Bagaimana dampak dari letusan Krakatau tahun 1883 ?

letusan Krakatau tahun 1883

Letusan Krakatau 1883 terjadi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang bermula pada tanggal 26 Agustus 1883 (dengan gejala pada awal Mei) dan berpuncak dengan letusan hebat. Pada tanggal 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884. Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah.

Bagaimana dampak dari letusan Krakatau tahun 1883 ?

Awal letusan

Sebelum letusan 1883, aktivitas seismik di sekitar Krakatau sangat tinggi, menyebabkan sejumlah gempa bumi yang dirasakan hingga ke Australia. Pada 20 Mei 1883, pelepasan uap mulai terjadi secara teratur di Perboewatan, pulau paling utara di Kepulauan Krakatau. Pelepasan abu vulkanik mencapai ketinggian hingga 6 km dan suara letusan terdengar hingga ke Batavia (sekarang Jakarta), yang berjarak 160 km dari Krakatau. Aktivitas vulkanik menurun pada akhir Mei, dan tidak ada aktivitas lebih lanjut yang tercatat hingga beberapa minggu ke depan.

Letusan kembali terjadi pada 16 Juni, yang menimbulkan letusan keras dan menutupi pulau dengan awan hitam tebal selama lima hari. Pada tanggal 11 Agustus, pakar topografi Belanda, Kapten H. J. G. Ferzenaar, mulai menyelidiki pulau. Ia menemukan tiga gulungan abu telah melingkupi pulau, dan lepasan uap dari setidaknya sebelas ventilasi lainnya, sebagian besarnya terdapat di Danan dan Rakata. Saat mendarat, Ferzenaar mencatat adanya lapisan abu setebal 0,5 m, dan musnahnya semua vegetasi pulau, hanya menyisakan tunggul-tunggul pohon. Keesokan harinya, sebuah kapal yang lewat melaporkan mengenai adanya ventilasi baru yang berjarak “hanya beberapa meter di atas permukaan laut”. Aktivitas vulkanik Krakatau terus berlanjut hingga pertengahan Agustus.

Letusan Besar

Pada 27 Agustus, empat letusan besar terjadi pukul 05.30, 06.44, 10.02, dan 10:41 waktu setempat. Pada pukul 5.30, letusan pertama terjadi di Perboewatan, yang memicu tsunami menuju Teluk Betung. Pukul 06.44, Krakatau meletus lagi di Danan, menimbulkan tsunami di arah timur dan barat. Letusan besar pada pukul 10.02 terjadi begitu keras dan terdengar hampir 3.110 km (1.930 mi) jauhnya ke Perth, Australia Barat, dan Rodrigues di Mauritius (4.800 km (3.000 mi) jauhnya). Penduduk di sana mengira bahwa letusan tersebut adalah suara tembakan meriam dari kapal terdekat. Masing-masing letusan disertai dengan gelombang tsunami, yang tingginya diyakini mencapai 30 m di beberapa tempat. Wilayah-wilayah di Selat Sunda dan sejumlah wilayah di pesisir Sumatera turut terkena dampak aliran piroklastik gunung berapi. Energi yang dilepaskan dari ledakan diperkirakan setara dengan 200 megaton TNT,[2] kira-kira hampir empat kali lipat lebih kuat dari Tsar Bomba (senjata termonuklir paling kuat yang pernah diledakkan). Pada pukul 10.41, tanah longsor yang meruntuhkan setengah bagian Krakatau memicu terjadinya letusan akhir.

Dampak

image

Di Ketimbang, Sumatera hujan abu panas turun dan menewaskan 1000 korban jiwa. Lalu di pulau Sebesi yang memiliki 3000 warga tidak ada satupun yang selamat dari terjangan letusan tersebut. Hal ini terjadi akibat pulau berjarak sangat dekat dengan gunung Krakatau yaitu sejauh 13 Km. Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km (25 mi) di sebelah utara Krakatau. Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah 36.417, namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km (25 mi) jauhnya ke daratan. Setahun setelah letusan, rata-rata suhu global turun 1,2° C. Pola cuaca tetap tak beraturan selama bertahun-tahun, dan suhu tidak pernah normal hingga tahun 1888.

Formasi gunung Krakatau juga digantikan dengan munculnya gunung berapi baru yang dinamakan sebagai :“anak krakatau”
image

Sumber :

1. Letusan Gunung Krakatau Terdengar Sampai Sri Lanka dan Australia

Pada penghujung bulan Agustus 1883, bolak balik gunung Krakatau mengalami erupsi. Hampir semuanya sangat mengerikan, termasuk di tanggal 27 Agustus yang bisa dibilang gong-nya. Ya, ledakan di tanggal itu adalah yang paling dahsyat. Bahkan bunyinya membuat telinga orang-orang berdenging saking kerasnya.

Begitu kerasnya ledakan ini, suaranya bahkan terdengar sampai sekitar 3000 mil, mencapai Sri Lanka dan Australia. Benar-benar sangat mengerikan! Bahkan menurut peneliti bunyi yang dihasilkannya lebih keras sepuluh ribu kali lipat dibandingkan bom atom Hiroshima dan Nagasaki.

2. Tsunami Raksasa Muncul dan Menyapu Peradaban

Begitu dahsyatnya goncangan yang terjadi, akhirnya segalanya pun terpengaruhi. Termasuk lautan yang awalnya tenang kemudian jadi bergejolak. Hingga akhirnya yang ditakutkan pun terjadi. Muncul kemudian deretan tsunami-tsunami besar yang kekuatannya jauh melebihi bencana yang pernah menghantam Aceh beberapa tahun lalu.

Peneliti memperkirakan tsunami yang terjadi sebagai akibat erupsi Krakatau benar-benar gila. Kemungkinan besar tingginya bisa mencapai 100 kaki atau hampir 30 meter. Tsunami ini sendiri setidaknya ikut andil menyumbang korban tewas lebih dari 50 persen.

3. Jutaan Ton Debu Vulkanis Menutupi Atmosfir

Hentakan letusan yang besar tak hanya mengguncang Bumi dan menciptakan banyak tsunami, tapi juga membawa jutaan material abu ke angkasa. Alhasil, saat terjadi erupsi langit benar-benar sangat gelap. Ngerinya lagi, kondisi ini bertahan hampir tiga hari lamanya.

Kondisi ini tak hanya dialami oleh Indonesia, tapi juga negara-negara belahan bumi lain misalnya Nikaragua. Di sana langit juga begitu gelap bahkan saat siang hari. Setelah beberapa waktu kemudian, debu vulkanis itu beruntuhan dari langit dan menutupi sebagian Bumi dengan abu sedalam hampir tiga meter.

4. Letusan Gunung Krakatau Membuat Bumi Mendingin Selama Bertahun-Tahun

Jutaan ton debu vulkanis yang menutupi atmosfir membuat matahari tak mampu menembus Bumi. Alhasil, iklim di bawah atmosfir pun mendingin. Menurut peneliti, ketika itu secara signifikan suhu Bumi makin turun sampai beberapa derajat.

Ngerinya, kondisi ini bertahan selama bertahun-tahun. Tepatnya dari 1883-1888, alias hampir lima tahun! Seumpama kondisi ini bertahan lebih lama lagi, maka akan sangat berbahaya bagi kehidupan di Bumi. Ya, tanpa sinar matahari, hampir dipastikan kehidupan pun akan segera mati.

5. Letusan Krakatau Ternyata Masih Bisa Terulang

Kita harus sangat bersyukur karena meletusnya Krakatau adalah beberapa ratus tahun lalu. Bayangkan kalau diundur lalu terjadi tahun ini, mungkin kerusakannya bisa lebih parah lagi serta memakan lebih banyak korban. Meskipun bencana ngeri itu sudah berakhir, tapi bukan berarti usai pula teror Krakatau.

Sumber : https://www.boombastis.com/fakta-letusan-krakatau/72518

Pada tahun 416, Pustaka Raja menuliskan bahwa ada sebuah suara menggemuruh yang terdengar dari gunung Batuwara yang kemudian disusul oleh suara yang sama dari Kapi. Sebuah api yang menyala-nyala naik ke angkasa dan seluruh dunia bergetar diiringi gemuruh lain yang diikuti hujan dan badai besar. Tidak ada bukti geologis tentang kejadian ini, meskipun mungkin ini menjelaskan hilangnya area tanah yang sebelumnya menyatukan pulau Jawa dan Sumatera atau kemungkinan adalah kesalahan tanggal karena pada tahun 535 terjadi sebuah letusan yang besar.

letusan krakatau

David Keys, seorang arkeolog untuk koran harian London, The Independent, bersama dengan Ken Wohletz dan arkeolog lainnya berspekulasi bahwa sebuah erupsi vulkanik yang mungkin berasal dari Krakatau pada tahun 535 adalah alasan terjadinya perubahan iklim global pada tahun 535 hingga 536. Keys menemukan sesuatu yang ia anggap adalah sebuah efek global erupsi abad ke-6 ini dan menuliskannya pada buku dengan judul Catastrophe: An Investigation into the Origins of the Modern World.

Selain itu, sejarah gunung Krakatau dan letusannya pada masa itu menjadi bahan perdebatan tentang apa betul letusan itu yang kemudian menjadi pembentuk Rakata, Verlaten dan Lang. Thornton juga menuliskan bahwa Krakatau disebut sebagai “Gunung Api” pada masa dinasti Sailendra dan ada beberapa kejadian erupsi yang terjadi pada tahun 850, 1050, 950, 1320, 1530 dan 1150.

Letusan Tahun 1883

letusan krakatau

Sebelum meletus pada tahun 1883, Krakatau mengalami banyak aktivitas seismik yang menimbulkan gempa bumi hingga Australia. Baru pada 20 Mei 1883 di Perboewatan mulai terjadi pelepasan uap secara berkala yang kadang mencapai ketinggian hingga 6 km dan suara yang terdengar hingga Jakarta (waktu itu, Batavia). Pada akhir Mei, segala aktivitas vulkanik menurun dan tak ada lagi aktivitas yang tercatat selama beberapa minggu hingga 16 Juni dimana sebuah letusan keras terjadi. Letusan keras tadi menimbulkan sebuah asap hitam tebal yang menutupi pulau, hingga akhirnya pada tanggal 24 Juni sebuah angin membersihkan awan-awan tersebut.

letusan krakatau

Sejarah gunung Krakatau yang membuatnya terkenal di dunia berawal pada tanggal 25 Agustus, dimana aktivitas vulkaniknya mulai naik dan mulai memasuki fase paroksimal keesokan harinya pukul 13:00. Satu jam setelahnya, abu hitam dengan tinggi 17 mil dapat dilihat oleh para pengamat dan ledakan selalu terdengar setiap sepuluh menit sekali. Pada saat itu juga kapal-kapal yang berlayar dan masuk dalam area 20 km dari Krakatu mulai terkena hujan abu tebal diiringi potongan batu apung berdiameter 10 cm di dek kapal mereka. Malamnya sebuah Tsunami kecil terjadi di pesisir pulau Jawa dan Sumatera sebanyak dua kali meskipun kedua pulau ini terletak 40 km dari Krakatau.

Letusan besar terjadi di pagi hari pada tanggal 27 Agustus pukul 05:30 dan 06:44, kemudian berlanjut lagi pada pukul 10:02 dan 10:41. Letusan pertama terjadi di Perboewatan dan menimbulkan tsunami di Teluk Botong. Letusan kedua menyebabkan sebuah tsunami dari arah timur dan barat Danan. Letusan yang ketiga terdengar hingga Perth, Australia dan Rodrigues, Mauritius. Penduduk sekitar mengira itu adalah suara dari meriam yang ditembakkan oleh salah satu kapal terdekat. Ledakan ketiga tadi diperkiran memiliki kekuatan yang sama dengan 200 megaton TNT.

Ledakan terakhir meruntuhkan setengah bagian Rakata dan menjadi pemicu ledakan besar terakhir yang memancar dengan kecepatan 1.086 km/jam dan begitu kuat hingga dapat memecahkan gendang telinga. Gelombang kejut yang terjadi karena letusan ini tercatat di seluruh dunia sebanyak tiga kali, mencatat letusan gunung Krakatau sebagai salah satu letusan gunung yang paling besar di dunia.

sumber : http://www.tarot-buch.com/history/sejarah-meletusnya-gunung-krakatau-yang-mendunia/

Gunung Krakatau berdiri di atas pulau berapi yang dikenal dengan nama Pulau Krakatau atau Rakata dengan luas 33,5 km² (sebelum meletusnya Gunung Krakatau). Pulau ini terbentang bersama dengan Pulau Sertung dan Pulau Panjang. Di atas Pulau Krakatau berdiri Gunung Krakatau dengan tinggi 800 meter, Gunung Danan (405 meter), and Gunung Perbuatan (120 meter) (Hakim, 1981: 15). Pada saat letusan Krakatau 1883, Pulau Krakatau bersama badan Gunung Krakatau runtuh yang diikuti pula oleh runtuhnya Gunung Danan dan Perbuatan ke dasar laut. Runtuhnya badan gunung inilah yang menimbulkan gelombang besar (tsunami) yang maha dahsyat. Efek tsunami dari letusan menyebabkan Gunung Krakatau menjadi sangat berbahaya dan mematikan. Setelah letusan Krakatau, luas Pulau Krakatau menjadi tinggal 10,5 km² dan meninggalkan kaldera berdiameter 5 km di atas permukaan laut.

Besarnya material yang dimuntahkan oleh Krakatau, seperti magma yang terbawa oleh ombak tsunami, memberi gambaran tentang bahaya gunung berapi di wilayah laut. Tsunami telah menerjang pantai- pantai di sekitar Selat Sunda, seperti menghantam pantai di daerah Lampung, Banten dan sekitarnya yang mengakibatkan hancurnya banyak segi kehidupan komunitas di sana. Tsunami yang diiringi oleh energi magma dan batuan panas telah menewaskan sekitar 36.000 jiwa disertai hancurnya berbagai pondasi penopang kehidupan masyarakat, seperti perkebunan, pertanian, pertenakan, pasar, dan fasilitas umum atau infrastruktur lainnya. Dalam catatan sejarah, gelombang tsunami Krakatau pada permukaan laut meliputi paling sedikit seluas 4000 km².

Letusan Krakatau 1883 telah memberikan dampak pasca bencana yang cukup besar pada lingkungan dengan habitat manusia, hewan, dan tumbuhannya. Beberapa hal yang menjadi dampak letusan Krakatau 1883 bagi lingkungan dan masyarakat di Banten yang juga berkaitan dengan gerakan sosial di sana dipaparkan sebagai berikut.

Perubahan Iklim

Setelah letusan besar Krakatau, atmosfer menjadi gelap karena tertutup debu vulkanik. Sebagian besar sinar matahari tidak dapat menembus lapisan atmosfer untuk mencapai bumi. Akibatnya, suhu bumi turun dan merubah iklim secara drastis pada saat itu, di mana musim dingin lebih panjang dari pada musim panas.

Efek letusan gunung berapi dan dampaknya terhadap perubahan iklim banyak dijelaskan dalam beberapa artikel berskala nasional dan internasional dan umumnya dalam ranah sains. Sejumlah material, berupa debu, gas, dan tetesan erosol (partikel-partikel halus yang tersebar di atmosfer bumi) menyembur hingga lapisan langit stratosfer kemudian abu ini jatuh dengan cepat dari stratosfer dalam beberapa hari. Namun, gas vulkanik berupa sulfur dioksida yang berperan besar menyebabkan perubahan iklim, berupa pendinginan secara global, dibandingkan karbondioksida vulkanik (gas ruang kaca) yang menyebabkan pemanasan secara global (USGS, Volcanic Gases and Climate Change Overview , 2012).

Perubahan iklim yang drastis berupa pendinginan global terjadi setelah letusan Krakatau 1883. Letusan hari pertama pada 26 Agustus petang dan letusan hari kedua pada 27 Agustus 1883, daerah Banten juga Batavia diselimuti debu-debu letusan Krakatau. Hujan abu yang menyembur di pagi hingga siang hari menyebabkan suasana hari menjadi kelam dan suhu turun hingga mencapai 7 derajat celcius (Hakim, 1981).

Selama satu tahun sinar matahari terhalang oleh debu vulkanik Krakatau. Kurangnya sinar matahari menyebabkan udara di Banten menjadi lembab. Bangkai hewan dan manusia cepat membusuk. Usaha pemulihan berupa pembersihan sampah (bangkai dan runtuhan) terhambat karena kurangnya sumber daya manusia. Usaha untuk menanam tanaman tidak dapat dilakukan selain tanah yang masih tebal oleh lumpur dan persediaan air bersih yang minim, juga karena jarang adanya sinar matahari sebagai energi fotosintesis dan nutrisi tanaman. Efeknya Banten dan Lampung tidak memiliki sumber pangan untuk komunitasnya untuk jangka waktu tiga tahun ke depan hingga tanah dapat diolah kembali dan iklim kembali normal.

Pasca letusan Krakatau ini, kegagalan panen akibat perubahan cuaca yang drastis berdampak pada menurunnya pasokan pangan, terutama bagi para korban bencana. Pasokan makanan dari Batavia tidak mencukupi bagi seluruh korban di Banten dan Lampung, terutama bagi penduduk asli daerah tersebut. Kelaparan melanda wilayah-wilayah yang tertimpa bencana, bahkan wilayah yang jauh juga terkena dampak terbatasnya pangan akibat perubahan iklim. Banyak korban yang selamat harus berbagi-bagi makanan dengan korban lainnya karena jatah bantuan makanan dari pemerintah Batavia sangat terbatas. Bahkan ada sebagian masyarakat harus meminta-minta hingga jauh ke Pulau Jawa atau ke Batavia dengan menumpang kapal-kapal barang.

Tertutupnya langit bumi oleh debu vulkanik juga menyebabkan air hujan sedikit mencapai bumi. Air hujan yang jatuh pun membawa serta debu vulkanik yang tidak dapat digunakan untuk kebutuhan air minum maupun untuk menyiram tanaman. Oleh karena itu, persediaan pangan dan air bersih pun terbatas. Pada akhirnya, bencana kelaparan yang meluas dan menyebarnya penyakit pasca letusan Krakatau menjadi bentuk bencana baru bagi masyarakat korban bencana di Banten dan Lampung. Situasi ini menciptakan anggapan di masyarakat Banten bahwa bencana yang berturut-turut merupakan teguran Tuhan atas ketidakadilan atau kerusakan di bumi Banten.

Kerusakan dan Korban Jiwa

Terjangan gelombang tsunami mencapai 30 mil atau kurang lebih 48,28 km (jika 1 mil=1,6093 km) dari pantai dan menenggelamkan kota dari Caringin, Panembang, hingga Cirebon. Banyak penduduk yang akan mengungsi akhirnya juga tewas karena diterpa oleh hempasan tsunami. Diperkirakan lebih dari 30.000 ribu orang menjadi korban dalam peristiwa ini (Furneaux, 1964: 98). Setelah terjangan gelombang tsunami, wilayah Selat Sunda dari pantai hingga puluhan kilometer ke pedalaman menjadi rata. Banyak desa dan kota yang hancur, ditambah dengan infrastruktur yang rusak berat, seperti jembatan, jalan raya, kantor, dan gudang (situasi ini juga sangat mengganggu bagi pemerintah kolonial Belanda yang memiliki kepentingan besar terhadap infrastruktur dan sumber ekonomi yang ada di wilayah Banten dan Lampung). Salah satu kota yang rusak dan penduduknya menjadi korban adalah kota Karang Antu yang dekat dengan pelabuhan Serang dan menjadi persinggahan para pedagang sehingga berkembang menjadi pusat bisnis. Kota ini rusak parah dan kurang lebih 300 orang penduduknya meninggal dunia (Furneaux, 1964: 99). Secara umum, jumlah penduduk yang tewas dan desa-desa yang rusak akibat terjangan gelombang tsunami dari letusan Krakatau adalah sebagai berikut.

Wilayah Penduduk Eropa Penduduk Asli Desa-desa yang Rusak Berat Desa-desa yang Rusak Sebagian
Bengkulu Sumatera- 34 2 -
Kota Teluk Lampung 3 714 9 1
Wilayah Teluk Lampung - 1546 24 4
Betung - 5 - -
Sekampung 1 8037 46 -
Kalimbang 1 2159 23 31
Serang Banten - 1933 3 30
Anyer Banten 14 7583 10 25
Merak Banten 13 (tidak terekam - -
Caringin 5 12017 38 12
Batavia - 2350 10 26
Karawang - 2 - 3
Total 37 36380 165 132

Dari data tersebut terdapat 165 desa rusak berat, 36.380 penduduk pribumi tewas dan 37 orang Eropa menjadi korban. Berita kedahsyatan letusan dan jumlah korban jiwa yang besar dari Krakatau 1883 ini dengan cepat menyebar dengan bantuan teknologi telegraf. Dalam jangka waktu singkat, banyak dana bantuan untuk korban Krakatau datang dari penduduk Nusantara dan dunia. Tidak ketinggalan juga bantuan bencana dari para pengusaha asing yang memiliki investasi dan warga negaranya di Netherlands Indies . Namun dari beberapa catatan, pemerintah kolonial lebih memfokuskan pada dana perbaikan infrastruktur seperti jalan, jembatan, rel kereta api dan gedung administrasi serta banyak memperioritaskan pertolongan terhadap penduduk asing (orang-orang Eropa),terutama warga Belanda. Hal ini tidak terlapas dari kepentingan ekonomi kolonial. Di bawah politik Liberal, Belanda banyak memiliki perkebunan dan pertanian di Jawa dan Sumatera, di samping juga dimiliki oleh orang-orang Eropa. Perbaikan infrastruktur dianggap penting untuk menghidupkan kembali perekonomian kolonial. Sedangkan, menolong warga negara Belanda dan investor asing menjadi penting karena mereka berada di bawah perlindungan pemerintah Belanda.

Pasca letusan dan serangan tsunami, kondisi masyarakat Banten dan Lampung kacau balau. Bangkai manusia dan hewan bertebaran di mana-mana. Lumpur dan debu menutupi semua permukaan tanah, termasuk bangunan, tumbuhan, dan sungai-sungai. Persawahan dan perkebunan rakyat juga pertanian dan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda rusak total, sehingga kelaparan dan penyakit muncul di mana-mana.

Kelaparan menyebabkan banyak penduduk yang selamat berlomba untuk mencari bahan pangan yang masih bisa diambil dari sisa- sisa yang tertinggal dari hempasan ombak tsunami. Kelapa atau buah yang masih bisa dimakan dimanfaatkan oleh penduduk yang selamat. Kurangnya pangan juga menyebabkan migrasi penduduk ke wilayah lain. Banyak penduduk dari Lampung yang bermigrasi ke Jawa atau Batavia dengan menumpang kapal-kapal laut pengangkut barang Belanda. Penduduk ini berkelana di Batavia untuk mencari pertolongan dari pemerintah kolonial. Ada yang diberi bantuan seadanya, namun banyak pula yang tidak dapat dan tidak bisa kembali ke daerah asalnya.

Kondisi setelah bencana menyebabkan psikologi masyarakat yang selamat di daerah bencana semakin tidak menentu. Terutama bagi penduduk yang kehilangan sanak saudaranya. Penderitaan dan suasana mencekam pasca letusan Krakatau dan terjangan gelombang tsunami ini dapat dilihat dari ungkapan seorang korban bencana di daerah Lampung yang terekam dalam Syair Lampung Karam yang diangkat oleh Suryadi (2008):

Hendak kemanalah pergi? Tempatnya kita sudahlah tinggi, Jikaulah air sampai kesini, Sudah kiamat isinya negeri

Sebuah situasi yang kritis ketika gelombang tsunami menghapus negeri yang dianologikan masyarakat sebagai sebuah kiamat. Gambaran setelah letusan Krakatau juga diilustrasikan oleh seorang saksi mata, Van Sandick, seorang insinyur yang berada di atas kapal Loudon yang sedang berlayar dari Batavia menuju Teluk Betung, Lampung. Suasana Anyer setelah letusan Krakatau dan gelombang tsunami adalah:

There was a horrific sight, where the coasts of Java and Sumatra were completely destroyed. Every where existed grey and gloomy colors. The villages and trees had disappeared; we could not even see any ruins. The waves had destroyed and swallowed up the habitants, their homes, their plantations, and their animals. It had difficult to recognize Anyer, as there was no one house of this lively town was left standing. This was truly a scene of the Last judgment .” (Furneaux, 1964: 126).

Artinya, situasi ini menggambarkan tidak ada yang tersisa setelah letusan Gunung Krakatau yang disertai hantaman gelombang besar tsunami di desa-desa sepanjang pesisir pantai. Suasana pasca letusan Krakatau dan tsunami diibaratkan sebagai akhir dunia (kiamat). Gambaran kiamat dalam bencana Krakatau 1883 menjadi sebuah landasan bagi masyarakat tentang peranan Tuhan yang sangat besar dan yang pada akhirnya menyebabkan fanatisme agama semakin meningkat.

Kelaparan dan Penyakit

Dampak bencana Krakatau berupa berkurangnya pasokan air bersih dan pangan karena kekeringan dan gagal panen telah menyebabkan kelaparan dan wabah penyakit pada penduduk lokal semakin meluas. Kondisi ini semakin memperberat beban masyarakat lokal yang pada sebelum bencana telah mengalami tekanan sosial, ekonomi dan politik yang serius akibat kebijakan-kebijakan kolonial.

Setelah bencana Krakatau, krisis ekonomi dan sosial di wilayah Lampung dan terutama di Banten semakin serius. Kelaparan, penyakit, pencurian, ketakutan, dan sebagainya semakin meningkat. Banyak masyarakat yang bermigrasi atau menjadi kuli ke wilayah lain di tanah air untuk bisa mempertahankan hidup. Kondisi ekonomi dan sosial yang rapuh menyebabkan masyarakat sangat rentan terhadap pergolakan dan sentimen-sentimen sosial. Meskipun pemerintah kolonial telah berusaha keras untuk memperbaiki kembali kondisi psikologi masyarakat setelah bencana dengan beragam bantuan seperti pakaian, makanan, modal atau uang, perbaikan tempat tinggal, perbaikan jalan raya, dan sebagainya, hal tersebut belum bisa memperbaiki relasi sosial antara masyarakat asli dengan pemerintah kolonial, termasuk menghentikan problem psikologis masyarakat yang kesulitan dan menderita yang telah berlangsung lama dan semakin memburuk setelah bencana.