Bagaimana Ciri-Ciri Pembangunan Politik yang baik?

Terminologi pembangunan politik [ political development ] mulai mengemuka pada dekade tahun 1950 ketika sejumlah ilmuwan politik Amerika mencoba melakukan kajian tentang dinamika politik kemunculan negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Studi itu dilakukan dengan menghitung data kuantitatif dan statistik atas aspek demografi, sosial, politik dan ekonomi negara-negara tersebut dan kemudian menganalisis sikap, nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Untuk lebih mendalam kembali akan diulas makna pembangunan politik menurut para ilmuwan yang concern terhadap terminologi ini. Bagaimana Ciri-Ciri Pembangunan Politik?

Lucian W. Pye (1966) bahwa ciri-ciri pembangunan politik, yaitu equality (persamaan), capacity (kapasitas), differentiation and specialization (diferensiasi dan spesialisasi). Ketiga ciri ini dapat dipandang sebagai inti dari proses pembangunan politik. Kita tidak mudah bisa menyatakan bahwa ketiga ciri itu cocok dan saling mengisi atau melengkapi, tetapi dalam kenyataannya kadang-kadang timbul kecenderungan pertentangan akan tuntutan persamaan, prasyarat-prasyarat kapasitas dan proses diferensiasi dan spesialisasi yang makin luas. Tuntutan ke arah persamaan yang besar dapat menjadi tantangan kapasitas sistem, dan diferensiasi serta spesialisasi bisa menurunkan persamaan karena perbedaan kualitas pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh warga negara. Misalnya, warga negara yang memiliki kualitas pengetahuan dan keahlian yang tinggi akan mampu bersaing untuk menduduki berbagai struktur yang ada dalam sistem politik, yang pada akhirnya muncul sebagai golongan elit dalam masyarakat. Sebaliknya bagi warga negara yang kurang mempunyai kualitas pengetahuan dan keahlian akan sulit bersaing menempati struktur sistem politik, meskipun ada persamaan kesempatan yang diberikan.

A. EQUALITY (PERSAMAAN)


Banyak pandangan tentang hal ini menunjukkan bahwa pembangunan politik menyangkut partisipasi massa dan keterlibatan rakyat dalam kegiatan-kegiatan politik. Partisipasi massa bisa berbentuk demokratis atau mobilisasi totaliter, tetapi yang penting bahwa semua orang harus menjadi warga negara yang aktif.

Dalam kaitannya dengan keterlibatan rakyat dalam kegiatan-kegiatan politik (partisipasi politik), Huntington dan Nelson (1977) memandang bahwa partisipasi politik merupakan ciri utama dari modernisasi politik. Modernisasi pada bidang lain seperti ekonomi dan sosial dalam jangka panjang akan menghasilkan partisipasi politik yang lebih luas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Kegiatan-kegiatan itu bisa dilakukan warga negara secara pribadi atau kolektif, terorganisasi atau spontan, terus-menerus atau sporadis, damai atau kekerasan, legal atau tidak legal, efektif atau tidak efektif. Kegiatan-kegiatan warga negara tersebut merupakan kegiatan empirik yang dilakukan dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian sifatnya bukan lagi perasaan, idea melainkan sudah tindakan nyata.

Kemudian Hungtinton dan Nelson (1977) membedakan antara autonomous participation (partisipasi yang bersifat otonom) dan mobilized participation (partisipasi yang dimobilisasi). Tetapi sulit untuk menentukan ukuran-ukuran yang bisa memisahkan antara kedua tipe partisipasi politik tersebut di atas. Karena itu kedua tipe partisipasi politik tersebut hanya bisa dibedakan dalam konsep, tapi sulit dalam kenyataan empirik.

Selanjutnya kedua penulis tadi mengemukakan bahwa wujud partisipasi politik dalam berbagai bentuk, yaitu:

1. Electoral Activity;

yaitu kegiatan pemilihan umum guna menentukan kepemimpinan nasional. Termasuk dalam kegiatan ini antara lain pemberian suara, pemberian sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam pemilihan, mencari dukungan untuk seorang calon atau setiap kegiatan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan umum.

2. Lobbying;

yakni meliputi usaha-usaha perseorangan atau kelompok untuk mengadakan hubungan dengan pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya usaha untuk menumbuhkan dukungan terhadap keputusan administratif tertentu.

3. Organizational Activity;

Kegiatan ini menyangkut keikutsertaan anggota atau pimpinan dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

4.Contacting ;

Mencari koneksi merupakan kegiatan perorangan yang ditujukan kepada pimpinan-pimpinan pemerintahan yang dimaksudkan untuk memberikan keuntungan pada seseorang atau sekelompok kecil anggota masyarakat.

5. Violence;

yakni suatu kegiatan dengan menggunakan cara kekerasan agar pemerintah terpengaruh. Pengaruh tersebut diharapkan akan menyebabkan pemerintah meninjau kembali atau mengubah keputusan-keputusan tertentu, misalnya melalui huru-hara, demonstrasi, pemberontakan dan sebagainya.

Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat (Miriam Budiardjo, 1981). Di Indonesia, hal ini jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 aline empat “…

maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat…” . Hal

ini menunjukkan bahwa kedaulatan atau kekuasaan politik tertinggi ada di tangan rakyat yang dijalankan menurut undang-undang dasar.

Di samping uraian di muka, equality (persamaan) juga berarti bahwa hukum harus bersifat universal, artinya berlaku umum untuk semua warga negara. Hal ini sejalan dengan makna Undang-Undang Dasar 1945, bahwa tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ini berarti pembinaan sistem hukum nasional dan prosedur-prosedur hukum haruslah jelas bagi seluruh warga negara.

Akhirnya, equality (persamaan) berarti pula proses rekrutmen politik atau seleksi pemimpin berdasarkan pada kemampuan atau prestasi kerja bukan atas dasar ikatan-ikatan primordial seperti ikatan keluarga, daerah dan sebagainya. Juga tidak atas dasar pertimbangan status yang bersandar pada sistem sosial tradisional. Karena itu pelaksanaan rekrutmen politik hendaknya terbuka bagi semua warga negara. Rekrutmen politik yang terbuka berarti setiap warga negara memperoleh peluang-peluang yang sama untuk bersaing menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Di samping itu, ada pula rekrutmen politik tertutup. Di sini tidak semua warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing memperebutkan jabatan-jabatan politik dan pemerintahan, tetapi hanya orang-orang tertentu saja. Biasanya orang-orang tersebut ada hubungannya dengan penguasa atas dasar ikatan-ikatan primordial. Hal ini tidak sesuai makna persamaan sebagai ciri pembangunan politik.

B. CAPACITY (KAPASITAS)


Yang dimaksudkan kapasitas di sini adalah kemampuan sistem politik, yaitu mengenai output (hasil) sistem politik yang mampu mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Juga berkaitan kondisi dan prestasi pemerintah yang menyebabkan proses pelaksanaan kebijaksanaan umum menjadi efektif dan efisien. Akhirnya kapasitas sistem politik berhubungan pula dengan rasionalisasi administrasi dan orientasi sekuler terhadap kebijaksanaan umum.

Mengenai kemampuan-kemampuan yang dimiliki sistem politik, menurut Almond dan Powell (1966) terdapat enam jenis, yaitu:

1. The Extractive Capability

Kemampuan ekstraktif adalah kemampuan sistem politik mengelola sumber-sumber kekayaan alam dan potensi-potensi manusia (material and human resources) . Melalui sumber-sumber ini, sudah bisa diduga segala kemungkinan dan tujuan apa saja yang dapat diwujudkan oleh sistem politik. Kehidupan sistem politik sangat tergantung pada biaya yang dapat dikumpulkan dari kemampuan ekstraktif ini.

Manusia (warga negara) akan memperoleh manfaat untuk membiayai kehidupannya melalui pengelolaan sumber daya alam dan negara juga memperoleh sumber pembiayaan melalui berbagai cara antara lain pembayaran pajak. Pengelolaan kekayaan alam hendaknya berdasarkan asas - asas berikut: (a) asas maksimal , artinya kekayaan alam harus memberi manfaat maksimal untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (b) asas lestari , maksudnya bahwa sumber kekayaan alam harus dipelihara kelestariannya agar dapat dimanfaatkan selama mungkin; © asas daya saing , artinya kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap negara lain. Sedangkan sumber daya manusia dikembangkan agar bisa ikut serta dalam proses pembangunan bangsa sesuai pendidikan, keahlian dan keterampilan masing-masing.

2. The Distributive Capability

Kemampuan distributif berkaitan erat dengan kemampuan ekstraktif, sebab sesudah sistem politik mengelola sumber-sumber alam dan potensi manusia maka harus pula menunjukkan kemampuannya mendistribusikan kembali kepada masyarakat. Distribusi barang-barang, jasa, kesempatan, status dan bahkan juga kehormatan dapat dipandang sebagai prestasi nyata sistem politik. Distribusi tersebut ditujukan kepada individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pada hakikatnya apa yang harus didistribusikan bukan saja keuntungan-keuntungan, tetapi juga kerugian-kerugian, misalnya pendapatan negara (nasional) melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) didistribusikan untuk membiayai pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tetapi bila negara dalam keadaan kritis, misalnya menghadapi perang maka hal ini juga harus didistribusikan. Artinya setiap warga negara berkewajiban ikut serta dalam pembelaan negara.

3. The Regulative Capability

Kemampuan regulatif dimaksudkan bagaimana sistem politik menyelenggarakan pengawasan terhadap tingkah laku individu dan kelompok yang berada di dalamnya. Termasuk penempatan kekuatan-kekuatan yang absah untuk melakukan pengawasan terhadap tingkah laku manusia dan badan lain yang berada dalam sistem.

Bagaimana cara sistem politik membawa kelompok-kelompok atau masyarakat kepada aturan-aturan yang berlaku, misalnya bagaimana cara mereka menanggapi Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, ideologi nasional dan sebagainya. Sejauh mana kekuatan aturan-aturan tersebut menjangkau dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat serta bagaimana intensitas campur tangan sistem politik terhadapnya, semuanya merupakan ukuran dari kemampuan regulatif. Misalnya dalam kehidupan ekonomi terjadi monopoli maka sistem politik harus menunjukkan kemampuan regulatifnya agar masyarakat tidak terkena gejolak harga yang disebabkan monopoli itu. Sistem juga harus mampu mencegah agar pengusaha bebas dari praktek ekonomi yang curang dan membina persaingan yang sehat.

4. The Responsive Capability

Kemampuan responsif adalah kemampuan daya tanggap sistem politik yang ditentukan oleh hubungan antara input (aspirasi masyarakat) dengan output (kebijakan pemerintah). Dalam perkembangannya, suatu sistem politik sering menghadapi tuntutan-tuntutan atau tekanan-tekanan yang datang dari lingkungan dalam ataupun lingkungan luar. Pertanyaan yang timbul ialah kepada siapa sistem politik bersifat tanggap?, Dalam bidang kebijakan apa sistem politik tanggap?, Bagaimana cara melaksanakan pola tingkah laku yang tanggap itu?

Dalam sistem kerajaan, di mana aktivitas birokrasi pemerintahan dikendalikan oleh raja bersama para pembantunya yang terdekat, hanya sedikit melibatkan diri terhadap tuntutan-tuntutan dari luar. Elit politik hampir selalu terikat pada satu sumber input sehingga kemampuan responsif semacam ini dianggap rendah.

Sebaliknya, pada sistem politik yang terbuka luas terhadap pengaruh input dari kelompok-kelompok kepentingan atau partai politik, di mana kebijaksanaan elitnya peka dan tanggap, bisa dipandang kemampuan responsifnya tinggi.

5. The Symbolic Capability

Kemampuan simbolik adalah mengalirnya secara efektif simbol-simbol nasional dari sistem politik ke dalam lingkungan dalam dan lingkungan luar sistem. Misalnya simbol-simbol persatuan nasional seperti bendera nasional, lagu kebangsaan, lambang negara, bahasa nasional, Pancasila dan sebagainya yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Masyarakat Indonesia yang heterogen terdiri dari bermacam-macam suku, adat istiadat, agama, aliran dan sebagainya telah dapat dipersatukan melalui ideologi nasional yakni Pancasila. Telah berulang kali negara kesatuan Republik Indonesia menghadapi ancaman disintegrasi tetapi tetap dapat diatasi dengan menggunakan Pancasila sebagai ideologi nasional.

6. Domestic and International Capability

Kemampuan domestik dan internasional menunjukkan keberadaan sistem politik dalam lingkungan domestik (dalam negeri) maupun lingkungan internasional (luar negeri). Sistem politik dalam bekerja, mengadakan hubungan atau interaksi dengan lingkungan domestik dan lingkungan internasional. Karena itu tingkah laku internasional suatu sistem politik bisa dilihat dari segi kemampuan ekstraktif, distributif, regulatif, simbolik dan responsif internasional sistem politik bersangkutan, misalnya kemampuan ekstraktif internasional suatu sistem politik dapat dilihat dari besarnya pendapatan yang diperoleh dalam perdagangan internasional, keuntungan dari penanaman modal di negara lain dan sebagainya.

C. DIFFERENTIATION AND SPECIALIZATION


Ciri pembangunan politik ini berkaitan dengan analisis tentang struktur dan fungsi. Dengan demikian pembangunan politik pertama-tama mengenai diferensiasi dan spesialisasi struktur. Lembaga-lembaga pemerintahan masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terdapat pembagian kerja di dalamnya.

Diferensiasi dapat menimbulkan peningkatan spesialisasi fungsional dari berbagai peranan lembaga-lembaga politik dalam sistem politik. Juga diferensiasi menyangkut integrasi dari struktur dan proses politik. Dengan demikian diferensiasi bukanlah fragmentasi dan isolasi masing-masing bagian dari sistem, melainkan spesialisasi berdasarkan pemahaman kesatuan yang menyeluruh.

Struktur politik terdiri dari lembaga-lembaga politik baik yang ada dalam masyarakat yang disebut sebagai infra struktur politik maupun yang ada dalam pemerintahan disebut supra struktur politik. Sedangkan proses politik adalah interaksi atau pengaruh timbal balik dari lembaga-lembaga politik yang ada dalam sistem politik. Infra struktur politik dalam bentuk kelompok-kelompok kepentingan dan partai-partai politik. Misalnya kelompok tani, kelompok nelayan, serikat buruh, organisasi pemuda, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan Sejahtera, dan sebagainya. Sedangkan supra struktur politik meliputi lembaga-lembaga negara seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif. Di Indonesia misalnya MPR, DPR, DPD, Kepresidenan, BPK, MA, MK, KY, dan lembaga-lembaga lain yang dikelola pemerintah.

Infra struktur politik antara lain berfungsi merumuskan segala kepentingan masyarakat dan kemudian menyalurkannya kepada lembaga- lembaga supra struktur politik. Selanjutnya lembaga supra struktur politik memproses segala kepentingan itu untuk menetapkan satu keputusan bersama. Tetapi proses kegiatan yang dilaksanakan supra struktur politik pada hakikatnya berdasarkan aspirasi, dukungan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Lebih lanjut lembaga supra struktur politik berfungsi mengalokasikan kembali nilai-nilai keputusan bersama itu kepada masyarakat. Nilai keputusan bersama inilah dipandang sebagai nilai-nilai otoritatif, artinya nilai-nilai yang berada dalam wewenang pemerintah. Karena itu infra struktur politik mempunyai hubungan yang erat dengan supra struktur politik. Proses kerja keduanya saling berhubungan, kohesif dan interdependensi sehingga totalitas sistem bisa terpelihara untuk keberlangsungannya.