya. Maksudnya adalah Allah melarang kami memberikan kepada kamu, karena Dia mencegah sampainya air yang sejuk dan rezeki yang baik buat kalian.

Referensi :

  • Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al- Quran , terj. Abdul Somad, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
  • A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Quran , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
  • M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).