Bagaimana empati dilihat dari sudut pandang Islam ?

Empati

Empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan-akan menjadi bagian dalam diri. Leiden (1997). Empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Titchener

Bagaimana empati dilihat dari sudut pandang Islam ?

Dalam pandangan Islam, empati dibenarkan sepanjang dalam konteks meringankan beban penderitaan orang lain, tetapi bukan berarti boleh ikut tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut

Aspek-aspek empati yang dibahas dalam Al-Qur’an antara lain:

Aspek menolong

Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Allah SWT berikut,

jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.QS. Ali Imron 160

Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), QS. Al-Mu’min 51

Aspek “merasakan”

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk dapat merasakan penderitaan orang lain. Hal ini seperti yang disebutkan dalam ayat Allah SWT berikut,

tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. QS. Ali Imron 185

jika mereka berpaling Maka Kami tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami Dia bergembira ria karena rahmat itu. dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena Sesungguhnya manusia itu Amat ingkar (kepada nikmat). QS. Asy-Syuura 48

Aspek “mendengar”

Manusia dilarang mendengar hal-hal yang kurang baik dan sangat dianjurkan untuk mendengar hal-hal yang baik agar selamat di dunia dan di akhirat, seperti yang termaktub dalam ayat Allah SWT berikut,

dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. QS. Al-Qasshash 55

orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). QS. Al-Maaidah 18

yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. QS. Az-Zumar 18

catatan : Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran karena ia adalah yang paling baik.

Aspek “ikhlas”

manusia juga diajarkan untuk berbuat kebaikan dengan ikhlas atau tidak mengharap imbalan dari apa yang telah dikerjakannya. Hal ini termaktub dalam ayat Allah SWT berikut ini

Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya). QS. Al-Maidah 85

Aspek “tulus”

Manusia diharuskan untuk mengerjakan segala perbuatan kebajikan dengan tulus dari hati agar mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan.

kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. QS. An-Nisa’ 146

Catatan : Mengadakan perbaikan berarti melakukan perbuatan yang baik untuk menghilangkan sisi keburukan dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.

Empati yang kita berikan pada orang lain seharusnya didasari keikhlasan. Yakni, siapapun yang dirinya terpanggil untuk merasakan dan menolong orang lain, maka keterpanggilan itu harus berlandaskan keikhlasan untuk membantu dan meringankan beban orang lain, bukan dengan niatan apapun yang sifatnya pamrih. Dari pemahaman ini, dalam Islam, empati bukan hanya sekadar merasakan dan menolong orang lain saja, akan tetapi ia harus pula disertai keikhlasan yang tujuannya ibadah.

Disinilah letak Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin, artinya pengamalan dari ajaran agama (Islam) tak harus melangit dan muluk-muluk, akan tetapi, ia dapat dimulai dari tindakan sehari-hari, meski ia masih berbentuk niatan dalam hati, seperti empati.

Empati merupakan kemampuan untuk menempatkan perasaan pada orang lain, dengan kata lain ikut peduli dengan sesuatu yang dialami oleh orang lain. Hal ini bisa ditunjukkan dalam berbagai situasi, seperti saat ada kerja bakti di lingkungan tempat tinggal, saat ada bencana alam, saat melihat orang lain tengah dalam kerepotan dan lain sebagainya. Sebenarnya tidak hanya itu, empati lebih luas lagi yakni memberi saran yang membangun pada orang lain, memudahkan urusan, mentaati peraturan dan lain-lain.

Dalam hal ini, Allah telah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 2 :

Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya

Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Rasulullah SAW telah bersabda

Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam haditsnya yang lain, Rasulullah SAW menyebutkan manfaat dari saling membantu sesama, yakni:

Barang siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya, dan barang siapa yang melepaskan satu kesusahan yang dialami oleh seorang muslim, maka Allah akan menghindarkannya dari satu kesusahan di hari kiamat.‘’ (HR.Muslim)

Salah satu wujud dari rasa empati seseorang adalah kasih sayang yang diberikan pada orang lain. Kasih sayang hakikatnya adalah kelembutan hati dan kehalusan jiwa yang terdorong untuk mudah memaafkan dan berbuat baik.

image

Rasulullah SAW telah mencontohkan sifat kasih sayang ini dalam kehidupan sehari-hari beliau. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah memiliki rasa empati yang tinggi. Hal ini tergambar dalam sebuah kisah beliau dengan cucunya. Ketika Rasulullah SAW sedang shalat, Hasan masuk dan menaiki punggung beliau ketika beliau sedang sujud. Rasulullah memelankan (memperpanjang) sujudnya sampai Hasan turun. Ketika selesai para sahabat bertanya,

“Mengapa Anda memanjangkan sujudmu, ya Rasulullah?” Rasulullah SAW berkata, “ Anakku menaikiku dan saya tidak ingin mempercepatnya .”

Demikianlah betapa Rasulullah mengasihi cucu beliau sehingga merelakan sujudnya diperlama agar Hasan tidak terjatuh dari punggung beliau. Selain dengan keluarganya, Rasulullah juga menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada sahabat beliau. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abdullah bin Masud “

Rasulullah tidak pernah berpanjang-panjang dalam memberikan nasehat kepada kami karena beliau takut kami akan bosan ” (Abdullah, 2007).

Kasih sayang Rasulullah juga ditunjukkan kepada umatnya yaitu beliau memudahkan mereka. Sebagaimana sabda beliau,

Kalau seandainya saya tidak menyayangi umatku, maka saya akan menyuruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu .” (HR. Imam Malik dan asy-Syafi’i)

Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi sumber utama ajaran islam. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi kehidupan umat manusia yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu rahmat yang tiada bandingannya bagi semesta alam ini. Karena Al-Qur’an merupakan petunjuk serta kamus kehidupan, maka al-Qur’an pun mengungkap aspek-aspek psikologi manusia, termasuk salah satunya adalah aspek empati.

Dalam pandangan Islam, empati dibenarkan sepanjang dalam konteks meringankan beban penderitaan orang lain, tetapi bukan berarti boleh ikut tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut (QS. Hud: 16).

Dari penjelasan di atas, yakni tentang empati dalam perspektif Islam, maka dapat disimpulkan bahwa empati dalam Islam dapat diartikan dengan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menolong, merasakan pikiran, serta mendengar perasaan orang lain dengan tulus dan ikhlas. Dalam konteks ini empati tidak hanya merasakan kesusahan orang lain saja, melainkan merasakan kesenangannya pula.

Dalam konteks ini, empati yang kita berikan pada orang lain seharusnya didasari keikhlasan. Yakni, siapapun yang dirinya terpanggil untuk merasakan dan menolong orang lain, maka keterpanggilan itu harus berlandaskan keikhlasan untuk membantu dan meringankan beban orang lain, bukan dengan niatan apapun yang sifatnya pamrih. Dari pemahaman ini, dalam Islam, empati bukan hanya sekadar merasakan dan menolong orang lain saja, akan tetapi ia harus pula disertai keikhlasan yang tujuannya ibadah. Disinilah letak Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin, artinya pengamalan dari ajaran agama (Islam) tak harus melangit dan muluk-muluk, akan tetapi, ia dapat dimulai dari tindakan sehari-hari, meski ia masih berbentuk niatan dalam hati, seperti empati.

Jika dilihat dari sudut pandang agama islam aspek-aspek empati telah dibahas dalam Al-Qur’an antara lain:

  1. Aspek “menolong”; sebagaimana yang disebutkan dalam surat QS. Ali Imron 160 (3:160), QS. Al-Mu’min 51 (40:51) yang artinya jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal

  2. Aspek “merasakan”; Islam mengajarkan kepada umatnya untuk dapat merasakan penderitaan orang lain. Hal ini seperti yang disebutkan dalam surat QS. Ali Imron 185 (3:185), dan QS. Asy-Syuura 48 (42:48) yang artinya tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

  3. Aspek “mendengar”; seperti yang termaktub dalam QS. Al-Qasshash 55 (28:55), QS. Al-Maaidah 18 (5:18), QS. Az-Zumar 18 (39:18): Manusia dilarang mendengar hal-hal yang kurang baik dan sangat dianjurkan untuk mendengar hal-hal yang baik agar selamat di dunia dan di akhirat. dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”.

  4. Aspek “ikhlas”; manusia juga diajarkan untuk berbuat kebaikan dengan ikhlas atau tidak mengharap imbalan dari apa yang telah dikerjakannya. Hal ini termaktub dalam QS. Al-Maidah 85 (5:85) yang artinya Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya

  5. Aspek “tulus”; manusia diharuskan untuk mengerjakan segala perbuatan kebajikan dengan tulus dari hati agar mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan. Ini disebutkan dalam QS. An-Nisa’ 146 (4:146) yang artinya kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.