Bagaimana epidemiologi penyakit Myiasis?

image

Kata Myasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “myia” yang berarti lalat. Adapun defi nisi myiasis adalah infestasi larva lalat (Diptera) ke dalam jaringan hidup manusia atau hewan vertebrata lainnya dalam periode tertentu dengan memakan jaringan inangnya termasuk cairan substansi tubuh. Masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit ini dengan nama belatungan sedangkan penduduk India menyebutnya sebagai peenash atau scholechiasis. Selain pada hewan, kasus myasis juga terjadi pada masyarakat golongan sosio-ekonomi rendah terutama di negara tropis pada musim penghujan. Sampai saat ini, kasus myasis masih banyak dijumpai tidak hanya pada daerah kantung ternak yang dipelihara secara ekstensif (seperti di kawasan Indonesia Bagian Timur) tetapi juga pada peternakan intensif atau semi intensif termasuk pada hewan kesayangan.

EPIDEMIOLOGI

1. Siklus hidup

Siklus hidup lalat C.bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan lalat. Dari telur menetas menjadi larva instar I (L1) sampai dengan larva instar III (L3) memerlukan waktu enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan jatuh ke tanah dan membentuk pupa. Dalam waktu tujuh sampai delapan hari, pupa menetas menjadi lalat (imago). Setelah kawin pada umur 4 – 8 hari, lalat betina akan bertelur pada jaringan yang terluka (Gambar 2).

Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12-24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30oC, selanjutnya L1 menuju ke daerah luka yang basah. Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke dalam jaringan inang.

Larva instar II akan berkembang menjadi L3, selanjutnya pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh ke tanah.

Larva instar III (L3) akan membuat terowongan sepanjang dua sampai tiga sentimeter untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC. Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat selama seminggu pada kondisi 25-30oC sedangkan pada temperatur yang lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan.

2. Patogenitas

Patogenesis myasis pada hewan dan manusia tidak berbeda. Awal terjadinya myasis adalah apabila ternak mengalami luka alami akibat berkelahi, tersayat benda tajam, gigitan caplak/predator dan pasca partus atau terputusnya tali pusar/umbilikus. Luka lain juga disebabkan oleh campur tangan manusia, misalnya pada kasus pemotongan tanduk (de-horning), kastrasi, pemotongan ekor, puncukuran bulu dan lain-lain. Bau darah segar yang mengalir akan menarik lalat betina C.bezziana untuk meletakkan telurnya di tepi luka tersebut. Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh ke tanah oleh gerakan hewan. Dalam waktu kurang dari 12 jam, telur akan menetas menjadi larva dan bergerak masuk ke dalam jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang lalat yang lain (lalat sekunder dan tersier) untuk hinggap (Sarcophaga sp, C.megachepalla, C.rufi facies, Musca sp) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Apabila tidak ada pengobatan, penderita dapat mengalami kematian.

3. Sifat Alami Agen

Lalat jantan memerlukan minum dan karbohidrat yang lebih banyak dibandingkan dengan betina untuk mempertahankan hidupnya. Lalat jantan dapat mengawini beberapa betina, tetapi betina hanya kawin sekali seumur hidupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa awal produksi telur terjadi pada hari kedua pasca kawin. Umur lalat termuda yang mampu memproduksi telur adalah umur lima hari. Puncak produksi telur terjadi pada betina yang berumur delapan hingga dua belas hari. Umumnya lalat betina menetas satu hari lebih awal dibandingkan dengan lalat betina. Awal kematian terjadi pada umur empat hari dan mencapai puncaknya pada umur empat belas hari.

Studi lain juga menyebutkan bahwa larva yang turun dari sumber pakan (luka myiasis) dan jatuh ke tanah pada hari pertama 3,05 kali lebih banyak menjadi lalat betina. Terowongan yang dibuat larva untuk menjadi pupa mempunyai kedalaman berkisar 6 – 7 cm dibawah tanah. Larva akan mengalami penurunan bobot badan sekitar 25,87 untuk menjadi pupa dan 44,93 untuk menjadi lalat dewasa. Bobot minimal pupa yang bisa menetas menjadi lalat adalah 23,5 –26 mg.

Berbeda dengan jenis lalat lainnya, C.bezziana jarang ditemukan di sekeliling sapi. Lalat betina akan mendekat ke ternak pada saat akan bertelur. Lalat ini lebih senang bertengger pada daun, pagar, pokok kayu dan berbaur dengan jenis Calliphoridae lainnya di lingkungan tersebut. Banyak jenis Calliphoridae lain yang juga berwarna hijau sehingga tidak mudah mengenali C.bezziana secara kasat mata.

4. Spesies Rentan

Semua jenis hewan yang bertulang belakang dan berdarah panas rentan terhadap penyakit myiasis. Kasus myasis banyak terjadi pada induk sapi yang diikuti oleh pedet, kerbau, kuda, babi, kambing, cempe dan domba yaitu, pada induk pasca partus (myasis vulva) dan anak yang baru lahir (myasis umblikus), sedangkan sisanya sebagai akibat luka traumatika.

Selain pada hewan ternak, myiasis juga menyerang pada hewan kesayangan, seperti anjing dan kucing, termasuk ayam (Gambar 3). Domba Australia yang dimasukkan ke India dan Papua New Guinea sangat peka terhadap serangan lalat C.bezziana. Sapi potong hasil kawin silang dengan sapi Australia dilaporkan lebih peka dibandingkan sapi lokal yang berada di Malaysia. Kejadian myasis pada hewan liar seperti harimau, rusa, badak dan gajah pernah dilaporkan termasuk kasus myasis di Kebun Binatang di Malaysia dan hewan liar lainnya di Papua New Guinea.

5. Pengaruh Lingkungan

Lalat myiasis dapat berkembang baik dalam kondisi tropis dengan kelembaban yang tinggi. Daerah yang memiliki pepohonan, semak-semak dan sungai merupakan daerah ideal untuk kelangsungan hidup lalat myiasis.

6. Sifat Penyakit

Penyakit ini tidak menyebabkan kematian apabila cepat dilakukan pengobatan. Namun apabila hewan penderita tidak diobati dalam waktu 1 – 2 minggu maka akan terjadi keracunan akibat aktivitas bakteri (infeksi sekunder) seperti yang dilaporkan di Texas bahwa kematian tahunan akibat myiasis pada rusa muda berkisar 20-80%.

7. Cara Penularan

Penularan penyakit myiasis melalui lalat betina C.bezziana yang menginfestasi jaringan hidup. Pada lingkungan tropis dengan populasi inang yang padat, lalat betina mampu terbang sekitar 10 – 20 Km. Adapun pada lingkungan tandus dengan kepadatan populasi inang yang rendah, lalat dapat terbang hingga 300 Km sedangkan pada kondisi pegunungan, lalat akan terbang mengikuti alur perbukitan yang memiliki iklim lebih hangat dengan kelembaban yang tinggi. Disamping itu, lalat ini juga dapat terdistribusi melalui angin dan tranportasi ternak.

Umumnya penularan myiasis dari daerah endemik ke non endemik melalui hewan penderita yang masuk ke daerah tersebut. Apabila tidak ada tindakan pengobatan dengan segera, larva akan jatuh ke tanah membentuk pupa sehingga berpotensi untuk menginfestasi hewan yang pada daerah yang bebas.

8. Faktor Predisposisi

Umumnya kasus myiasis lebih banyak dijumpai pada induk pasca pastus, yaitu di daerah vagina. Kondisi ini berkorelasi positif dengan kejadian myiasis pada anaknya, yaitu di daerah pusar atau umbilikus. Adapun pada hewan jantan, myiasis dijumpai pada prepusium. Lokasi luka yang juga sering terkena serangan lalat myiasis adalah kuku dan telinga pasca pemasangan ear-tag serta moncong pasca proses pembuatan lubang dihidung.

Beberapa faktor predisposisi serangan myiasis antara lain, musim panas atau panca roba, dikandangkan dengan hewan yang terinfestasi myiasis, rendahnya tingkat higenitas dan sanitasi lingkungan serta kurang peduli terhadap perawatan luka dan masuknya ternak baru ke daerah endemik myiasis.

9. Distribusi penyakit

a. Kejadian di Indonesia

Larva lalat C.bezziana dilaporkan pertama kali di Indonesia pada kasus myasis kuku sapi dalam bentuk infestasi campuran dengan larva lalat B.intonsus di daerah Minahasa pada tahun 1926. Kasus selanjutnya ditemukan pada kuda di daerah yang sama 1948-1949. Laporan lain menyebutkan bahwa telah terjadi kasus myasis pada kuku sapi perah di daerah Bogor dalam bentuk infestasi campuran dengan Sarcophaga dux dan Musca domestica. Infestasi campuran antara C.bezziana dan Sarcophaga sp. juga pernah dilaporkan pada kejadian myasis di Sumba Timur dan Sulawesi Selatan.

Kejadian myasis di Indonesia masih menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Penyataan ini didukung oleh adanya beberapa laporan kasus myasis di seluruh kepulauan Indonesia. Penelitian dinamika kasus myasis di Kecamatan Kandat-Kediri pada salah satu klinik hewan sepanjang tahun 2002-2004 menunjukkan peningkatan, yaitu 47 kasus (2002), 63 kasus (2003) dan 89 kasus (2004). Studi ini berlanjut dari 2005 – 2009 dan diperoleh sebanyak 357 kasus pada ternak ruminansia.

Umumnya kasus myasis cukup tinggi menjelang hingga musim hujan, yaitu pada bulan Agustus sampai April sedangkan kasus terendah terjadi pada bulan Mei sampai Juli. Hasil ini sesuai dengan kasus myasis di pulau Lombok dan Sumba Timur yang dilaporkan tinggi pada musim hujan. Selain Kediri, kasus myasis di beberapa daerah di Pulau juga telah dilaporkan, antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Sumba, Timor dan Papua. Data-data diatas menunjukkan bahwa kasus myasis di Indonesia masih cukup tinggi dan harus mendapat perhatian yang serius.

b. Distribusi geografi s

Lalat C.bezziana tersebar di kawasan Afrika bagian tropis dan sub tropis, sub kontinen India, Asia Tenggara dari Cina selatan menuju Malaysia dan Philipina hingga Papua New Guinea termasuk Indonesia.

Laporan lain menyebutkan bahwa lalat ini telah masuk ke beberapa negara di pantai barat Teluk Persia.

Referensi: