Bagaimana epidemiologi penyakit Ascariasis?

Ascariasis

Ascariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi cacing nematoda dari famili Ascaridae, genus Toxocara. Selama ini, terdapat 3 (tiga) spesies Toxocara yang sangat penting, yaitu Toxocara canis yang menyerang anjing (anak dan dewasa); T.cati yang menyerang kucing (anak dan dewasa); serta T.vitulorum yang menyerang sapi dan kerbau (umur dibawah 6 bulan dan induk).

EPIDEMIOLOGI

1. Siklus hidup

Telur dalam feses tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus menjadi larva. Selanjutnya, larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan plasenta, lalu masuk ke cairan amnion dan ke kelenjar mammae, selanjutnya keluar bersama kolustrum. Cacing T.vitulorum dewasa dapat ditemukan pada duodenum sapi yang berumur antara 3-10 minggu. Telur T.vitulorum sudah tidak ditemukan dalam feses kerbau antara hari ke 30120 setelah infeksi yang bertepatan dengan turunnya level antibodi dalam serum. Kondisi ini diduga karena pada saat itu cacing dewasa telah keluar dari usus.

2. Sifat Alami Agen

Telur T.vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif selama 7-12 hari pada suhu optimal 28-30°C. Perkembangan tersebut, tidak terjadi pada suhu di bawah 12oC. Kendati demikian, apabila berada dalam suhu optimal, telur akan menjadi infektif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa telur T.vitulorum dapat bertahan di lingkungan selama beberapa bulan hingga mencapai dua tahun.

3. Spesies Rentan

Hewan yang peka/rentan terhadap infestasi cacing T.vitulorum adalah pedet (anak sapi) atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan.

Gejala klinis atau kematian umumnya terjadi pada pedet yang berumur 12 bulan. Hewan yang berumur lebih dari 6 bulan sangat tahan terhadap infestasi cacing ini karena pembentukan daya tahan tubuh relatif telah sempurna. Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya penurunan jumlah telur cacing per gram feses secara signifi kan seiring dengan bertambahnya umur hewan.

4. Pengaruh Lingkungan

Telur cacing T.vitulorum tahan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (kekeringan), sehingga peningkatan intensitas penularan terjadi pada saat musim hujan akibat adanya kontaminasi di padang penggembalaan oleh pedet penderita. Gangguan persediaan pakan pada musim kering (malnutrisi) dan higenitas lingkungan yang kurang baik semakin memperburuk kondisi hewan sehingga mudah terserang oleh cacing ini.

5. Sifat Penyakit

Di Indonesia, parasit ini bersifat endemis dan umumnya menyerang sapi, pedet dan anak kerbau. Prevalensi pada pedet dibawah umur 3 bulan dilaporkan mencapai 45%.

6. Cara Penularan

Tiga cara penularan cacing T.vitulorum, antara lain tertelannya telur cacing secara insidental, melalui plasenta pada tahap fetus dalam kandungan dan melalui kolustrum pada saat menyusu ke induknya.

Pedet terinfeksi melalui kolostrum yang mengandung larva infektif. Pada hewan menjelang dewasa (umur lebih dari 6 bulan), telur infektif yang tertelan akan berkembang dalam saluran pencernaan menjadi larva infektif (L3).

Larva tersebut tidak berkembang menjadi cacing dewasa, tetapi bersembunyi (dormant) dalam berbagai otot/organ tubuh melalui penetrasi dinding usus dan selanjutnya didistribusikan lewat sirkulasi darah.

Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi akan terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of resistance), sehingga pada saat inilah larva yang tersembunyi tersebut menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta) dan akhirnya menulari anak yang dikandung.

Masa penularan oleh induk penderita ke anak melalui kolostrum terjadi terutama pada saat pedet berumur 2 hari dan selanjutnya semakin menurun sampai pedet berumur 10 hari. Periode prepaten parasit ini adalah sekitar 21 hari sejak tertelannya larva infektif melalui kolostrum.

7. Distribusi Penyakit

Prevalensi ascariasis akibat infeksi T.vitulorum pada pedet di Nigeria 61,491,1% dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur cacing T.vitulorum dalam fesesnya.

Prevalensi kejadian Ascariasis di Indonesia pada sapi dan kerbau dilaporkan sebesar 76% di Malang dan 68,2 di Surabaya pada pedet yang berumur kurang dari 2 bulan, 51,4 pada pedet berumur 2-4 bulan dan 43,4 % pada pedet berumur sekitar 6 bulan. Kejadian ascariasis pada anak kerbau di Kabupaten Subang, Jawa Barat diidentifi kasi pada 14 sampel dari 21 sampel feses anak kerbau yang berumur 21-62 hari dengan jumlah telur T.vitulorum antara 100,000-104,000 telur per gram (epg) feses. Infestasi telur T.vitulorum lebih dari 100.000 epg diduga mampu sebagai faktor penyebab kematian pada anak kerbau maupun anak sapi.

Referensi:

Siklus hidup telur dalam feses tertelan oleh sapi dan menetas di usus halus menjadi larva, selanjutnya larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan plasenta kemudian masuk ke cairan amnion dan kelenjar mammae, selanjutnya keluar bersama kolostrum. Cacing T. vitulorum dewasa dapat ditemukan pada duodenum sapi yang berumur antara 3-10 minggu. Sifat alami agen telur T.vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif selama 7-12 hari pada suhu optimal 28-30ºC (Ayaz E, 2006). Sapi yang rentan terhadap cacing Toxocara vitulorum adalah pedet yang berumur dibawah enam bulan. Gejala klinis atau kematian umumnya terjadi pada pedet yang berumur satu sampai dua bulan, sapi yang berumur lebih dari enam bulan lebih tahan terhadap infestasi cacing ini karena pembentukan daya tahan tubuh relatif sempurna. Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya penurunan jumlah telur cacing per gram feses secara signifikan seiring dengan bertambahnya umur hewan (Gunawan M, 1984). Telur cacing T.vitulorum tahan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (kekeringan), sehingga peningkatan intensitas penularan terjadi pada saat musim hujan akibat adanya kontaminasi di lokasi HMT oleh pedet penderita (Syarwani, 1984).

Cara penularan antara lain tertelanya telur cacing secara insidental, melalui plasenta pada tahap fetus dalam kandungan dan melalui kolostrum pada saat menyusu ke induknya. Pedet terinfeksi melalui kolostrum yang mengandung larva infektif. Pada sapi menjelang dewasa (umur lebih dari 6 bulan), telur infektif yang tertelan akan berkembang dalam saluran pencernaan menjadi larva infektif. Larva tersebut tidak berkembang menjadi cacing dewasa , tetapi bersembunyi (dormant) dalam berbagai organ tubuh melalui penetrasi dinding usus dan selanjutnya di distribusikan lewat sirkulasi darah (Robert JA, 1989). Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi, terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of resistance), sehingga memicu larva yang tersembunyi ( dormant ) berubah menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (plasenta), kemudian menulari anaknya (Koesdarto S, 1999). Masa penularan oleh induk penderita ke anak melalui kolostrum terjadi terutama pada saat pedet umur dua hari dan selanjutnya semakin menurun sampai pedet umur 10 hari. Periode prepaten parasit ini adalah sekitar 21 hari sejak tertelanya larva infektif melalui kolostrum (Assay, 2003).