Bagaimana gagasan Thomas Kuhn mengenai paradigma?

Thomas Kuhn

Bagaimana gagasan Kuhn mengenai paradigma?

Pada tahun 2012, University of Chicago Press menerbitkan sebuah edisi khusus peringatan 50 tahun buku Thomas Kuhn yang sangat berpengaruh, The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn yang meninggal karena kanker paru pada tahun 1996, merupakan ahli Fisika di Universitas Harvard dan menjadi terkenal karena karya-karyanya di bidang sejarah dan ilmu filsafat. Penafsirannya tentang evolusi ilmu pengetahuan dan konsep “pergeseran paradigma” memiliki dampak besar pada pemahaman kita mengenai kehidupan intelektual, baik dalam ilmu fisika ataupun ilmu-ilmu sosial (Van Ness, 2014), termasuk dalam hal ini adalah ilmu HI. Bagian ini akan mengulas secara singkat gagasan Kuhn mengenai paradigma.

Paradigma sebagaimana diketahui adalah sebuah istilah yang pertama kali digunakan oleh Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (Kuhn, 1989). Apa yang dimaksud dengan paradigma seperti yang dipahami Kuhn, menurut Kuntowijoyo, adalah pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula (Kuntowijoyo, 2008: 548). Dalam pandangan Immanuel Kant, cara mengetahui itu dianggap sebagai skema konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa (Kuntowijoyo, 2008: 548).

Secara konseptual paradigma sesungguhnya memiliki bermacam pengertian. Kuhn sendiri, yang memopulerkan istilah itu telah menggunakan 22 pengertian dari konsep tersebut dengan cara yang berbeda. Namun secara umum, Kuhn mengartikan paradigma sebagai model atau pola yang diterima. Paradigma juga dapat berarti apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat ilmiah. Paradigma juga memiliki pengertian keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat tertentu dan menunjukkan sejenis unsur dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki konkret yang digunakan sebagai model atau contoh yang kemudian dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan masalah.

Menurut Kuhn, paradigma sebagai model atau pola yang diterima dalam suatu masyarakat ilmiah tertentu dan keberadaannya hanya berlangsung selama masyarakat ilmiah tersebut menerima dan mengakuinya. Jika ditolak, pergantian paradigma menjadi konsekuensi logis perkembangan sains dan pergantian paradigma ini dinamakan sebagai revolusi ilmiah. Rumus perkembangan revolusioner itu dibuat oleh Kuhn berdasarkan kerangka sebagai berikut: Paradigma 1 – Sains Normal – Anomali – Krisis – Paradigma 2 (P1 – SN – A – K – P2).

Bagi Kuhn, kemajuan ilmu pengetahuan akan selalu berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu komunitas ilmu pengetahuan. Teori yang memperoleh legitimasi sosial akan tampil sebagai paradigma (P1). Setelah itu, paradigma ini pun berjalan tanpa tentangan dan ilmu pengetahuan memasuki apa yang disebut oleh Kuhn sebagai Sains Normal (SN).

Namun, Kuhn meyakini bahwa kecenderungan ilmuwan untuk menyingkirkan fakta-fakta (anomali) yang tidak sesuai dengan paradigma dominan yang dianut akan membawa periode SN pada tahap krisis. Krisis ini merupakan akumulasi fakta-fakta anomali yang membuat keabsahan suatu paradigma menjadi goyah. Fakta-fakta anomali ini terkadang muncul secara tiba-tiba dan mengejutkan ilmuwan karena berlawanan sama sekali dengan apa yang seharusnya terjadi menurut paradigma. Misalnya, Kuhn mengemukakan kasus penemuan baterai elektrik yang terjadi tatkala detektor arus statis gagal bekerja seperti apa yang seharusnya terjadi berdasarkan paradigma Franklin. Dengan begitu, paradigma tidak mampu mempertahankan diri karena desakan akumulasi fakta-fakta anomali yang semakin menjadi (Adian, 2002: 88).

Krisis ini memaksa komunitas ilmu pengetahuan mempertanyakan kembali secara radikal dasar-dasar ontologis, metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini dipakainya. Karena hal itulah krisis kemudian mendorong lahirnya paradigma baru (P2) yang sama sekali berbeda dengan paradigma sebelumnya (P1) (Adian, 2002: 89).

Dalam ilmu HI, satu hal yang disepakati oleh hampir semua ilmuwannya, baik yang pro ataupun kontra, adalah realisme merupakan satu-satunya pendekatan yang paling pantas mendapat status paradigma (P1) menurut kategori Kuhnian. Seorang pospositivis Colin Wight misalnya, pernah mengakui realisme sebagai calon kuat pendekatan HI yang bisa menjadi paradigma paling dominan dalam ilmu HI (Wight, 2013: 37). Dan para ilmuwan HI telah berulang kali mendefinisikan dan menjalankan asumsi-asumsi inti (core as asumptions) dari paradigma realisme (pendefinisian ulang mengenai paradigma realisme akan dikupas setelah bahasan ini).

Akan tetapi, meskipun realisme dinilai sebagai pendekatan terkemuka bagi status paradigma dalam disiplin HI, ia bukanlah calon tunggal paradigma. Para ahli telah menciptakan sejumlah paradigma alternatif, yang hampir selalu didefinisikan bertentangan dengan realisme (Schmidt, 2013: 10). Van Ness adalah salah satu ahli yang dimaksud dan gigih dalam menggugat paradigma realisme. Gugatan Van Ness ini menunjukkan seakan-akan realisme sedang memasuki tahap krisis (K) dan lahirlah paradigma baru (P2) yang berbeda sekaligus bertentangan dengan paradigma realisme (P1).