Bagaimana gambaran neraka menurut ajaran Islam ?

Neraka adalah tempat penyiksaan dan kesengsaraan di alam akhirat yang diyakini oleh penganut agama samawi dan aliran kepercayaan. Dalam bahasa Arab disebut naar. Tempat ini menurut keyakinan umat Islam adalah tempat di mana manusia dan jin adalah para makhluk yang membangkang terhadap syariat Allah dan mengingkari para nabi.

Bagaimana gambaran neraka menurut ajaran Islam ?

Penggambaran neraka dapat di-imajinasi-kan melalui percakapan-percakapan yang ada didalam neraka. Dari percakapan tersebut,kita bisa membayangkan bagaimana kondisi di neraka nantinya.

Percakapan Antara Allah swt dengan Neraka Jahannam


Percakapan antara Allah swt dengan Neraka Jahannam tersebut terdapat pada al-Quran QS. Qāf [50]: 30, surat ini tergolong ke dalam surat makkiyah:

“(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada jahannam: "Apakah kamu sudah penuh?" Dia menjawab: "Masih ada tambahan?

Menurut kitab al-Lubāb pada hari pembalasan ini sekali-kali tidak dapat diubah oleh siapapun keputusan dari sisi-Ku dan yang bersumber dari keagungan-Ku. Kamu adalah orang-orang durhaka yang telah Kuberi kesempatan demikian banyak untuk bertaubat, tetapi kamu enggan, sehingga kamu Kusiksa akibat kedurhakaanmu sendiri dan aku sekali-kali bukanlah penganiaya terhadap hamba-hamba-Ku yang melakukan kedurhakaan. Ketika itu juga Allah bertanya kepada neraka Jahannam, yakni sebagai cemoohan kepada semua pendurhaka bahwa: “Apakah engkau sudah penuh?” neraka jahannam menjawab: “Masih adakah tambahan?”

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musa Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Abu Sufyan Al-Himyari alias Sa’id ibnu Yahya ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Muhammad, dari Abu Hurairah r.a. yang me-rafa '-kan hadis ini (sampai kepada Rasulullah Saw.), tetapi menurut kebanyakannya di-mauquf-kan oleh Abu Sufyan. Bunyi hadisnya adalah seperti berikut:

Dikatakan kepada neraka Jahanam, "Apakah engkau telah penuh?" Jahanam balik bertanya, "Masih adakah tambahannya (bagiku)?" Maka Tuhan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi meletakkan telapak kaki-Nya ke dalamnya, akhirnya neraka mengatakan, "Cukup, cukup.” (yakni berdetak-detak karena kepenuhan).

Al-Ṭabarī berkata dalam firman Allah pada ayat ke 30 diatas bahwa pernyataan ini tidak lain karena Allah swt., telah memberitahukan jika Dia akan membuat neraka jahannam penuh dengan manusia dan jin. Firman yang ditujukan kepada jahannam ini dipahami oleh sebagian ulama sebagai kiasan yang menjelaskan keadaannya yang penuh. Berikut pendapat mereka: “ini adalah penjelasan dalam bentuk keadaan dan bukanlah penjelasan secara lisan.” Pendapat ini ditolak oleh sebagiam ulama lainnya dengan alasan jika dia menjelaskan keadaan, maka tentu saja ucapan dan keadaan itu tidak hanya bersumber dari Allah swt. Tetapi juga bersumber dari siapapun, padahal redaksi ini menunjuk kepada Allah swt. Atas dasar itu para ulama mengartikan ucapan dan jawaban jahannam itu dalam arti ucapan yang sebenarnya. Menurut sementara mereka tidaklah mustahil bagi Allah swt untuk menciptakan suara bagi jahannam sehingga terdengan dan dipahami sebagaimana lafal-lafal yang dipahami oleh manusia. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menjawab “pertanyaan Allah swt.,” itu adalah para malaikat yang menjaga neraka.

Percakapan Antara Penghuni Surga dengan Penghuni Neraka


Al-Muddaththir [74]: 40-47:

“Berada di dalam surga, mereka tanya menanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian."

Menurut Shaykh Muḥammad Ali al-Ṣabūnī surat ini tergolong ke dalam surat makkiyyah dan dalam pembahasannya membicarakan tentang ancaman Allah swt., kepada orang-orang kafir itu akan mendapatkan neraka. Serta ditutup dengan penjelasan penyebab orang kafir berpaling dari iman kepada Allah swt.

Ayat 41 bagaikan menyatakan bahwa ketika itu, ada di antara mereka yang menceritakan pengalamannya berdialog dengan para pendurhaka, lalu menanyakan kepada mereka: “Apa yang menjadikan kamu terjerumus ke dalam api neraka saqar ?” Para pendurhaka penghuni neraka itu menjawab:”kami dahulu bukanlah termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat wajib, enggan memberi makan orang miskin, enggan mengeluarkan zakat, gemar menggunjing kejelekan orang lain, dan juga kami mengingkari akan adanya hari pembalasan. Kedurhakaan kami itu berlanjut hingga datang kepada kami keyakinan, yakni kematian.”

QS. al-A‘rāf [7]: 50:

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: "Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu". Mereka (penghuni surga) menjawab: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.”

Pendapat Al-Qurthubi dalam ayat ini “ dan penghuni neraka menyeru ”, ada yang mengatakan bahwa setelah ashhab A’raaf masuk ke dalam surga, maka ahli neraka iri dan berkata, “Ya Tuhan kami, sebenarnya kami memiliki kerabat di surga, izinkanlah kami agar kami dapat melihat dan berbicara dengan mereka”. Sedangkan ahli surga ketika itu tidak mengenal mereka karena wajah mereka sangat hitam. Ahli neraka lalu berkata, “ Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.

Ahli surga kemudian menjawab, “ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir, ” maksudnya adalah makanan dan minuman surga.

Kata afīḑū terambil dari kata fayḑ yang berarti sesuatu yang dituang dengan banyak, yakni tercurah dengan melimpah. Hal ini disebabkan karena penghuni neraka itu sadar bahwa untuk memperoleh sedikit air, maka diperlukan curahan air yang banyak, karena jarak antara tempat mereka dengan penghuni surga begitu jauh.

Dalam ayat ini terdapat dalil yang menjelaskan bahwa memberikan air termasuk amal pebuatan yang paling baik. Ibnu Abbas pernah ditanya, “sedekah apakah yang paling utama?” dia menjawab, “Air, tidakkah kalian melihat ahli neraka ketika memohon kepada ahli surga dengan mengatakan, ‘ Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu ’.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Rasulullah saw kemudian menggali sumur lalu bersabda, “ Ini untuk Ummu Sa’ad ”.” Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah saw., Ummu Sa’ad menyukai sedekah. Apakah akan bermanfaat baginya jika bersedekah dengan niat(pahalanya) untuk dirinya?” Beliau menjawab, “Ya, hendaknya kamu mensedahkan air.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw., memerintahkan kepada Sa’ad ibn ‘Ubādah untuk memberikan air kepada Ummu Sa’ad.

Hadits ini menunjukkan bahwa memberikan air termasuk ibadah yang paling besar di sisi Allah swt. Seorang tabi’in pernah berkata, “Siapa saja yang banyak melakukan dosa, maka dia hendaknya memberikan (mensedahkan) air. Jika dosa orang yang memberikan minuman kepada anjing, diampuni oleh Allah, apalah dengan orang yang memberikan minuman kepada orang beriman yang bertauhid dan membuat mereka terus hidup?.”

Huruf ha’ dan mim dalam ayat, “ sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya, ” menunjukkan air dan sesuatu yang disebutkan dalam ayat, “ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya ”, menunjukkan air dan sesuatu yang disebutkan dalam ayat, “ atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu, ” yaitu sesuatu yang diberikan Allah kepada kamu.

Yang dimaksud dengan bukan dalam arti keharaman menurut istilah agama, karena di akhirat nanti tidak ada lagi kewajiban keagamaan. Maksudnya adalah haram dari segi pengertian bahasa yakni mencegah keduanya. Maksudnya adalah Allah melarang kami memberikan kepada kamu, karena Dia mencegah sampainya air yang sejuk dan rezeki yang baik buat kalian.

Percakapan Antara Penghuni Neraka dengan Sesamanya


QS. al-Ṣāffāt [37]: 27-33:

“Sebahagian dan mereka menghadap kepada sebahagian yang lain berbantah-bantahan. Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): "Sesungguhnya kamulah yang datang kepada kami dan kanan. Pemimpin-pemimpin mereka menjawab: “Sebenarnya kamulah yang tidak beriman”. Dan sekali-kali kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas. Maka pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita; sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu). Maka kami telah menyesatkan kamu, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat. Maka sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam azab”.

Takwil firman Allah swt., pada ayat ke 27 :

(Sebagian dari mereka menghadap kepada sebagian yang lain berbantah-bantahan). Menurut sebuah pendapat, maksudnya adalah manusia mengahadap jin untuk berbantah-bantahan. Sebagian dari mereka berbantah-bantahan dengan yang lain dan menjelekkannya bahwa dia telah menyesatkannya atau membukakan untuknya pintu kemaksiatan. Hal itu sebagaimana yang pada ayat setelahnya.

Maksud dari ayat ke-28 ini adalah manusia berkata kepada jin, pendapat ini juga senada dengan pendapat Qatādah dan para mujāhid. “Sesungguhnya kalian, wahai
bangsa jin, mendatangi kami dari arah agama dan kebenaran, lalu kalian menipu kami dengan argumen yang paling kuat.

Takwil firman Allah swt:

(Pemimpin-pemimpin mereka menjawab, “sesungguhnya kamulah yang tidak beriman”). Maksudnya adalah jin berkata (menjawab perkataan manusia), “Sebenarnya kalianlah yang tidak mengaku tauhid bagi Allah swt., dan dahulu kalian adalah orang-orang yang menyembah berhala”.

Firman Allah swt., yang berbunyi,

“Dan sekali-kali kami tidak berkuasa terhadapmu”, maksudnya adalah kami tidak mempunyai argument terhadap kalian untuk mengikuti kebenaran."

Selanjutnya, “Bahkan kamulah kaum yang melampaui batas” maksudnya adalah para jin itu berkata kepada manusia, “Bahkan kalian, wahai orang-orang musyrik, adalah kaum yang durhaka kepada Allah swt., melampaui batas dalam maksiat kepada Allah
swt., dan melanggar perintah-Nya”.

(Maka pastilah putusan [adzab] Tuhan kita menimpa atas kita; sesungguhnya kita akan merasakan [adzab itu]). Maksud ayat ini adalah maka adzab Tuhan kami pasti menimpa kami, dan sesungguhnya kami dan kalian benar-benar akan merasakan
adzab itu karena dosa-dosa dan maksiat yang kita lakukan di dunia.

Takwil firman Allah swt:

(Maka kami telah menyesatkan kamu, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat). Maksud ayat ini adalah maka kami sesatkan kalian dari jalan Allah dan iman kepada-Nya. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat. Itu juga merupakan berita dari Allah tentang perkataan jin dan manusia.

(Maka sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam adzab). Maksud ayat ini adalah manusia yang kufur kepada Allah swt., teman-teman sejawat mereka, apa-apa yang mereka sembah selain Allah swt., dan bangsa jin yang menyesatkan manusia, pada hari kiamat bersama-sama merasakan adzab di neraka, sebagaimana mereka di dunia bersama-sama bermaksiat kepada Allah.

Kata ta’tūnanā terambil dari kata ata yang berarti datang. Sementara ulama memahami kata ini dalam arti mengajak dan mempropagandakan. Biasanya kata tersebut menggunakan ideom min (dari) yakni “datang dari,” tetpai karena kata kata tersebut bertujuan menggambarkan pencegahan terhadap kebajikan, maka digunakanlah kata ‘an. Sedang kata yamīn dipahami dalam arti “kebajikan.” Dengan demikian kalimat ta’tūnanā ‘an al-yamīn dalam arti mengajak dan mempropagandakan sesuatu yang menghalangi kami melakukan kebajikan.

Kata yatasā’alūn pada ayat ini bermakna “berbantah-bantahan.” Maksudnya tidak saling bertanya tentang sebab keterjerumusan mereka ke dalam kedurhakaan yang mengantar mereka ke neraka. Ayat ini bertentangan dengan firman-Nya pada QS. al-Mu’minun [23]: 101 yang menyatakan:

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.”

Anda dapat berkata bahwa saat kiamat begitu panjang sehingga ada saat di mana mereka terdiam tidak dapar berbicara dan ada juga saat yang lain di mana mereka saling bertanya dan berbicara. Atau kata yatasā’alūn pada QS. al-Mu’minūn itu tidak berarti “bertanya” tetapi “saling meminta bantuan.”

Ada juga ulama yang memehamai kata ‘an dalam arti min (dari). Ini biasa ditemukan dalam bahasa Arab. Karena itu mereka memahaminya dalam arti “dari arah kanan.” Kata yamīn dalam bahasa Arab melambangkan makna kebaikan. Redaksi ayat ini mempersamakan keadaan pemimpin-pemimpin kaum musyrikin ketika mengajak kaum lemah agar mengikuti mereka, mempersamakan, dengan datangnya seekor burung dari arah kanan. Kata ini juga digunakan dalam arti kuat. Karena kata tersebut secara harfiah berarti kanan, dan tangan kanan biasanya lebih kuat dari tangan kiri. Yakni kamu dengan dengan aneka rayuan dan pengelabuan kamu telah memaksa kami mengikuti ajakan kamu yang ternyata adalah kesesatan.

surāh Ibrāhīm [14]: 21-22

Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri"Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih”.

Quraish Shihab berpandapat bahwa arti kata barazū pada ayat di atas berarti keluar dalam keadaan yang sebenarnya ke satu arah terbuka sehingga dapat dilihat oleh semua pihak. Ini dirasakan dan disadari oleh yang keluar itu tetapi dia tidak dapat menyembunyikan sesuatu. Tentu saja hal ini di tinjau dari sisi yang keluar, bukan dari sisi Allah swt. Karena bagi Allah swt., sekarang dan kapan pun segala sesuatu terbuka lagi diketahui oleh-Nya secara rinci. Tidak sedikit pun tersembunyi. Bagi manusia, di padang mahsyar nanti segalanya terbuka dan ketika dia sepenuhnya sadar bahwa tidak ada lagi yang dapat dirahasiakan bahkan manusia akan tampil tanpa busana, sehingga benar-benar dia tampil sebagaimana apa adanya.

Meskipun kata ini disebutkan dengan pola fi’l māḑī, namun menunjukkan makna bahwa perbuatan tersebut akan terjadi. Ada juga yang memahami penggalan awal ayat ini dalam arti konsentrasi dalam melakukan perhitungan terhadap makhluk dan bahwa ketika itu tidak ada lagi upaya yang dapat dilakukan karena masa pemberian balasan dan ganjaran telah tiba. Ini serupa dengan firman-Nya:

“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu hai manusia dan jin.” (QS. Al-Raḥmān [55]: 31).

Apapun yang terjadi, yang pasti semua akan mati dan di hari kemudian nanti di padang mahsyar, mereka yakni orang-orang kafir tampil tanpa dapat bersembunyi untuk menghadap kehadirat Allah, semua tanpa seorang pun terkecuali. Ketika itu terputus segala macam hubungan, persahabatan dan persaudaraan yang tidak berdasar ketakwaan, lalu berkatalah orang-orang yang lemah yang selama ini menjadi pengikut-pengikut para pendurhaka; mereka berkata kepada orang-orang yang sombong dan yang ketika di dunia menjadi pemimpin-pemimpin mereka “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikut kamu, dalam mendustakan para rasul serta mendukung kamu memerangi mereka.

“Maka apakah kini kamu dapat menghindarkan kami dari azab Allah walau sedikit saja?”

Pertanyaan di atas bukan dalam arti pertanyaan yang sebenarnya tetapi semacam kecaman terhadap mereka. Ini dipahami demikian, karena situasi ketika itu sedemikian jelas, kekuasaan dan murka Allah swt., terasa oleh para pendurhaka. Bahkan putusan Allah swt., telah diketahui oleh setiap orang, sebagaimana diisyaratkan oleh QS. Mu’min [40]: 47-48.

“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Sesungguhnya kami adalah pengikut- pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka? Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: "Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya).”

Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberikan petunjuk kepada kami ke jalan kebenaran dan keselamatan, niscaya kami dapat memberi petunjuk dan membimbing kamu ke arah itu. Tetapi kami tersesat, karena kalian mengikuti kami kalian pun ikut tersesat.

Ada yang berpendapat, maksudnya jika Allah memberi kami jalan menuju ke surga, pasti kalian juga ditunjukinya. Ada juga yang berpendapat, jika Allah swt menyelamatkan kami dari siksaan, pasti kalian juga akan diselamatkan.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw., beliau bersabda:

“Penduduk neraka tatkala merasakan adzab yang sangat pedih, mereka berkata, ‘marilah kita bersabar!’ maka mereka pun bersabar selama lima ratus tahun. Tatkala mereka melihat upaya mereka tidak berhasil, mereka berkata, ‘Sungguh jauh dari yang kita harapkan, mari kita bersedih’ maka mereka pun berteriak hingga lima ratus tahun. Dan, tatkala mereka mengetahui apa yang mereka lakukan tidak membawa hasil, maka mereka berkata, ‘Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh ataukah bersabar, sekali-kali kita tidak punya tempat untuk melarikan diri’.”

Kata maḥīṣ terambil dari kata hāṣa yaitu menghindar guna mencapai keselamatan. Patron kata ini dapat berarti tempat dapat juga berarti waktu yakni tempat atau peluang untuk menghindar. Pada ayat ke-22 QS. Ibrāhim. Setelah menguraikan para pendurhaka, kini diuraikan dalih pelaku dan penyebab utama kedurhakaan dan penjerumus ke jurang kesesatan, yaitu setan, dalam hal ini iblis.

Dan berkatalah setan tatkala perkara perhitungan telah diselesaikan dan telah ditetapkan oleh Allah swt., siapa penghuni surge dan siapa pula penghuni neraka: “sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kamu janji yang benar, yaitu janji yang disampaikan oleh para Nabi, antara lain bahwa Kiamat pasti datang, dan bahwa surge dihuni oleh hamba-hamba-Nya yang taat, sedang neraka dihuni oleh yang durhaka, dan bahwa ada kebahagiaan dan kesengsaraan dan aku pun telah menjanjikan kepada kamu bermacam-macam janji, tetapi kini aku mengaku telah menyalahinya yakni aku tidak memenuhinya. Tuhan juga telah menyampaikan pada kalian bahwa janji dan harapan-harapan yang aku sampaikan itu adalah bohong”.

Dan sebenarnya ketika itu, aku tidak dapat memaksa kalian, karena sekali-kali tidak ada sedikitpun kekuasaan bagiku terhadap kamu. Akutidak mempunyai kemampuan untuk memaksa dan akupun tidak memiliki bukti atas apa yang aku janjikan; tetapi aku sekedar menyeru kamu dengan berbagai cara godaan yang halus lalu kamu segera lagi bersungguh-sungguh mematuhi seruanku sehingga kamu mengikuti syahwat kamu dan meninggalkan seruan Allah swt., oleh sebab itu janganlah kamu menyesali dan menyalahkan aku, akan tetapi sesalilah dan salahkanlah diri kamu sendiri masing-masing karena sebenarnya jika kamu mau, kamu dapat menghindar dan tidak mengikuti ajakanku. Aku sekali-kali tidak dapat menolong untuk menyelamatkan kamudari siksa yang ditetapkan Allah atas kamu akibatkedurhakaan kamu kepada-Nya dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku untuk meringankan siksa yang kuterima.

Sesungguhnya hati kecil aku tidak membenarkan perbuatan kamu mempersekutukan aku dengan Allah sejak dahulu. Tetapi kamu kuajak dan kubiarkan karena aku ingin ada yang akan bersama aku di neraka setelah aku dikutuk Allah. Aku memang sejak dahulu menyadari bahwa hal tersebut adalah kzaliman, dan menyadari pula bahwa sesungguhnya orang-orang zalim mendapat siksa yag pedih.

Apa yang diucapkan setan bahwa dia tidak memiliki kekuasaan sungguh benar, karena manusia yang terpedaya olehnya adalah manusia yang tidak memiliki kekebalan. Setan pun tak ubahnya seperti kuman yang tidak akan mampu memberi dampa buruk terhadap tubuh manusia, jika tubuh itu sehat serta memiliki kekebalan. Manusia yang memiliki kekebalan iman pun tidak akan dipengaruhi oleh rayuan setan dan dengan mudah akan mampu menampiknya. Sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah demikian (QS. Al-Nisā’ [4]: 76). Ketahuilah bahwa setan tidak memiliki kemampuan untuk menjerumuskan anda walapun dia mampu menembus angkasa, mencuri-curi pendengaran, serta memiliki aneka potensi untuk menggoda.

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang- orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya”. (Qs. al- Naḥl [16]: 99).

Berulang-ulang al-Quran mengingatkan akan hal ini, bahkan di hari kemudian iblis pun mengakuinya, seperti terbaca di atas.

Kata muṣrikhī terambil dari kata ṣurākh yakni teriakan, maksudnya memberi pertolongan, karena yang meminta pertolongan biasanya berteriak. Al-Sha’rawī memahaminya dalam arti yang menghilangkan teriakan dan ini pun berarti menolong, karena dengan menolong teriakan akan terhenti.

Kata kafartu yang diterjemahkan “tidak membenarkan” adalah dalam bentuk kata terja masa lampau. Ada yang memahaminya sebagaimana pengertian hakikatnya yakni sejak dahulu ketika di dunia aku tidak membenarkan perbuatan kamu mempersekutukan aku dengan Allah. Yang memahaminya demikian, ada yang beranggapan bahwa kali ini pun iblis masih berbohong. Memang iblis tahu benar bahwa Allah Maha Esa. Bukankah dia dahulu sangat taat kepada Allah swt. Kalau bukan karena keangkuhan dan kedengkiannya kepada Adam as maka dia tidak akan sesat dan menyesatkan.

Ada juga yang memahami kata kafartu dalam arti “sejak kebangkitan sampai sekarang aku tidak membenarkan”. Ucapan ini menunjukkan penyesalannya, tetapi pada waktu penyesalan tidak berguna lagi.

Persekutuan dengan Allah swt., yang dimaksud oleh iblis di atas ada yang memahaminya bukan dalam arti mempersekutukannya dalam beribadah tetapi persekutuan dalam ketaatan mengikuti keseruannya.

Persekutuan dimaksud dapat juga dipahami dalam arti yang lebih umum, yakni benar-benar menyembah setan. Ini antara lain dapat dipahami dari beberapa ayat al-Quran seperti firman-Nya yang menjelaskan bahwa:

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?”. Malaikat- malaikat itu menjawab: "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.”

Hal itu dipahami juga dari kenyataan bahwa sejarah kemanusiaan tidak pernah sepi dari kelompok penyembah dan pemuja setan. Walaupun mereka bermacam-macam, namun pada dasrnya dapat disatukan dalam kepercayaan tentang adanya kekuatan yang aktif selain kekuatan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagian mereka berkeyakinan bahw ada pertarungan antara apa yang mereka namakan kekuatan lngit (maksudbya Tuhan) dengan kekuatan bumi (setan). Pertempura antara keduanya berlangsung seru, sekali ini yang menang dan sekali itu yang menang; ada juga yang berkeyakinan bahwa perlu ada saling pengertian antara kekuatan baik dengan buruk dalam urusan-urusan keduniaan, bahkan dalam segala persoalan, karena tuhan kebaikan, walaupun bijaksana dan memiliki kekuatan, tetapi dia telah berlepas tangan dari dunia manusia, setelah meliah kebejatan dan dsa-dosa mereka, yang lahir bukan akibat tipu daya setan terhadap mereka, tetapi karena kebejatan mereka sendiri.

Sampai kini menurut al-‘Aqqad kelompok penyembah setan masih ada di mana-mana, antara lain kelompok yang dinamai al-Yazidiyah yakni kelompok suku Kurdi yang bermukim di Irak Utara. Mereka percaya adanya tujuh tuhan yang tercipta dari cahaya Tuhan Yang Esa.

Referensi :

  • M. Quraish Shihab, al-Lubab: Makna, tujuan, dan pelajaran dari surah-surah al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2012).
  • Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thobari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al- Quran , terj. Abdul Somad, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
  • M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
  • Syaikh Imam Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Aḥkam al-Qur’ān, terj, Ahmad Khatib, dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009).
  • Jarir ath-Thobari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Quran, terj. Abdul Somad, dkk.