Bagaimana Dampak Buruk Budaya Superhero?

dampak budaya superhero

sumber gambar: screencrush.com

REPUBLIKA.CO.ID, Anak-anak kerap terpapar banyak cerita dan tayangan tentang superhero. Anak laki-laki maupun perempuan hampir semua mengenal Superman, Batman, Spiderman, atau pahlawan lokal seperti Gatotkaca, Saras, dan Panji Manusia Milenium.

Pandangan awam menganggap kisah demikian baik karena bisa menjadi media pengajaran sederhana mengenai kebajikan lawan kejahatan. Namun, sebuah studi yang dilakukan para peneliti dari Brigham Young University AS justru mengungkap dampak buruk budaya superhero.

Salah satu peneliti, Professor Sarah Coyne, mengatakan bahwa anak usia dini menunjukkan kecenderungan agresivitas sekira satu tahun setelah kerap terpapar tayangan atau kultur superhero. Studi yang sudah diterbitkan dalam Journal of Abnormal Child Psychology itu menunjukkan agresivitas baik secara fisik maupun dalam hubungan dengan orang lain.

Untuk mendapatkan hasil tersebut, Coyne dan tim melibatkan 240 anak dan orang tua mereka. Para orang tua ditanya mengenai level keterlibatan anak dengan kultur superhero, sementara anak diminta mengidentifikasi 10 superhero populer, mana yang paling disukai, beserta alasannya.

Coyne berteori, penyebabnya adalah karena sebagian besar tayangan pahlawan super tidak diperuntukkan bagi anak usia prasekolah. Mayoritas program punya alur cerita kompleks yang menjalin kekerasan dan perilaku prososial, sedangkan anak usia dini belum memiliki kemampuan kognitif untuk memilah mana pesan moral di dalamnya.
Paparan adegan kekerasan juga dikaitkan dengan rendahnya empati dan tak berkembangnya aspek emosional. Meski demikian, Coyne mengatakan temuan ini tidak bermaksud menyarankan orang tua untuk betul-betul menjauhkan anak dari tayangan superhero.

“Libatkan anak dalam banyak aktivitas, dan tempatkan tayangan atau kisah superhero hanya sebagai salah satu dari sekian banyak hal yang bisa mereka pilih,” kata Coyne, dilansir dari Indian Express.

sumber:
republika.co.id

Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa kekerasan pada televisi memberikan pengaruh negatif bagi anak, antara lain ; perilaku agresif pada anak yang bisa menetap sampai ia dewasa, kurangnya keterampilan Problem Solving, dan lain-lain (Beckham, 1999).

Pada tahun 1960, Dr. Leonard Eron (dalam Chen, 1996) memulai pengkajian longitudinal yang luar biasa terhadap sekitar 800 anak usia 8 tahun. la mendapati bahwa anak-anak yang berjam-jam menonton televisi keras cenderung lebih agresif di ruang kelas maupun di tempat bermain. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kekerasan televisi mempengaruhi para remaja dari segala usia, dari kedua jenis kelamin, pada semua tingkat sosio-ekonomis dan intelejensia. Pengaruhnya tidak terbatas pada anak-anak yang memang sudah berwatak agresif, juga terjadi di negara manapun.

Ketika anak-anak menonton televisi atau media visual lain, secara fisik mereka pasif, namun secara mental sebenarnya mereka aktif. Pikiran mereka dapat dimasuki ide-ide, informasi-informasi dan nilai-nilai dari apa yang mereka tonton. Oleh karena itu televisi atau media visual lain dapat menjadi “guru” yang ampuh bagi anak-anak, Aquilina Tanti Arini.

Beckham (1999) dalam artikelnya tentang kekerasan pada televisi mengemukakan bahwa kekerasan dalam program televisi lebih berpengaruh pada anak dibandingkan dengan dongeng yang diperdengarkan oleh orangtua kepada anaknya. Hal ini dikarenakan anak adalah visual learner. Anak-anak biasanya sangat menyukai film-film superhero.

Menurut Singer, dkk (1999) hal ini dikarenakan anak-anak adalah kecil, lemah dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungannya, sehingga mereka suka melihat karakter yang hebat.

Sebagai visual learner, anak mudah meniru perilaku positif dan negatif yang mereka tonton. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh superhero (Yang nota bene adalah tokoh pahlawan pembela kebenaran) dalam menyelesaikan masalah akan dengan mudah ditiru anak.

Pengaruh negatif dari kekerasan dalam film superhero ini antara lain:

  • Pertama, anak belajar bahwa dalam menyelesaikan suatu perselisihan atau konflik ia dapat menggunakan cara kekerasan (Singer, dll. 1999).

  • Kedua, cara kekerasan yang ditiru oleh anak pada gilirannya dapat berpengaruh pada kurangnya keterampilan bahasa anak, karena anak menjadi tidak biasa mengatakan masalahnya, dan yang justru ia lakukan ialah langsung mengambil tindakan kekerasan seperti yang dilakukan oleh tokoh yang ia kagumi, Kostelnik, Whiren & Stein, Rogers & Sawyers (National Association for the Education of Young Children, 1997).