Bagaimana etika dalam kehidupan Sosial Masyarakat Jawa?

Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos. Ethos dalam bentuk tunggal memiliki banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan; adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir. Ethos dalam bentuk jamak disebut Ta-etha artinya adalah adat kebiasaan. Etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat istiadat (Bertens,1993: 4).

Etika bagi masyarakat Jawa merupakan kesatuan sistem dan ilmu. Masyarakat Jawa menyebut Jowo sebagai tanda kemengertian seseorang terhadap makna pentingnya berlaku secara etis (gabungan etika dan etiket atau ilmu dan praktek) (Damami, 2002: 47).

Hildred Geertz (1985) dalam bukunya Keluarga Jawa, menyatakan bahwa keluarga Jawa mengharapkan anaknya menjadi penurut, pandai mengendalikan diri dan sopan. Anak akan dikatakan durung Jawa apabila belum dapat melaksanakan keewajiban ini.

Etika Jawa didasarkan pada falsafah hidup Jawa yang kental. Falsafah ini dialiri berbagai berbagai hal, antara lain sendi-sendi kejawen, yang meliputi: wawasan tri-sila, panca-sila, sinkretisme, tantularisme dan pengalaman mistik (Endraswara, 2003b: 4).

Endraswawara menjelaskan bahwa wawasan tri-sila dan panca-sila telah terangkum dalam Serat Sasangka Jati karya R. Sunarto. Serat sasangka Jati adalah pedoman aliran kejawen Pangestu.

Tri-sila meliputi sikap eling (ingat), pracaya (percaya), dan mituhu (setia).

Panca-sila adalah lima sikap hidup Jawa yang meliputi; rila (iklhlas dalam memberikan sesuatu), narima (menerima keyataan), temen (sungguh- sungguh), sabar adalah perilaku momot, artinya mau menerima cobaan secara sadar dan budi luhur atau budi yang baik.

Sinkretisme adalah wawasan hidup yang menyatukan dua pandangan yang berbeda (tujuan hidup dan nilai-nilai Hindu-Budha). Pengalaman mistik adalah cermin kehidupan batin yang berusaha mendekatkan diri melalui proses hidup sangkan paraning dumadi (asal- usul dan tujuan hidup), memayu hayuning bawana (menjaga, melestarikan, menyejahterakan dunia) dan manunggaling kawulo gusti (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan).

Sendi-sendi Kejawen hidup dalam tiap golongan masyarakat Jawa dewasa ini. Golongan masyarakat Jawa ini adalah golongan priyayi sebagai golongan wong gede dan golongan rakyat biasa yang di sebut wong cilik. Geertz (1960) membagi masyarakat Jawa dalam tiga tipe ideal yang berdasarkan ciri-ciri yang terbentuk sebagai aktualisasi dan pengalaman kehidupan sosio-keagamaan dan politik. Pengklasifikasian masyarakat Jawa menurut Geertz adalah Abangan, Santri dan Priyayi.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat berlapis. Masyarakat berlapis memiliki tata krama yang kompleks, hal ini disebabkan karena masyarakat berlapis mempunyai aturan-aturan yang mengatur anggota masyarakat dari satu lapisan dengan lapisan lainnya. Setiap lapisan masyarakat ini mempunyai aturan yang berlaku bagi lapisannya sendiri (Ayatrohaedi, 1989b: 5-6). Masing-masing golongan masyarakat memiliki peran sosial dan kewajiban. Pelaksanaan peran dan kewajiban bertujuan untuk menyelaraskan antara jagad gede (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Orang Jawa memiliki pandangan dunia yang khas. Pandangan dunia ini mencakup dua macam dunia. Pertama adalah dunia yang bersifat fana dan kedua dunia yang bersifat kekal atau disebut dengan alam sejati (Ayatrohaedi, 1989b: 136).

Masyarakat Jawa diklasifikasikan secara terbuka. Beberapa ciri budaya masyarakat Jawa menunjukan persamaan antar lapisan masyarakat. Niest Mulder berdasarkan penelitian Geertz melihat bahwa kalangan santri yang religiuspun dalam satu sisi kehidupannya tetap menjadi diri orang Jawa. Para santri tetap membicarakan kehidupan dalam perspektif mitologi wayang purwa. Golongan Santri menghargai slametan sebagai mekanisme integrasi sosial yang penting. Gologan ini juga mempunyai rasa kewajiban yang tinggi untuk mengunjungi kuburan orang-orang tua (Mulder, 1985: 17-18).

Niest Mulder menjelaskan istilah kejawen sebagai berikut:

Arti umum menurut kamus bagi istilah kejawen atau kejawaan dalam kamus bahasa Inggris Javaneseness, Javanism (Echols. 1963), merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayan Jawa yang dianggap sebagai pada hakikatnya Jawa dan mendefinisikannya sebagai kategori khas. Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan berasal dari masa Hindu Budha dalam sejarah Jawa bergabung dalam suatu sistem filasafat, yaitu suatu sistem khusus dari dasar-dasar bagi perilaku kehidupan sebagai suatu pemikiran.

Javanisme adalah lengkap pada dirinya yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa (Niest Mulder. 1996: 16)

Niest Mulder juga berpendapat bahwa etika Jawa bersifat relatif terhadap tempat. Sifat relatif disebabkan karena tanggung jawab yang diemban oleh manusia. Tanggung jawab manusia berkaitan dengan kesetiaan terhadap tuntutan tempat atau kedudukannya. Latar belakang kesadaran ini diterangkan dalam istilah: Takdir atau nasib yang berarti bahwa segala-galanya sudah ditentukan. Darma berarti kewajiban atau tugas hidup. Karma, menunjuk pada hukum illahi yang memayungi segala tindakan manusia (Suseno, 2001: 153).

Kaidah dasar etika Jawa

Menurut Niest Mulder, konsep etika Jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Obyek etika Jawa adalah pernyataan moral. Frans Magnis Suseno sependapat dengan Hildred Geertz yang menyatakan bahwa ada dua kaidah dasar yang paling menentukan pola pergaulan manusia Jawa.

  • Kaidah dasar yang pertama mengatakan bahwa dalam setiap situasi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik.

  • Kaidah yang kedua menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

Kaidah yang pertama disebut dengan prinsip rukun, sedangkan kaidah yang kedua disebut prinsip hormat atau kurmat. Interaksi manusia Jawa secara konkret diatur dalam kerangka normatif yang didasarkan pada prinsip rukun dan hormat (Suseno, 2001: 38).

Sistem etis yang berprinsip pada rukun dan hormat akan menghasilkan keselarasan hidup. Sistem etis bertujuan mengarahkan manusia pada keadaan psikologis berupa rasa ketenangan batin, kebebasan dari ketegangan emosional. Hasil dari sistem etis ini adalah keadaan slamet (selamat). Keadaan ini didasarkan pada etika Jawa yang bertolak dari pengandaian-pengandaian tentang pandangan dunia yang berbeda.

Eksistensi manusiawi tidak semata-mata ditentukan oleh hukum-hukum obyektif yang dapat diperhitungkan, tetapi akan dikembalikan pada kekuatan-kekuatan halus diluar kekuatan manusia (Suseno, 2001: 94-95).

Masyarakat Jawa memegang prinsip gerak hidup yang siklis, artinya segala sesuatu akan berakibat buruk dan sebaliknya. Masyarakat akan cenderung menanam hal-hal yang baik dan menghindari perbuatan yang buruk. Tradisi sungkeman merupakan penerapan prinsip keselarasan yang sangat menonjol dalam tradisi Jawa. Sungkeman merupakan perilaku yang mempertimbangkan roso sebagai ukurannya.

Kata “etika” dalam arti sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”. Akan tetapi dalam pandangan yang lebih luas etika dimaknai sebagai “keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.”

Pemahaman mengenai konsep etika ini kemudian berkembang ke arah yang lebih spesifik dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sebagai titik tolak, mengambil anggapan Hildred Geertz yang dikutip oleh Franz Magnis-Suseno (1993), ada dua kaidah dasar yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama mengatakan, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut, agar manusia dalam bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat kedudukannya.

Kedua kaidah tersebut kemudian dipahami oleh Franz Magnis-Suseno dengan bahasanya sendiri sebagai prinsip. Kaidah pertama disebut dengan prinsip kerukunan, kaidah kedua sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip tersebut adalah kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi. Tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa. Masyarakat mengharapkan agar kelakuan orang-orang senantiasa sesuai dengan dua prinsip itu. Selanjutnya akan dimulai dengan membahas prinsip kerukunan.

1. Prinsip Rukun

Prinsip kerukunan pada dasarnya menekankan kepada upaya untuk mencegah timbulnya konflik antar individu. Orang Jawa tidak suka untuk mencampuri urusan orang lain. Hal tersebut dihindari karena orang Jawa menganggap bahwa sejatinya kehidupan di dunia ini tengah berlangsung dengan tenang. Orang Jawa menganggap mencampuri urusan orang lain sebagai perbuatan yang gaduh dan sia-sia. Orang Jawa menganggap bahwa mencampuri urusan orang lain mudah menimbulkan emosi dan konflik.

Clifford Geertz (dalam Magnis-Suseno, 1993) mengungkapkan bahwa

Suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik adalah tata krama Jawa yang mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan lingkungan teman- teman akrab”. Tata krama tersebut menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraaan.

Bahasa Jawa sendiri sangat cocok untuk menjaga tata krama: suatu pembicaraan di atanra orang-orang yang beradab harus dijalankan degan bentuk krama; namun bahasa krama tidak menyediakan kemungkingan untuk omong kasar, umtuk mengumpat, untuk memberi perintah secara langsung atau untuk menampakkan emosi.

  • Rukun

    Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun.

    Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud saling membantu”.

    Keadaan rukun dapat terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokkan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan.

    Kata rukun juga merujuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan- hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Rukun mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat yang menyeluruh. Segala apa yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah.

    Dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu, seperti layaknya permukaan laut dengan sendirinya halus kalau tidak diganggu oleh angin atau oleh badan-badan yang menentang arus. Rukun berarti menghindari pecahnya konflik-konflik. Oleh karena itu prinsip kerukunan sebaiknya tidak disebut prinsip keselarasan melainkan dengan “prinsip pencegahan konflik”.

    Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara. Hal-hal yang perlu dicega adalah konflik-konflik yang terbuka.

  • Berlaku Rukun

    Suatu konflik biasanya pecah apabila kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan bertabrakan. Sebaca cara bertindak kerukunan menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan, bahkan kalau perlu, melepaskan, kepentingan- kepentingannya pribadi demi kesepakatan bersama.

    Mengusahakan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan persetujuan masyarakat, berusaha untuk maju sendiri tanpa mengikutsertakan kelompok dinilai kurang baik oleh masyarakat Jawa. Sama halnya dengan mengambil inisiatif sendiri, cenderung untuk tidak disenangi. Suatu inisiatif dianggap seakan-akan membuka ranah baru atau mengubah sesuatu pada keseimbangan sosial yang sudah tercapai. Inisiatif-inisiatif dengan mudah dapat melanggar kepentingan kepentingan yang sudah tertanam dan sudah diintegrasikan secara sosial, dan oleh karena itu dapat menimbulkan suatu konflik. Individu seharusnya selalu bertingak bersama dengan kelompok. Mengambil posisi-posisi yang terlalu maju, pun pula demi tujuan-tujuan yang akhirnya akan menguntungkan bagi seluruh kelompok dianggap tidak pantas.

    Apabila telah ada kepentignan-kepentingan yang saling bertentangan maka diperlunak dengan teknik-teknik kompromi tradisional dan diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok yang ada sehingga tidak sampai timbul konflik. Ambisi-ambisi pribadi jangan diperlihatkan.

    Akan tetapi bahaya yang sebenarnya bagi kerukunan dalam masyarakat tidak terletak dalam kepentingan-kepentingan obyektif yang bertentangan itu sendiri. Antara kebanyakan kepentingan yang bertentangan dapat tercapai suatu kompromi. Masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka. Norma-notma itu berlaku dalam semua lingkup hidup masyarakat kecuali dalam lingkungan keluarga inti di mana kekuatan simpati spontan (tresna) biasanya mencegah terjadinya emosi-emosi agresif atau sekurang-kurangnya dapat membatasinya. Norma-norma tersebut dapat dirangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri dan menguasai emosi-emosi.

    Masyarakat Jawa selalu berupaya untuk tampil tenang dan tidak menunjukkan rasa kaget atau gugup. Masyarakat Jawa selalu berlaku sedemikian rupa sehingga orang lain tidak sampai merasa kaget atau bingung. Bagi orang Jawa dewasa, diharapkan agar dalam berbicara, dalam segala tindak-tanduk perilakunya dapat diperhatikan oleh orang lain dan ia diharuskan untuk selalu berlaku sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan ataupun kontroversi.

    Dalam berbicara, seorang masyarakat Jawa yang telah dewasa diharapkan mampu berbicara dengan suara yang tenang, tanpa emosi, sehingga lawan bicara tidak hanya dapat menjawab dengan „ya‟ atau „tidak‟ dan oleh karena itu barangkali merasa terpaksa harus mengambil sikap konfrontatiff. Suatu pertanyaan dibuka dengan rumus seperti “saya rasa” atau “barangkali”. Membuka perasaan hati begitu saja dinilai negatif oleh masyarakat Jawa. Berlaku secara mendadak dan spontan dianggap sebagai tanda kekurangdewasaan. Lebih baik tidak berbuat apa-apa daripada menimbulkan suasana yang tidak tenang. Demi tujuan apa pun usaha-usaha yang berlebihan tidak disukai. Reaksi-reaksi yang memperlihatkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri bagi orang Jawa terasa tidak enak.

    Orang Jawa menghadapi situasi di mana kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan dengan kehati-hatian. Orang jawa tidak akan langsung menolak suatu permintaan atau penawaran. Orang Jawa akan mengucapkan inggih yang berarti iya meskipun dalam keadaan menolak. Kata penolakan seperti mboten yang berarti tidak, tidak akan langsung diucapkan dalam penolakan.

    Orang Jawa sangat menghargai kemampuan untuk memperkatakan hal-hal tidak enak secara tidak langsung. Membungkus dan mempersiapkan berita yang tidak disenangi merupakan kemampuan yang sebaiknya dimiliki oleh orang-orang Jawa. Satu pembicaraan beradab sering nampak iseng-iseng saja sebelum muncul sesuatu yang berarti. Orang Jawa menanamkan sikap ini untuk saling menjajagi dan mempersiapkan diri secara emosial ketika tengah berkomunikasi. Apabila akhirnya pembicaraan sudah sampai pada masalah yang sebenarnya, maka tidak ada bahaya besar lagi bahwa akan timbul reaksi-reaksi emosional.

    Clifford Geertz pun mengatakan bahwa

    Kekasaran bukanlah watak yang terpuji, dan ketika orang tiba kepada maksud yang sesungguhnya, dalam suatu model percakapan priyayi yang baik, setiap orang harus sudah menyadari apa yang hendak dikatakan oleh seseorang. Sering kali orang tidak perlu mengutarakan maksud pembicaraan yang sebenarnya –- suatu hal yang sangat melegakan bagi semua orang.

    Selain kemampuan komunikasi secara implisit seperti di atas, orang Jawa juga memiliki kemampuan untuk menghindari kekecawaan dengan kebiasaan berpura-pura. Orang Jawa berbicara tentang ethok-ethok (pura-pura). Kemampuan untuk ber-ethok-ethok merupakan suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-ethok berarti bahwa di luar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaan-perasaannya yang sebenarnya.

    Interaksi Ethok-ethok mudah ditemukan apabila terkait dengan perasaan-perasaan negatif. Orang Jawa yang diliputi kesedihan yang mendalam akan berusaha untuk tetap tersenyum. Apabila orang Jawa bertemu dengan orang yang dia benci, mereka tetap nampak gembira, dan banyak orang jawa menjadi juara dalam seni itu.

    Cliffor Geertz menyebut bahwa

    “… Pada umumnya seorang Jawa yang sopan menghindari keterusterangan yang serampangan”. Ethok-Ethok tidak melulu berlaku untuk perasaan negatif. Perasaan-perasaan positif yang kuat berusaha ditutupi kecuali dalam lingkungan yang sangat akrab.

    Upaya menjaga kerukunan juga ditemukan melalui praktek gotong-royong. Menurut Koentjaraningrat, ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong royong:

    • “orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya;

    • orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya;

    • orang itu harus bersifat konform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya.”

2. Prinsip Hormat

Kaidah kedua yang memainkan perananan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya.

Menurut Willner (1970), apabila dua orang bertemu, terutama dua orang Jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai, dengan mengambil skap hormat atau kebapaan yang tepat adalah amat penting.

Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis, bahwa keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertaa=hankannya dan membawa diri sesuai dengannya. Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita tentang suatu masyarakat yang teratur baik , di mana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian turut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan tatakrama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat. Sedangkan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tanggung jawab. Kalau setiap orang menerima kedudukannya maka tatanan sosial terjamin. Dalam budaya jawa hal ini dikenal dengan istilah ngrumangsani (tahu diri).

Maka dari itu hendaknya kita senantiasa untuk tidak mengembangkan ambisi-ambisi, tidak bersaing satu sama lain, melainkan hendaknya setiap orang harus puas dengan kedudukan yang telah diperolehnya dan berusaha untuk tetap menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya:

“Ambisi, persaingan, kelakuan kurang sopan, dan keinginan untuk mencapai keuntungan material pribadi dan kekuasaan merupakan sumber dari segala perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan ditindas.”

Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa sesesorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Sebagaimana telah diterangkan dalam hubungan dengan prinsip kerukunan, orang Jawa dalam menyapa orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan bahwa di dalamnya hampir selalu terungkap segi senior-junior.

Adalah tidak mungkin untuk bicara dalam bahasa Jawa tanpa mengacu pada tinggi- rendahnya kedudukan lawan bicara terhadap kedudukan pembicara. Dalam gradasi- gradasinya yang sulit dan formal yang begitu banyak, pilihan kata-kata yang mencerminkan kedudukan, keakraban atau hubungan resmi, umur, jarak sosial dan pangkat, sekaligus dengan segala nuansa harapan satu sama lain, kewajiban dan hak-hak.

Pilihan kata-kata dan bahasa mengungkapkan tatanan yang ada. Bahasa Jawa sendiri terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika. Pertama, bahasa krama, mengungkapkan sikap hormat, sedangkan yang satunya adalah ngoko yang mengungkapkan keakraban.

Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Sebagaimana diuraikan Hildred Geertz pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oelh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi, isin, dan sungkan. Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan.

Pertama-tama anak belajar untuk merasa wedi terhadap orang yang harus dihormati. Anak dipuji apabila bersikap wedi terhadap orang yang lebih tua dan terhadap orang asing. Bentuk-bentuk pertama kelakuan halus dan sopan dididik pada anak dengan menyindir pada segala macam bahaya mengerikan dari pihak-pihak asing dan kekuatan-kekuatan di luar keluarga yang akan mengancamnya.

Setelah itu mulailah dikenalkan dengan pendidikan untuk merasa isin. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan sebagainya. Belajar untuk merasa malu (ngerti isin) adalah langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang. Sebaliknya penilaian ora ngerti isin, ia tidak tahu malu, merupakan suatu kritik yang amat tajam. Rasa isin dikembangkan pada anak dengan membuat di malu di hadapan tetangga, tamu, dan sebagainya, apabila ia melakukan sesuatu yang pantas ditegur. Sebagai akibat maka anak-anak sering kelihatan amat malu-malu kalau ada tamu, seakan-akan mereka dibanjiri oleh suatu perasaan malu total, sehingga mereka sama sekali tidak bisa disapa, bahkan oleh ibu mereka sendiri.

Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati.

Perasaan isin dapat muncul dalam semua situasi sosial. Satu-satunya kekecualian adalah lingkaran keluarga inti (di mana ayah belum entu termasuk), di mana terdapat suasana akrab (tresna) dan orang tidak merasa isin satu terhadap lain.

Tata krama kesopanan yang ketat membantu untuk mencapai bentuk-bentuk pergaulan yang lebih santai, karena aturan-aturan itu menjamin bahwa kata-kata dan pembawaan kita cocok dan oleh karena itu kita tidak perlu merasa isin. Barangkali itulah sebabnya mengapa orang Jawa biasanya tidak kelihatan terganggu dengan adanya segala macam aturan sopan-santun, melainkan bahkan nampak lebih santai dalam kerangka itu. Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ketakutan terhadap rasa isin merupakan salah satu motivasi terkuat bagi orang Jawa untuk menyesuaikan kelakuannya dengan norma-norma masyarakat.

Apabila telah memahami apa itu wedi dan isin maka seorang Jawa kemudian akan belajar merasa sungkan. Sungkan merupakan suatu perasaan yang dekat dengan isin, tetapi berbeda dengan cara seseorang untuk merasa malu terhadapa orang asing. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan rasa isini, perasaan sungkani bukanlah suatu rasa yang hendaknya dicegah. Hildred Geertz (1961) menggambarkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendriri demi hormat terhadap orang lain. Sungkan adalah rasa malu positif yang dirasakan berhadapan dengan atasaan.

Wedi, Isin, dan Sungkan, merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan- tuntutan prinsip hormat, sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak. Pembatinan perasaan-perasaan itu adalah tanda kepribadian yang matang. Mengerti isin, sungkan, rukun, dan mengerti kapan dan bagaimana perasaan-perasaan itu cocok berarti bahwa orang telah mencapai cita-cita lebih umum untuk menjadi orang Jawa: tahu bagaimana membawa diri, sehat, dan matang, pendek kata, menjadi Jawa sepenuhnya.

Sikap hormat dan sikap-sikap yang berhubungan dengannya berkembang dengan paling jelas dalam kalangan masyarakat di mana hidup sehari-hari sangat dipengaruhi oleh struktur-struktur hierarkis, yaitu dalam kalangan priyayi yang secara tradisional berpedoman pada kraton32. Sedangkan dalam lingkungan masyarakat desa dengan struktur dasar masyarakat yang lebih egaliter, maka sikap-sikap itu tidak memainkan peranan yang begitu besar, seperti halnya yang tercermin dari kelas-kelas masyarakat yang melakukan pekerjaan kasar. Pada masa ini, mentalitas yang didasari atas pembatinan sikap-sikap hormat nampak dalam kalangan pegawai, pejabat, militer, atau pada umumnya oleh kalangan menengah terdidik. Kelompok-kelompok ini kemudian yang diidentikan dengan sebutan priyayi-priyayi modern.