Bagaimana epidemiologi penyakit Fasciolosis?

image

Berdasarkan hasil penelitian, dari berbagai hewan ruminansia yang ada di Indonesia, telah dilaporkan bahwa domba ekor tipis merupakan domba yang resisten terhadap infeksi fasciolosis dan daya resistensi tersebut dapat diturunkan secara genetik.

EPIDEMIOLOGI

1. Siklus Hidup

Di dalam tubuh inang utama yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh permukaan tubuhnya (mirasidium). Larva mirasidium kemudian berenang mencari siput Lymnea.

Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea rubiginosa). Mirasidium setelah berada di dalam tubuh siput selama 2 minggu berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai kemampuan reproduksi secara asexual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput, sehinga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya larva sporosis melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian larva redia melakukan paedogenesis menjadi serkaria.

Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan segera keluar dari siput berenang mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan lama pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh hewan ruminansia, maka kista tersebut dapat menembus dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi dewasa dalam beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali.
1

2. Spesies Rentan

Spesies rentan adalah sapi, kambing, domba, babi, kelinci, gajah, kuda, anjing, kucing, keledai, kijang, jerapah, zebra, kangguru dan manusia.

Pada inang yang tidak biasa, seperti manusia dan kuda, cacing Fasciola dapat ditemukan dalam paru-paru, di bawah kulit atau pada organ lain.

Hewan muda lebih rentan dibandingkan dengan hewan dewasa.

Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan kambing bersifat akut. Selama cacing muda bermigrasi di dalam parenkim hati, dapat menyebabkan kematian karena adanya kegagalan fungsi hati dan terjadinya perdarahan. Dampak infeksi F.gigantica diketahui lebih berat dan lebih infektif pada kambing dibandingkan pada domba.

3. Pengaruh Lingkungan

Infeksi cacing trematoda pada ruminansia biasanya berhubungan erat dengan tanaman semiakuatik karena siklus hidupnya mutlak memerlukan inang antara berupa siput air tawar.

Lingkungan yang basah merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan Fasciola sp. karena perlu induk semang antara siput air tawar jenis Lymnea. Telur cacing Fasaciola sp. yang masih bercampur dengan feses tidak akan berkembang menjadi embrio. Suhu udara optimal untuk perkembangan embrio berkisar antara 22-30 °C.

Mirasidium yang keluar dari telur sangat aktif berenang mencari inang antara yang cocok, yaitu siput L.rubiginosa, dan daya tahan hidup mirasidium tidak lebih dari 40 jam. Setelah mirasidium masuk dalam tubuh siput akan berkembang menjadi sporosista dan redia. Selanjutnya redia memproduksi serkaria yang akan keluar dari tubuh siput mulai hari ke 40 sampai hari ke 55.

Setelah serkaria keluar dari tubuh siput, maka akan kehilangan ekornya dan mulai terbentuk substansia kental yang menutupi seluruh permukaan tubuh (kista). Kista F.gigantica lebih banyak ditemukan menempel pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya sekitar 2 cm di bawah permukaan air. Selain itu diketahui bahwa serkaria lebih menyukai tumbuhan air yang berwarna hijau.

4. Sifat Penyakit

Penyakit bersifat endemis dengan prevalensi pada hewan ruminansia besar dapat mencapai 60% dan pada domba 20%.

  1. Cara Penularan

Hewan bertulang belakang terinfestasi secara tidak sengaja menelan metasarkaria yang menempel pada tumbuhan air/rumput atau air minum yang mengandung metaserkaria. Di dalam usus manusia, parasit keluar dari kista (ekskistasi) dan bermigrasi dengan menembus dinding usus dan rongga perut menuju ke hati. Selanjutnya menuju dan tinggal di dalam suran empedu. Proses pendewasaan di dalam hati atau kantung empedu memerlukan waktu 2 (dua) bulan. Telur melewati saluran empedu menuju usus dan keluar ke tanah atau air bersama dengan feses. Seluruh siklus hidup memerlukan waktu 5 (lima) bulan.

6. Distribusi Penyakit

a. Kejadian di Indonesia

Indonesia merupakan negara beriklim tropis basah, sehingga sangat cocok untuk perkembangan-biakan cacing hati F.gigantica.

Fasciolosis di Indonesia merupakan penyakit yang penting dengan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.

Prevalensi penyakit ini pada sapi di Jawa Barat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta antara 40-90%, sedangkan prevalensi penyakit pada domba belum diketahui.

b. Distribusi Geografi

Spesies F.gigantica dan F.hepatica tersebar di seluruh dunia dan penyebaran F.hepatica lebih luas dibanding F.gigantica. F. gigantica diketahui merupakan satu-satunya cacing trematoda yang menyebabkan fasciolosis pada hewan ruminansia di Indonesia.

Referensi: