Terdapat beberapa etika komunikasi Islam yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah yaitu:
Qawlan Sadidan : Perkataan yang jujur
Menurut Ibn Faris yang merupakan seorang pakar bahasa Arab Kuno, Qawlan Sadidan menunjukkan kepada makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya. Ia dapat pula berarti sebagai istiqamah (konsisten). Kata ini juga digunakan untuk menunjuk kepada sasaran. Seorang yang menyampaikan sesuatu yang benar dan mengenai tepat pada sasarannya, dilukiskan dengan kata ini.
Jalaluddin Rahmat mengungkapkan makna Qawlan Sadidan dalam arti pembicaraan yang jujur, lurus, tidak berbohong, tidak berbelit-belit dan juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta, tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumannya yaitu al-Quran dan Sunnah.
Perkataan Qawlan Sadidan terdapat pada dalam firman Allah Swt surat An-Nisa’ ayat 9 yaitu:
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah Swt orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Swt dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. An-Nisa’ ayat 9)
Ayat ini berbicara tentang kondisi anak-anak yatim yang pada hakikatnya berbeda dengan anak-anak kandung dan ini menjadikan mereka lebih peka, sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih hati-hati dan kalimat-kalimat yang lebih terpilih dan benar. Unsur pesan pada ayat ini berlaku umum, sehingga pesan-pesan agama pun, jika bukan pada tempatnya tidak diperkenankan untuk disampaikan, seperti halnya, mengucapkan salam pada orang yang sedang makan atau sedang buang hajat, bicara suatu kebaikan di saat khatib sedang berlangsungkan khutbah di atas mimbar dan sebagainya. Walaupun pada hakikatnya mengucapkan salam dan berucap sesuatu kebaikan itu adalah suatu perbuatan yang baik, tetapi hal itu tidak dibenarkan dalam keadaan tertentu.
Sadidan menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-Qosyani menafsirkan Qawlan adalah kata yang lurus (Qowiman): kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, (Correct), tepat (Shawaban). Sedangkan Sadidan berarti berkata. Jadi Menurut al-Qasyani bahwa Qawlan Sadidan dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan berkata dengan kebenaran, maka dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan dan pangkal dari segala kesempurnaan, karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati.
Seorang muslim harus berkomunikasi yang benar, jujur, lurus, tidak bersombong tidak berbelit-belit dan tidak berdusta, karena sekali berkata dusta, selanjutnya akan berdusta untuk menutupi dusta yang pertama begitu seterusnya, sehingga bibir pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tidak ingin dibohongi, misalkan seorang istri yang dibohongi oleh suami ketika ketahuan bahwa suaminya berbohong maka akan sangat sakit batin istrinya dan tidak akan percaya kepada suaminya lagi, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut.
Jadi dalam berkomunikasi, maka bangunlah suatu kondisi yang baik maka isi pesan komunikasi yang harus benar, sebab komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Qaulan Baligha : Perkataan yang membekas pada jiwa
Islam sangat mengajurkan agar komunikasi yang digencarkan tersebut efektif, efisien dan tepat sasaran. Salah satu bukti keberhasilan Rasul dalam berdakwah adalah karena penggunaan bahasanya yang singkat tetapi padat, jelas serta mengena dalam hati dan pikiran sekaligus, bahkan Rasul merupakan seorang yang pandai merangkai kata, baik ketika berkhutbah maupun dalam komunikasi beliau sehari-hari.
Perkataan Qawlan Baligha terdapat pada dalam firman Allah Swt surat An-Nisa’ ayat 63 yaitu:
Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang Allah Swt mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (QS. An-Nisa’: 63).
Ayat ini menjelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang diketahui Allah isi hati mereka berupa kemunafikan dan kedustaan mereka dalam mengajukan alasan, maka berpalinglah kamu dari mereka dengan menberi mereka maaf dan berilah mereka nasihat agar takut kepada Allah Swt serta katakanlah kepada mereka tentang keadaan diri mereka perkataan yang dalam artinya yang berbekas dan mempengaruhi jiwa, termasuk bantahan dan hadirkan agar mereka kembali dari kekafiran.
Menurut Abd. Rohman makna dasar dari ungkapan Qawlan Layyina dapat dipenuhi dalam tiga hal,
-
Pertama, Komunikator menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapi, karena itu, Allah Swt mengutus Rasul-Nya sesuai dengan bahasa di mana mereka diutus. Sebagaiman yang telah Allah Swt jelaskan dalam surat Ibrahim ayat 4 yaitu:
Artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS.Ibrahim: 4).
Ayat ini menjelaskan tentang salah satu dari kelembutan Allah Swt kepada makhluk-Nya yaitu dia mengutus kepada mereka Rasul-Rasul dari kalangan mereka sendiri yang berbahasa sama dengan mereka, agar mereka dapat memahami para Rasul dan memahami risalah yang dibawa oleh para Rasul itu. Allah mahabijaksana dalam semua perbuatan-Nya, maka dia menyesatkan orang yang berhak disesatkan dan memberi petunjuk kepada orang yang pantas mendapat petunjuk. Demikianlah sunnatullah pada makhluk-Nya, yakni tidak sekali-kali Allah Swt mengutus seorang nabi buat suatu umat melainkan nabi itu berbicara dengan bahasa mereka, maka setiap nabi khusus menyampaikan risalahnya hanya kepada umatnya.
-
Kedua, bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan pikirannya sekaligus.
-
Ketiga, ketika perkataan itu dipersepsikan atau dipahami oleh pihak yang mendengar seperti apa yang dimaksudkan oleh yang mengatakan.
Senada dengan pahaman di atas, al-Burushi mengartikan Qawlan Balighan dari segi cara pengungkapannya yaitu perkataan yang dapat menyentuh dan berpengaruh pada hati sanubari orang yang diajak bicara, artinya bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi tersebut mempengaruhi dan merubah perilaku sasaran komunikasi.
Balighan dalam bahasa Arab artinya sampai mengenai sasaran atau mencapai tujuan, dan dapat juga berarti fasih jelas maknanya, terang dan tepat mengungapkan apa yang dikehendaki. Jadi Qawlan Balighan terkandung makna supaya berbicara secara efektif dan efesien sesuai dengan situasi dan kondisinya, sehingga pesan yang dikomunikasikan sampai dapat diterima denga baik oleh pendengar.
Menurut Jalaluddin Rahmat bahwa kata Qawlan Baligha merupakan menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung kepokok masalah ( straight to the point) dan tidak berbelit- belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikasi dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
Sebagaimana orang yang bijak bila komunikasi harus melihat situasi dan kondisi yang tepat dan menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara dengan anak-anak maka harus berkata sesuai dengan pikiran anak-anak, bila dengan remaja maka harus mengerti dunia remaja dan pilihlah kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa, dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademik. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa.
Qawlan Maisura : Perkataan yang pantas atau ringan
Dalam komunikasi, selain menggunakan bahasa yang lemah-lembut, seorang komunikator juga dianjurkan untuk selalu menggunakan bahasa yang mudah dan pantas, hal ini dimasudkan agar pihak kedua dapat menangkapkan pesan-pesan atau informasi secara mudah. Perkataan Qawlan Maisura terdapat pada dalam firman Allah Swt surat al-Isra ayat 28 yaitu:
Artinya : Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas. (QS. Al-Isra: 28).
Asbab nuzul dari ayat di atas dapat dijelaskan melalui riwayat Sa’ad bin Mansur yang bersumber dari Atha al-Khurasany, di mana itu orang-orang Muzainah meminta kepada Rasulullah Saw supaya diberi kendaraan untuk berperang di jalan Allah Swt, Rasululullah menjawab aku tidak mendapatkan bagi kendaraan untuk kalian, mereka berpaling dengan air mata berlinang karena sedih dan mengira bahwa Rasulullah Saw marah kepada mereka, maka turunlah ayat ini sebagai petunjuk kepada Rasulullah Saw dalam menolak suatu permohonan supaya menggunakan kata-kata yang pantas dan mudah.
Menurut Jalailin perkataan yang pantas merupakan perkataan yang lemah lembut, seumpama kamu menjanjikan kepada mereka akan memberi jika rezeki telah datang padamu. Jadi perkataan yang pantas merupakan ucapan terbaik yang harus diucapkan dalam suatu kondisi yang kita sendiri sangat sulit dengan kondisi tersebut.
Istilah Qawlan Maisura tersebut dalam al-Isra. Kalimat Maisura berasal dari kata yasr , yang artinya mudah. Qawlan Maisura adalah lawan dari kata ma’sura , perkataan yang sulit. Sebagai bahasa komunikasi, Qawlan Maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Komunikasi dengan Qawlan Maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali.
Sementara itu, Ibn Katsir mengartikan ungkapan perkataan yang mudah dengan ucapan yang pantas, serta ucapan janji yang menyenangkan yang selaku memberi harapan positif bagi pihak yang dijanjikan. Misalnya ucapan jika saya mendapat rizki dari Allah, insya Allah saya akan mengajakmu makan malam.
Qawlan Layyina : Perkataan yang lembut
Perkataan Qawlan Layyina terdapat pada dalam firman Allah Swt surat Tha Ha ayat 44.
Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS. Tha Ha: 44).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt mengajarkan agar berkomunikasi dalam menyampaikan kebenaran kepada penguasa Tiran haruslah bersifat sejuk, lemah lembut, tidak kasar dan tidak lantang, karena dapat memacing respon yang lebih keras dalam waktu spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog/berkomunikai dengannya.46 Fakhri mengatakan bahwa seseorang yang dihadapi dengan cara lemah lembut, akan terkesan di hatinya dan akan cenderung menyambut baik dan menerima ajakan yang diserukan kepadanya.
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qawlan Layyinan berarti pembicaraan yang lemah-lembut dengan suara yang enak didengar dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah Saw selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.
Perkataan yang lemah lembut merupakan suatu perkataan yang dapat menyetuh hati bagi setiap pendengar yang berusaha menggunakan perkataan yang halus dan nada yang rendah dan berusaha menghindari perkataan yang kasar baik makna maupun nadanya. Misalkan seseorang yang dihadapi dengan cara yang demikian, maka akan terkesan dihatinya dan akan cenderung menyambut baik dan menerima komunikasi dan ajakan yang diserukan kepadanya. Begitu sebaliknya kalau manusia dihadapi dengan cara yang keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.48
Demikian dalam komunikasi Islam semaksimal mungkin dihindari kata- kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah Swt melarang bersikap keras dan kasar dalam berkomunikasi, karena kekerasan akan mengakibatkan komunikasi kita tidak akan berhasil malah umat akan menjauh, dalam berdoa pun Allah Swt memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan dengan suara yang lemah lembut, sungguh Allah Swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Qawlan Karima : Perkataan yang mulia
Perkataan Qawlan Karima terdapat dalam firman Allah Swt surat al-Isra ayat 23.
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS. Al-Isra: 23).
Kata-kata yang mulia merupakan kata-kata yang diucapkan dengan penuh khidmat yang menggambarkan tata adab yang sopan santun dengan penghargaan yang penuh terhadap orang lain. Misalkan suatu konsep yang memang kita yakini bahwa apabila kita berbuat dan berkata sopan maka orang lain juga akan berbuat demikian terhadap kita, dengan demikian komunikasi yang kita laksanakan akan dapat berjalan dengan lancar.
Komunikasi dengan Qawlan Karima adalah orang yang telah lanjut usia, pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia, santun, tidak vulgar (jijik, muak, ngeri, dan sadis), tidak kasar yang dibarengi dengan rasa hormat, mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, bertatakrama dan tidak perlu retorika yang meledak-ledak.
Qawlan Ma’rufa : Perkataan yang baik
Jalauddin Rahmat menjelaskan bahwa Qawlan Ma’rufa adalah perkataan yang baik, sesuai dengan kebiasaan baik yang terdapat dalam masing-masing masyarakat menurut ukuran dari setiap masyarakat yang menjadi mitra komunikasi kita selama kalimat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman menurut Amir, arti Qawlan Ma’rufa sebagai perkataan yang baik dan pantas. Baik di sini berarti sesuai dengan norma dan nilai, sedangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkannya.
Allah Swt menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah (Qawlan Ma’rufa) berarti pembicaraan yang bermanfaat memberikan pengetahuan, mencegahkan pemikiran dan menunjukkan solusi terhadap kesulitan kepada orang lemah. Jika kita tidak dapat membentu secara material, kita harus dapat membantu psikologi.
Perkataan Qawlan Ma’rufa terdapat dalam firman Allah Swt surat Al-Baqarah: 263 yaitu :
Artinya: Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Swt Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Ayat ini menjelaskan mengenai perkataan yang baik yaitu sesuai dengan budaya terpuji dalam suatu masyarakat itu adalah ucapan yang tidak menyakiti hati peminta, baik yang berkaitan dengan keadaan penerimanya, seperti berkata, dasar peminta-minta maupun yang berkaitan dengan pemberi, misalnya dengan berkata saya sedang sibuk. Perkataan yang baik itu lebih baik walaupun tanpa memberi sesuatu dari pada memberi dengan menyakiti hati orang yang diberi.
Jadi kata Qawlan Ma’rufa mengandung makna perkataan yang baik, sesuai dengan konteks tempat dan situasi di mana dan dengan siapa situasi komunikasi tersebut berlangsung, serta tidak pola bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Perkataan yang baik merupakan perkataan yang enak dirasa dan membuatnya menjadi penurut ataupun perkataan yang enak didengar dan menyenangkan hati, jadi bukan perkataan yang menyangkitkan hati yang akan merusak situasi dan kondisi dan akhirnya pesan yang disampaikan tidak diterima audien. Oleh sebab itu diperlukan memilih bahasa yang tepat dalam menyampaikan pesan dan kata-kata yang dipergunakan benar-benar baik.
Menurut Jalaluddin Rahmat bahwa Qawlan Ma’rufa merupakan perkataan yang baik. Allah Swt menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah, Qaulan Ma’rufa sering dinamai sebagai pembicaraan yang bermanfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat membantu psikologi.
Menurut uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Qaulan Ma’rufa merupakan pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman, perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain yang hanya dapat mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Di dalam Sunah Nabi juga ditemukan prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam, bagaimana Rasulullah Saw mengajarkan berkomunikasi. Dari sabda Rasulullah Saw dapat dipahami bahwa dalam berkomunikasi hendaklah bersikap jujur, terbuka dan benar walaupun dalam penyampaian kebenaran itu penuh risiko. Maka dalam berkomunikasi hendaklah yang baik dan benar sehingga bermanfaat bagi yang lain. Kalau tidak bermanfaat diam saja. Janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu artinya apabila ingin berkomunikasi dengan orang lain, tidak asal berbicara harus berhati-hati dan memiliki manfaat bagi orang lain. Nabi Muhammad Saw juga menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw mengingatkan kepada umatnya untuk tidak membicarakan aib orang lain disaat dia tidak ada dihadapannya.
Nabi Muhammad Saw berpesan sesungguhnya Allah Swt tidak suka kepada orang-orang berbicara kepada orang lain ketika orang itu tidak ada yaitu mereka yang menyungkirbalikkan (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya. Pesan Nabi Muhammad Saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami. Jangan sekali-kali berbicara memutarbalikan fakta, yang benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar. Bila ini terjadi, kita telah melakukan kebohongan besar, dan pantas disebut sangat tidak bermoral. Selain tidak ada etika dalam berkomunikasi, juga telah berbuat dosa besar.
Referensi :
- M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol .2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
- Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah , (Bandung: Diponegoro, 2000)
- Syamsul Rijal , Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimentasi , (Banda Aceh: Perpustaka Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Melihat Syari’at Islam dari Berbagai Dimensi Nanggroe Aceh Darussalam, 2011).
- Abd. Rohman, Komunikasi dalam al-Quran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah , (Malang: UIN-Malang Press, 2007).
- 51Jalaluddin Rahmat, Etika Komunikasi Perspektif Religi, cet. 2 (Jakarta: Kencana, 2006).