Dalam pandangan Islam, empati dibenarkan sepanjang dalam konteks meringankan beban penderitaan orang lain, tetapi bukan berarti boleh ikut tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut
Aspek-aspek empati yang dibahas dalam Al-Qur’an antara lain:
Aspek menolong
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Allah SWT berikut,
jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.QS. Ali Imron 160
Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), QS. Al-Mu’min 51
Aspek “merasakan”
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk dapat merasakan penderitaan orang lain. Hal ini seperti yang disebutkan dalam ayat Allah SWT berikut,
tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. QS. Ali Imron 185
jika mereka berpaling Maka Kami tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami Dia bergembira ria karena rahmat itu. dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena Sesungguhnya manusia itu Amat ingkar (kepada nikmat). QS. Asy-Syuura 48
Aspek “mendengar”
Manusia dilarang mendengar hal-hal yang kurang baik dan sangat dianjurkan untuk mendengar hal-hal yang baik agar selamat di dunia dan di akhirat, seperti yang termaktub dalam ayat Allah SWT berikut,
dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. QS. Al-Qasshash 55
orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). QS. Al-Maaidah 18
yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. QS. Az-Zumar 18
catatan : Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran karena ia adalah yang paling baik.
Aspek “ikhlas”
manusia juga diajarkan untuk berbuat kebaikan dengan ikhlas atau tidak mengharap imbalan dari apa yang telah dikerjakannya. Hal ini termaktub dalam ayat Allah SWT berikut ini
Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya). QS. Al-Maidah 85
Aspek “tulus”
Manusia diharuskan untuk mengerjakan segala perbuatan kebajikan dengan tulus dari hati agar mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan.
kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. QS. An-Nisa’ 146
Catatan : Mengadakan perbaikan berarti melakukan perbuatan yang baik untuk menghilangkan sisi keburukan dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.
Empati yang kita berikan pada orang lain seharusnya didasari keikhlasan. Yakni, siapapun yang dirinya terpanggil untuk merasakan dan menolong orang lain, maka keterpanggilan itu harus berlandaskan keikhlasan untuk membantu dan meringankan beban orang lain, bukan dengan niatan apapun yang sifatnya pamrih. Dari pemahaman ini, dalam Islam, empati bukan hanya sekadar merasakan dan menolong orang lain saja, akan tetapi ia harus pula disertai keikhlasan yang tujuannya ibadah.
Disinilah letak Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin, artinya pengamalan dari ajaran agama (Islam) tak harus melangit dan muluk-muluk, akan tetapi, ia dapat dimulai dari tindakan sehari-hari, meski ia masih berbentuk niatan dalam hati, seperti empati.