Bagaimana eksistensi Tuhan menurut pandangan para penganut paham Eksistensialisme ?

eksistensialisme

Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesama manusia.

Bagaimana eksistensi Tuhan menurut pandangan para penganut paham Eksistensialisme ?

Dalam menyikapi eksistensi Tuhan, terdapat dua karakteristik eksistensialisme, yaitu ateisme dan teisme. Nama-nama seperti Nietzsche, Heidegger, Sartre, Albert Camus (1913-1960) adalah para tokoh eksistensialis ateistik, dan nama-nama seperti Kierkegaard, Karl Jasper, Gabril Marcel adalah diantara mereka yang mendukung eksistensialisme teistik. Menurut pengelompokan Sartre, yang termasuk dalam kelompok teisme adalah Karl Jaspers dan Gabriel Marcel dan yang ateisme adalah dia sendiri dan para eksistensialis Prancis.

Ciri yang menonjol untuk membedakan kedua eksistensialisme adalah bahwa yang ateisme menolak Tuhan demi kebebasan manusia, sedangkan teisme justru dengan menerima Tuhan manusia mendapatkan kebebasannya. Kedua-duanya sama-sama menekankan pentingnya individualitas dan kebebasan dan juga memandang manusia sebagai realitas terbuka dan tidak pernah selesai. Argumen eksistensialisme ateistik, apabila eksistensi Tuhan diterima berarti eksistensi manusia menjadi semu, karena kebebasannya dibatasi oleh kemahakuasaan Tuhan. Eksistensialisme teistik berpendapat, manusia mengatasi temporalnya yang menjadi ciri eksistensi dengan menjadikan Tuhan sebagai masa depannya.

Dari ciri tersebut nampak jelas bahwa kemunculan dua aliran tersebut sebenarnya dipicu oleh permasalahan eksistensi Tuhan. Bagaimanapun juga mereka lahir di bawah kultur Barat yang berakar kuat pada rezim esensialisme dan instutionalisme. Dari rezim seperti itu, lahir lembaga-lembaga Kristen dan pandangan-pandangan Kristen esensialistik. Gereja muncul sebagai institusi otoriter yang tidak hanya mendeterminasi para penganutnya, tapi kadang-kadang juga mendikte perkembangan kultural.

Bentuk seperti ini tidak jauh beda dengan Islam. Jika Barat mengatakan “Tuhan telah mati.” Maka Islam mengatakan “pemikiran kenabian telah mati” atau “Nabi telah mati”. Hal ini tidak lepas dari pernyataan ilmu pengetahuan datangnya dari Nabi. Semakin jauh suatu masa dari Nabi maka ilmu pengetahuan akan semakin merosot; pada gilirannya merosot pula kebudayaan dan peradaban.

Mendapati Kebudayaan Barat-Kristen yang demikian, Friedrich Nietzcshe dalam salah satu karyanya membuat ilustrasi orang gila yang mondar-mandir di pasar sambil berujar,

“Tidakkah kita mendengar kesibukan para penggali kubur yang sedang mengubur Tuhan? Apakah kita tidak mencium bau bangkai Tuhan? Bahkan Tuhan telah menjadi busuk. Tuhan mati. Tuhan akan tetap mati, dan kita telah membunuhnya.”

Ilustrasi Nietzcshe yang memaklumatkan kematian Tuhan ini tentu bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan simbol kegelisahan terhadap bentuk kepercayaan nilai-nilai universal-absolut agama yang telah menyetubuhi kebebasan sebagai kreativitas individu menjadi objek yang tak berdaya. Potret historis menunjukkan semenjak tahun 1546 agama Kristen (Katolik) dengan lembaga gerejanya telah menjelma menjadi institusi otoriter yang paling berkuasa dalam mendeterminasi penganutnya dengan nilai-nilai universal-absolut agama. Bahkan melalui otoritas ini dimanfaatkan untuk mengintervensi perkembangan budaya. Bukti intervensi agama ke dalam gerak budaya tergambar dalam ungkapan Nietzsche,

“apa yang ditolak Kristen adalah fakta budaya manusia yang besar.”

Kritik tajamnya terhadap agamanya yang tersebar dalam berbagai karyanya yang puncaknya pada buku Anti Christ membuatnya dikenal sebagai seorang ateis yang paling ekstrem. Kematian Tuhan ditegaskannya karena ia harus memilih satu di antara dua: Tuhan atau manusia. Ungkapan tentang tersebut bukanlah suatu ratapan, melainkan hanya sekedar pilihan. Tuhan hidup, manusia mati, atau sebaliknya, manusia hidup dan Tuhan harus mati. Keduanya tidak mungkin hidup bersama.

Apa yang dilakukan Nietzsche itu menginspirasi Sartre dengan menentang gagasan Tuhan dan menggantinya dengan gagasan the absolute freedom. Di dalam karyanya Existentialism and Human Emotions, Sartre mempersoalkan Tuhan Sebagai pencipta God as Creator.

Tuhan mencipta berdasarkan ide tertentu tentang realitas yang akan diciptakan. Dengan demikian, Tuhan mengetahui esensi benda-benda, termasuk manusia yang telah diciptakan-Nya itu. Proses dan cara Tuhan mencipta ini, ia analogikan dengan seorang ahli pembuat pisau pemotong kertas (paper cutter), yang sebelumnya telah didahului oleh suatu gagasan tentang kepisau-kertasan. Sebagaimana Sartre mengungkapkan,

“ketika kita memahami Tuhan sebagai pencipta, dia secara umum dianggap sebagai semacam seorang yang sangat ahli.”

Dengan berpijak Tuhan sebagai pencipta, lantas Sarter berujar,

“kalau Tuhan maha tahu, tidak ada yang tinggal bagiku untuk aku temukan; aku selalu menemukan hal-hal yang sudah diketahui.”

Hal ini berarti bahwa tidak ada keaslian tindakan manusia. Seorang manusia tidak dapat mengubah apa yang telah ditentukan Tuhan. Atas dasar tersebut para eksistensialis ateistik memberontak intervensi Tuhan yang pada akhirnya menghilangkan eksistensi Tuhan dan menjadikan manusia sendiri untuk memiliki kebebasannya yang pada akhirnya memunculkan aktivitas kreatif manusia.

Tidak ketinggalan, eksistensialisme teistik juga menolak esensialis Kristen yang dikemas dalam konsep-konsep logis, karena cenderung mengabaikan hubungan personal manusia dengan Tuhannya. Tuhan tidak mereka pahami sebagai esensi, tetapi sebagai individu; bukan dengan cara impersonal tetapi personal. Di bawah bayang-bayang Kierkegaard, Marcel dan Jaspers berpendirian sama bahwa absolutisme Hegelian hanya menampilkan Kristen dalam suatu sistem tertutup dan membuat nonsen hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dalam pandangan eksistensialis teistik, Tuhan tidak dipahami sebagai suatu diri yang berdiri “di belakang” manusia, tetapi ia menjadi arah proyeksi dari eksistensi manusia. Dalam kebebasannya, manusia tidak bisa memenuhi tuntutan etisnya sendiri. Sebagaimana digambarkan melalui momen-momen krisis seperti nampak dalam pandangan Kierkegaard, yakni tiga tahap kehidupan;

Tahap pertama adalah estetis, tahap ini dimaksudkan bahwa individu yang berada pada tahap ini, diombang-ambingkan oleh dorongan indrawi dan emosi-emosinya. Semboyan hidupnya adalah “kenikmatan segera”, sedangkan hari esok dipikir besok.

Oleh karena itu patokan-patokan moral tidak cocok untuk tahap ini, sebab akan menghambat pemuasan hasrat individu. Individu juga tidak memilki asas-asas kokoh sehingga dia dengan mudah terpikat dari orang yang satu ke orang yang lain, atau dari benda satu ke benda yang lain. Ketakutan pokoknya adalah rasa tidak enak dan kebosanan. Meski memiliki ciri-ciri rendah semacam itu, tahap ini juga tahap eksistensial. Artinya orang bisa dengan bebas memilih untuk hidup dan secara konsisten hidup sebagai manusia estetis. Menurut Kierkegaard, kalau dengan bebas dipilih oleh manusia estetis, rasa putus asa itu akan membawanya ke sebuah kebebasan. Dengan kata lain, dia akan menghadapi tawaran untuk hidup menurut eksistensi yang baru, yaitu tahap etis.

Tahap kedua adalah etis, untuk sampai pada tahap etis, individu itu harus membuat pilihan bebas, sebuah “lompatan eksistensial”. Jadi, tahap ini bukan tahap yang niscaya mutlak atau otomatis. Pada tahap ini, individu dapat menguasai dirinya dan mengenali dirinya. Dia menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan patokan-patokan moral universal. Baginya ada distansi yang jelas antara baik dan buruk. Menurut Kierkegaard, manusia etis masih terkungkung pada dirinya sendiri. Jadi, meskipun dia berusaha mancapai asas-asas moral universal, dia masih bersikap imanen, yaitu mengandalkan kekuatan rasionanya belaka.

Menurut Kierkegaard, manusia etis tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya serba terbatas. Dia tidak menjumpai “Paradoks Absolut”. Tetapi kalau hidupnya semakin dalam, dia akan menjumpai Paradoks Absolut itu, dan dia ditantang untuk melompat ke cara eksistensi yang baru, tahap religius.

Tahap ketiga adalah religius. Tahap religius ini ditandai dengan pengakuan individu akan Allah, dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan Allah. Pada tahap ini individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebutnya “lompatan iman”. Lompatan ini bersifat non-rasional dan biasa kita sebut pertobatan. Tokoh yang memodelkan tahap ini adalah Abraham. Tokoh dan kitab suci ini dengan keputusan bebasnya mengorbankan putra tunggalnya, Iskak, karena beriman kepada Allah yang menghendaki pengorbanan itu.

Sementara dalam pandangan Jaspers yang bersumber pada taransenden atau Yang Melingkupi (das Umgreifende) menempatkan kehidupan manusia terarah kepada Allah (esse ad Deum). Tentang yang transenden atau Allah sebetulnya hanya dapat kita berpikir dan berbicara dengan memanfaatkan simbol-simbol (Chiffren) yang disajikan oleh kesenian dan mitologi.

Melalui jalan ini alam bisa dibaca dan ditafsirkan sebagai jejak Allah (vestigial Dei). Dengan begitu eksistensialisme Jaspers mendapat sifat religius. Itu tidak berarti bahwa Jaspers mempunyai suatu pandangan Kristiani seperti Kierkegaard, namun ia tetap percaya pada Tuhan. Filsafatnya menjauhkan diri dari setiap macam scientisme secara rasional, tapi tanpa menjadi anti-ilmiah atau irasional. Filsafat tidak dapat memberikan suatu pembuktian empiris sebagaimana diberikan dalam pengetahuan ilmiah tentang benda-benda berhingga, namun ia dapat mencapai juga Gewissheit von Wahrheit, kepastian tentang kebenaran.

Tetapi kepastian ini tidak langsung didasarkan atas suatu bukti ilmiah atau suatu penalaran rasional, namun mempunyai juga motif-motifnya dan baru boleh disebut kepastian karena bersekutu dengan pengetahuan (im Bund emit dem Wissen). Kepercayaan ini sebetulnya sama dengan kehidupan kita sendiri: aktus (tindakan) dari eksistensi kita di mana kita mulai menyadari transendensi menurut kenyataannya. Rumusan kesayangan Jaspers untuk mengungkap kepercayaan filosofis ini akhirnya berbunyi: “Kepercayaan adalah hidup yang bersumber pada Yang Melingkupi (das Umgreifende), artinya "membiarkan kehidupannya dituntun dan dipenuhi oleh Yang Melingkupi”.

Sedangkan dalam eksistensialisme Marcel, kemandirian individu yakni “aku” yang tidak henti pada a self en-closed unit, suatu unit diri yang tertutup, tetapi sesuatu unit diri yang “terbuka” untuk yang lain yang dikemas oleh cinta kasih abadi. Yang lain itu merupakan objek baginya, jadi sebagai “dia”, mungkin juga merupakan yang ada bagi “aku”. Aku ini membentuk diri terutama dalam hubungan “aku-engkau” ini. Dalam hubungan ini kesetiaanlah yang menentukan segala-galanya. Setia itu hanya mungkin karena orang merupakan bagian “engkau” yang mutlak (Tuhan). Kesetiaan yang menciptakan “aku” ini pada akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia kepada Allah. Di dalam cinta kasih ada kesetiaan dan kepastian, bahwa ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan dalam kematian adalah semu. Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya Engkau Yang Tertinggi (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan objek manusia.

Melalui relasi dengan orang lain, dari eksistensi Marcel dapat menghantarkan kita kepada kehadiran dari “Yang Lain” atau Tuhan. Di sinilah maka kepercayaan, iman, dan harapan tida k memerlukan pembuktian sistematis maupun logika empiris.

Sampai di sini sintesis antara eksistensialisme teistik dan ateistik adalah bentuk reaksi dan respons terhadap filsafat esensialisme Hegel dan rasionalisme dalam filsafat Barat Modern dengan menekankan pentingnya eksistensi manusia kepada kebebasan. Manusia adalah diri yang sadar, konkret dan bebas. Sedangkan antitesis kedua eksistensialisme tersebut adalah problem eksistensi Tuhan. Para eksistensialis yang ateistik menolak eksistensi Tuhan yang pada gilirannya merampas kebebasan manusia. Para eksistensialis teistik justru menerima Tuhan dan menganggapnya tidak merampas kebebasan manusia perorangan karena Tuhan dipahami secara individual, bukan sebagai suatu sistem diri yang tertutup.

Referensi
  • Friedrich Nietzshe, The Joyful Wisdom, terj. Thomas Common (London: NtN Voulis, t.th.).
  • Abdurrahman Badawi, Sejarah Ateis Islam: Penyelewengan, Penyimpangan, Kemapanan, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003).
  • Choirul Arifin, Kehendak untuk Berkuasa Friedrich Nietzsche (Jakarta: Airlangga, 1987)
  • Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993).
  • F.C. Copleston, S.J., Existentialism and Modern Man (London: Blackfriars Publication, 1968).
  • P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, terj. K. Bertens (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1991).