Gunung Krakatau berdiri di atas pulau berapi yang dikenal dengan nama Pulau Krakatau atau Rakata dengan luas 33,5 km² (sebelum meletusnya Gunung Krakatau). Pulau ini terbentang bersama dengan Pulau Sertung dan Pulau Panjang. Di atas Pulau Krakatau berdiri Gunung Krakatau dengan tinggi 800 meter, Gunung Danan (405 meter), and Gunung Perbuatan (120 meter) (Hakim, 1981: 15). Pada saat letusan Krakatau 1883, Pulau Krakatau bersama badan Gunung Krakatau runtuh yang diikuti pula oleh runtuhnya Gunung Danan dan Perbuatan ke dasar laut. Runtuhnya badan gunung inilah yang menimbulkan gelombang besar (tsunami) yang maha dahsyat. Efek tsunami dari letusan menyebabkan Gunung Krakatau menjadi sangat berbahaya dan mematikan. Setelah letusan Krakatau, luas Pulau Krakatau menjadi tinggal 10,5 km² dan meninggalkan kaldera berdiameter 5 km di atas permukaan laut.
Besarnya material yang dimuntahkan oleh Krakatau, seperti magma yang terbawa oleh ombak tsunami, memberi gambaran tentang bahaya gunung berapi di wilayah laut. Tsunami telah menerjang pantai- pantai di sekitar Selat Sunda, seperti menghantam pantai di daerah Lampung, Banten dan sekitarnya yang mengakibatkan hancurnya banyak segi kehidupan komunitas di sana. Tsunami yang diiringi oleh energi magma dan batuan panas telah menewaskan sekitar 36.000 jiwa disertai hancurnya berbagai pondasi penopang kehidupan masyarakat, seperti perkebunan, pertanian, pertenakan, pasar, dan fasilitas umum atau infrastruktur lainnya. Dalam catatan sejarah, gelombang tsunami Krakatau pada permukaan laut meliputi paling sedikit seluas 4000 km².
Letusan Krakatau 1883 telah memberikan dampak pasca bencana yang cukup besar pada lingkungan dengan habitat manusia, hewan, dan tumbuhannya. Beberapa hal yang menjadi dampak letusan Krakatau 1883 bagi lingkungan dan masyarakat di Banten yang juga berkaitan dengan gerakan sosial di sana dipaparkan sebagai berikut.
Perubahan Iklim
Setelah letusan besar Krakatau, atmosfer menjadi gelap karena tertutup debu vulkanik. Sebagian besar sinar matahari tidak dapat menembus lapisan atmosfer untuk mencapai bumi. Akibatnya, suhu bumi turun dan merubah iklim secara drastis pada saat itu, di mana musim dingin lebih panjang dari pada musim panas.
Efek letusan gunung berapi dan dampaknya terhadap perubahan iklim banyak dijelaskan dalam beberapa artikel berskala nasional dan internasional dan umumnya dalam ranah sains. Sejumlah material, berupa debu, gas, dan tetesan erosol (partikel-partikel halus yang tersebar di atmosfer bumi) menyembur hingga lapisan langit stratosfer kemudian abu ini jatuh dengan cepat dari stratosfer dalam beberapa hari. Namun, gas vulkanik berupa sulfur dioksida yang berperan besar menyebabkan perubahan iklim, berupa pendinginan secara global, dibandingkan karbondioksida vulkanik (gas ruang kaca) yang menyebabkan pemanasan secara global (USGS, Volcanic Gases and Climate Change Overview , 2012).
Perubahan iklim yang drastis berupa pendinginan global terjadi setelah letusan Krakatau 1883. Letusan hari pertama pada 26 Agustus petang dan letusan hari kedua pada 27 Agustus 1883, daerah Banten juga Batavia diselimuti debu-debu letusan Krakatau. Hujan abu yang menyembur di pagi hingga siang hari menyebabkan suasana hari menjadi kelam dan suhu turun hingga mencapai 7 derajat celcius (Hakim, 1981).
Selama satu tahun sinar matahari terhalang oleh debu vulkanik Krakatau. Kurangnya sinar matahari menyebabkan udara di Banten menjadi lembab. Bangkai hewan dan manusia cepat membusuk. Usaha pemulihan berupa pembersihan sampah (bangkai dan runtuhan) terhambat karena kurangnya sumber daya manusia. Usaha untuk menanam tanaman tidak dapat dilakukan selain tanah yang masih tebal oleh lumpur dan persediaan air bersih yang minim, juga karena jarang adanya sinar matahari sebagai energi fotosintesis dan nutrisi tanaman. Efeknya Banten dan Lampung tidak memiliki sumber pangan untuk komunitasnya untuk jangka waktu tiga tahun ke depan hingga tanah dapat diolah kembali dan iklim kembali normal.
Pasca letusan Krakatau ini, kegagalan panen akibat perubahan cuaca yang drastis berdampak pada menurunnya pasokan pangan, terutama bagi para korban bencana. Pasokan makanan dari Batavia tidak mencukupi bagi seluruh korban di Banten dan Lampung, terutama bagi penduduk asli daerah tersebut. Kelaparan melanda wilayah-wilayah yang tertimpa bencana, bahkan wilayah yang jauh juga terkena dampak terbatasnya pangan akibat perubahan iklim. Banyak korban yang selamat harus berbagi-bagi makanan dengan korban lainnya karena jatah bantuan makanan dari pemerintah Batavia sangat terbatas. Bahkan ada sebagian masyarakat harus meminta-minta hingga jauh ke Pulau Jawa atau ke Batavia dengan menumpang kapal-kapal barang.
Tertutupnya langit bumi oleh debu vulkanik juga menyebabkan air hujan sedikit mencapai bumi. Air hujan yang jatuh pun membawa serta debu vulkanik yang tidak dapat digunakan untuk kebutuhan air minum maupun untuk menyiram tanaman. Oleh karena itu, persediaan pangan dan air bersih pun terbatas. Pada akhirnya, bencana kelaparan yang meluas dan menyebarnya penyakit pasca letusan Krakatau menjadi bentuk bencana baru bagi masyarakat korban bencana di Banten dan Lampung. Situasi ini menciptakan anggapan di masyarakat Banten bahwa bencana yang berturut-turut merupakan teguran Tuhan atas ketidakadilan atau kerusakan di bumi Banten.
Kerusakan dan Korban Jiwa
Terjangan gelombang tsunami mencapai 30 mil atau kurang lebih 48,28 km (jika 1 mil=1,6093 km) dari pantai dan menenggelamkan kota dari Caringin, Panembang, hingga Cirebon. Banyak penduduk yang akan mengungsi akhirnya juga tewas karena diterpa oleh hempasan tsunami. Diperkirakan lebih dari 30.000 ribu orang menjadi korban dalam peristiwa ini (Furneaux, 1964: 98). Setelah terjangan gelombang tsunami, wilayah Selat Sunda dari pantai hingga puluhan kilometer ke pedalaman menjadi rata. Banyak desa dan kota yang hancur, ditambah dengan infrastruktur yang rusak berat, seperti jembatan, jalan raya, kantor, dan gudang (situasi ini juga sangat mengganggu bagi pemerintah kolonial Belanda yang memiliki kepentingan besar terhadap infrastruktur dan sumber ekonomi yang ada di wilayah Banten dan Lampung). Salah satu kota yang rusak dan penduduknya menjadi korban adalah kota Karang Antu yang dekat dengan pelabuhan Serang dan menjadi persinggahan para pedagang sehingga berkembang menjadi pusat bisnis. Kota ini rusak parah dan kurang lebih 300 orang penduduknya meninggal dunia (Furneaux, 1964: 99). Secara umum, jumlah penduduk yang tewas dan desa-desa yang rusak akibat terjangan gelombang tsunami dari letusan Krakatau adalah sebagai berikut.
Wilayah |
Penduduk Eropa |
Penduduk Asli |
Desa-desa yang Rusak Berat |
Desa-desa yang Rusak Sebagian |
Bengkulu Sumatera- |
34 |
2 |
- |
|
Kota Teluk Lampung |
3 |
714 |
9 |
1 |
Wilayah Teluk Lampung |
- |
1546 |
24 |
4 |
Betung |
- |
5 |
- |
- |
Sekampung |
1 |
8037 |
46 |
- |
Kalimbang |
1 |
2159 |
23 |
31 |
Serang Banten |
- |
1933 |
3 |
30 |
Anyer Banten |
14 |
7583 |
10 |
25 |
Merak Banten |
13 |
(tidak terekam |
- |
- |
Caringin |
5 |
12017 |
38 |
12 |
Batavia |
- |
2350 |
10 |
26 |
Karawang |
- |
2 |
- |
3 |
Total |
37 |
36380 |
165 |
132 |
Dari data tersebut terdapat 165 desa rusak berat, 36.380 penduduk pribumi tewas dan 37 orang Eropa menjadi korban. Berita kedahsyatan letusan dan jumlah korban jiwa yang besar dari Krakatau 1883 ini dengan cepat menyebar dengan bantuan teknologi telegraf. Dalam jangka waktu singkat, banyak dana bantuan untuk korban Krakatau datang dari penduduk Nusantara dan dunia. Tidak ketinggalan juga bantuan bencana dari para pengusaha asing yang memiliki investasi dan warga negaranya di Netherlands Indies . Namun dari beberapa catatan, pemerintah kolonial lebih memfokuskan pada dana perbaikan infrastruktur seperti jalan, jembatan, rel kereta api dan gedung administrasi serta banyak memperioritaskan pertolongan terhadap penduduk asing (orang-orang Eropa),terutama warga Belanda. Hal ini tidak terlapas dari kepentingan ekonomi kolonial. Di bawah politik Liberal, Belanda banyak memiliki perkebunan dan pertanian di Jawa dan Sumatera, di samping juga dimiliki oleh orang-orang Eropa. Perbaikan infrastruktur dianggap penting untuk menghidupkan kembali perekonomian kolonial. Sedangkan, menolong warga negara Belanda dan investor asing menjadi penting karena mereka berada di bawah perlindungan pemerintah Belanda.
Pasca letusan dan serangan tsunami, kondisi masyarakat Banten dan Lampung kacau balau. Bangkai manusia dan hewan bertebaran di mana-mana. Lumpur dan debu menutupi semua permukaan tanah, termasuk bangunan, tumbuhan, dan sungai-sungai. Persawahan dan perkebunan rakyat juga pertanian dan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda rusak total, sehingga kelaparan dan penyakit muncul di mana-mana.
Kelaparan menyebabkan banyak penduduk yang selamat berlomba untuk mencari bahan pangan yang masih bisa diambil dari sisa- sisa yang tertinggal dari hempasan ombak tsunami. Kelapa atau buah yang masih bisa dimakan dimanfaatkan oleh penduduk yang selamat. Kurangnya pangan juga menyebabkan migrasi penduduk ke wilayah lain. Banyak penduduk dari Lampung yang bermigrasi ke Jawa atau Batavia dengan menumpang kapal-kapal laut pengangkut barang Belanda. Penduduk ini berkelana di Batavia untuk mencari pertolongan dari pemerintah kolonial. Ada yang diberi bantuan seadanya, namun banyak pula yang tidak dapat dan tidak bisa kembali ke daerah asalnya.
Kondisi setelah bencana menyebabkan psikologi masyarakat yang selamat di daerah bencana semakin tidak menentu. Terutama bagi penduduk yang kehilangan sanak saudaranya. Penderitaan dan suasana mencekam pasca letusan Krakatau dan terjangan gelombang tsunami ini dapat dilihat dari ungkapan seorang korban bencana di daerah Lampung yang terekam dalam Syair Lampung Karam yang diangkat oleh Suryadi (2008):
Hendak kemanalah pergi? Tempatnya kita sudahlah tinggi, Jikaulah air sampai kesini, Sudah kiamat isinya negeri
Sebuah situasi yang kritis ketika gelombang tsunami menghapus negeri yang dianologikan masyarakat sebagai sebuah kiamat. Gambaran setelah letusan Krakatau juga diilustrasikan oleh seorang saksi mata, Van Sandick, seorang insinyur yang berada di atas kapal Loudon yang sedang berlayar dari Batavia menuju Teluk Betung, Lampung. Suasana Anyer setelah letusan Krakatau dan gelombang tsunami adalah:
“ There was a horrific sight, where the coasts of Java and Sumatra were completely destroyed. Every where existed grey and gloomy colors. The villages and trees had disappeared; we could not even see any ruins. The waves had destroyed and swallowed up the habitants, their homes, their plantations, and their animals. It had difficult to recognize Anyer, as there was no one house of this lively town was left standing. This was truly a scene of the Last judgment .” (Furneaux, 1964: 126).
Artinya, situasi ini menggambarkan tidak ada yang tersisa setelah letusan Gunung Krakatau yang disertai hantaman gelombang besar tsunami di desa-desa sepanjang pesisir pantai. Suasana pasca letusan Krakatau dan tsunami diibaratkan sebagai akhir dunia (kiamat). Gambaran kiamat dalam bencana Krakatau 1883 menjadi sebuah landasan bagi masyarakat tentang peranan Tuhan yang sangat besar dan yang pada akhirnya menyebabkan fanatisme agama semakin meningkat.
Kelaparan dan Penyakit
Dampak bencana Krakatau berupa berkurangnya pasokan air bersih dan pangan karena kekeringan dan gagal panen telah menyebabkan kelaparan dan wabah penyakit pada penduduk lokal semakin meluas. Kondisi ini semakin memperberat beban masyarakat lokal yang pada sebelum bencana telah mengalami tekanan sosial, ekonomi dan politik yang serius akibat kebijakan-kebijakan kolonial.
Setelah bencana Krakatau, krisis ekonomi dan sosial di wilayah Lampung dan terutama di Banten semakin serius. Kelaparan, penyakit, pencurian, ketakutan, dan sebagainya semakin meningkat. Banyak masyarakat yang bermigrasi atau menjadi kuli ke wilayah lain di tanah air untuk bisa mempertahankan hidup. Kondisi ekonomi dan sosial yang rapuh menyebabkan masyarakat sangat rentan terhadap pergolakan dan sentimen-sentimen sosial. Meskipun pemerintah kolonial telah berusaha keras untuk memperbaiki kembali kondisi psikologi masyarakat setelah bencana dengan beragam bantuan seperti pakaian, makanan, modal atau uang, perbaikan tempat tinggal, perbaikan jalan raya, dan sebagainya, hal tersebut belum bisa memperbaiki relasi sosial antara masyarakat asli dengan pemerintah kolonial, termasuk menghentikan problem psikologis masyarakat yang kesulitan dan menderita yang telah berlangsung lama dan semakin memburuk setelah bencana.