Bagaimana China Pasca Keanggotaan WTO dan Pengaruhnya terhadap Hubungan Ekonomi China dan ASEAN?

China Pasca Keanggotaan WTO dan Pengaruhnya terhadap Hubungan Ekonomi China dan ASEAN

Bagaimana China Pasca Keanggotaan WTO dan Pengaruhnya terhadap Hubungan Ekonomi China dan ASEAN?

China Pasca Keanggotaan WTO dan Pengaruhnya terhadap Hubungan Ekonomi China dan ASEAN


Bergabungnya China dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan bentuk komitmen China terhadap transisi ekonominya ke ekonomi yang berorientasi kepada pasar. Keanggotaan China di WTO bukan saja berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonominya sendiri melainkan juga berpengaruh terhadap perekonomian dunia dan perpolitikan internasional. China juga melengkapi peran dan fungsi WTO sebagai organisasi tingkat dunia dan ini berimplikasi terhadap kelangsungan ekonomi negara-negara anggota WTO lainnya. Setelah 15 tahun masa negosiasi yang panjang China menjadi anggota WTO yang ke 143 pada bulan Desember tahun 2001.

Perjuangan China untuk menjadi anggota WTO bukanlah hal yang mudah karena China harus menempuh jalan panjang dan melalui proses negosiasi yang berliku. Pada tanggal 24 Maret 1948, Pemerintah Nasionalis China menandatangani Final Act of the United Nations Conference on Trade and Employment yang diadakan di Havana, Kuba. Sebulan kemudian China menandatangani GATT dan menjadi satu dari 23 anggota pendiri awal. Dua tahun kemudian, China terpaksa mundur dari keanggotaannya di GATT setelah Partai Nasionalis kalah oleh Partai Komunis dalam perang saudara. Pada tahun 1970an China sebenarnya memiliki kesempatan besar untuk bergabung kembali dengan dengan GATT namun kesempatan itu ditolak oleh Mao karena keanggotaan GATT dianggap sebagai salah satu bentuk kapitalisme barat.

Setelah reformasi ekonomi dimulai, tepatnya pada tahun 1986, China mendaftarkan diri kembali menjadi anggota GATT. Mulai dari sini selama 15 tahun ke depan China berusaha mempelajari peraturan-peraturan GATT agar jika kemudian diterima China akan dapat segera menyesuaikan diri. Untuk menjadi anggota GATT (dan kemudian WTO), negara pelamar perlu mengajukan permohonan tertulis yang kemudian ditujuan kepada panitia penilai. Setelah surat masuk maka panitia kemudian akan membentuk sebuah “kelompok kerja” untuk menyelidiki negara tersebut untuk menilai apakah pelamar layak menjadi anggota. Proses ini juga harus dilalui oleh China, oleh karena itu pada tanggal 13 Februari 1987 China mengumpulkan Memorandum Perdagangan Asing China dan kelompok kerja untuk China didirikan sebulan kemudian. Rapat kelompok kerja China untuk pertama kalinya diadakan pada bulan Oktober di tahun yang sama. Selama tujuh tahun berikutnya 19 rapat lain diadakan untuk mempertimbangkan keanggotaan China. Proses yang relatif panjang dan memakan waktu lebih dari 10 tahun ini adalah karena pertimbangan sistem ekonomi China. Sistem ekonomi China yang sifatnya direncanakan dan dikontrol oleh pusat membuat China sulit diterima karena sebagian besar anggota terdahulu GATT menganut sistem ekonomi terbuka yang berorientasi pada pasar.

GATT resmi digantikan dengan WTO mulai tanggal 1 Januari 1995 dan ini membawa perubahan terhadap status China di organisasi tersebut. Saat itu China masih belum juga menjadi anggota karena tidak adanya dukungan dari major power seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun pada tanggal 11 Juli status China meningkat menjadi negara ‘pemerhati’ di WTO dan beberapa bulan kemudian status lamaran China berubah dari negara pelamar GATT menjadi negara calon anggota WTO dan ini berarti China mulai dicanangkan menjadi anggota WTO. China berusaha keras untuk menunjukkan kapabilitasnya sebagai calon anggota yang layak memasuki WTO. China menggunakan kekuatan ekonominya sebagai sebuah strategi politik yang kemudian sukses menarik dukungan banyak negara anggota WTO. Strategi yang dimaksud adalah dengan bergabungnya China dengan Program Penyelamatan IMF yang ditujukan untuk membantu negara-negara di Asia yang dihantam krisis finansial pada tahun 1997. China melaksanakan komitmennya dengan mendonasikan 4 milyar dolar. China juga bergabung dengan ASEAN+3 bersama Jepang dan Korea Selatan untuk mengangani permasalahan perdagangan dan moneter yang disebabkan oleh krisis finansial tersebut. Di satu sisi, ini menciptakan citra baru China sebagai negara major power baru yang bisa diandalkan terutama bagi negaranegara Asia Tenggara yang paling parah dihantam krisis. Bagi negara-negara lain, ini menunjukkan kesungguhan China untuk mengintegrasikan ekonominya dengan ekonomi dunia.

Kesungguhan China untuk menjadi anggota WTO semakin dipertimbangkan dengan diumumkannya agenda kebijakan pemimpin China yang baru, Zhu Rongji, untuk mereformasi perusahaan-perusahaan negara China. Krisis finansial Asia telah memperlambat pertumbuhan ekonomi China oleh karena itu kebijakankebijakan baru harus diimplementasikan untuk merangsang ekspor dan menarik FDI. Pada pertemuan kelompok kerja China yang ke-18 tanggal 17 September 2000, 1500 halaman perjanjian multilateral China diloloskan. Akhirnya, pada Konferensi Tingkat Menteri WTO yang ke-4 di Doha, Qatar, tanggal 11 November 2001, China menandatangani perjanjian keanggotaan dan secara resmi menjadi anggota WTO yang ke 143. Bergabungnya China dengan WTO menjadi tanda kesiapan China untuk berinteraksi dan mempererat kerjasama terutama dengan major power. Secara otomatis ini membuat China menjadi ‘lebih terlihat’ oleh dunia khususnya oleh negara-negara non-komunis sebagai bentuk keseriusan untuk menjadi ekonomi yang berorientasi pada pasar. Ini juga membuat Beijing menjadi target mitra ekonomi negara-negara yang berada di kawasan baik karena alasan ekonomi maupun alasan politik.

Hasil dari kesepakatan dengan WTO adalah China setuju untuk berkomitmen dalam membuka dan meliberalisasi rezimnya dalam rangka berintegrasi dengan perekonomian dunia dan menawarkan lingkungan yang lebih mudah diprediksi bagi perdagangan dan investasi sesuai dengan regulasi WTO. Beberapa komitmen China, seperti yang diungkapkan WTO, adalah sebagai berikut;

  1. China akan memberlakukan perlakuan non-diskriminatif kepada seluruh anggota WTO. Seluruh individu dan perusahaan, termasuk yang tidak berinvestasi dan terdaftar di China akan diperlakukan tidak kurang menguntungkan dari yang diberikan kepada perusahaan di China berkenaan dengan hak untuk berdagang,

  2. China akan menghilangkan praktik dual pricing serta perbedaan dalam perlakuan yang diberikan kepada barang yang diproduksi untuk dijual di Cina dibandingkan dengan yang diproduksi untuk ekspor,

  3. Kontrol harga tidak akan digunakan untuk tujuan melindungi industri domestik dan penyedia jasa,

  4. Kesepakatan WTO akan diimplementasikan oleh China secara efektif dan seragam dengan cara merevisi peraturan domestik yang ada dan memberlakukan undang-undang baru yang sesuai dengan perjanjian WTO,

  5. Setelah tiga tahun menjadi anggota, seluruh perusahaan memiliki hak untuk mengimpor dan mengekspor seluruh barang dan perdagangan di seluruh wilayah pabean dengan pengecualian terbatas,

  6. China tidak akan memberikan subsidi ekspor apapun bagi produk pertanian.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, China telah memperkenalkan perubahan-perubahan hukum yang ektensif, terutama mengenai peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perdagangan internasional dan investasi asing. Setelah menjadi anggota WTO, China menyatakan komitmennya untuk terus menyelaraskan pasar ekonomi dan sistem hukumnya dengan lingkungan internasional yakni dengan merevisi atau menghapuskan 3.000 hukum nasional dan 200.000 hukum daerah agar sesuai dengan ketentuan WTO dan hukum internasional. Lingkungan bisnis telah berubah dari yang sebelumnya didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan kemudian dilakukan bersama oleh perusahaan milik pemerintah dan swasta.

Usaha milik swasta mulai disahkan sejak tahun 2002. Pengesahan terhadap kepemilikan swasta ini merupakan sesuatu yang esensial bagi China dengan mendesaknya kebutuhan negara untuk mendorong pertumbuhan sektor swasta. Biro Statistik China mengategorikan usaha swasta ke dalam beberapa kelompok; perusahaan swasta milik warga domestik, perusahaan swasta milik warga asing, dan perusahaan swasta gabungan milik warga domestik dan asing. Sejauh ini, lebih dari 50% ekspor dilakukan oleh perusahaan multinasional asing yang beroperasi di China dan telah menjadi motor penggerak ekonomi China. Peran perusahaan swasta di China tidak terbatas pada perusahaan-perusahaan skala besar saja namun juga termasuk di dalamnya Usaha Kecil Menengah dan juga Bisnis Swasta Daerah yang dikenal dengan nama Township and Village Enterprises (TVE). Hingga saat ini lebih dari dua pertiga produksi PDB China dikuasai oleh swasta. Perusahaan swasta yang berinvestasi di China banyak yang datang dari negara-negara maju seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang. Ketika mereka mengekspor produk mereka dari China maka otomatis ekspor tersebut akan terhitung sebagai ekspor China sehingga ekonomi China semakin maju dan negara-negara maju tersebut harus mengalami defisit perdagangan dengan China.

Keanggotaan China di WTO dan konsistensinya menjalankan kesepakatan membuat perekonomian China meroket. Sejak tahun 1990 hingga tahun 2005, ekspor China naik sekitar 25 kali lipat. Kemajuan eskpor terutama didorong oleh sektor manufaktur yang sejak tahun 2000 sampai 2005 menguasai 32% dari total PDB dan 89% dari total ekspor produk merchandise. 114 Dari tabel di bawah dapat dilihat bahwa jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN dan negara berkembang lainnya, pertumbuhan sektor manufakturing China adalah yang tertinggi.

Dengan meroketnya sektor manufaktur kebutuhan China terhadap bahan mentah meningkat secepat pertumbuhan ekspornya. Hal ini membuat ASEAN sebagai sumber bahan mentah sekaligus pasar bagi produk manufakturing China yang sempurna. Sejak awal tahun 1990an mayoritas produk impor China yang masuk ke ASEAN berasal dari sektor manufaktur. Beberapa diantara produk manufaktur itu adalah mesin elektronik, perekam suara, reaktor nuklir, produk rokok, bahan pakaian, perahu dan kapal, berbagai alat pengukur dan timbangan, bahan-bahan kimia organik. Yang menarik adalah peningkatan signifikan volume impor produk-produk tersebut sejak keanggotaan China di WTO. Hubungan perdagangan bilateral China-ASEAN pertumbuhan tahunan rata-ratanya adalah sebesar 26.96% dari tahun 2000 sampai 2005 dan selama periode 1990 sampai 2005, perdagangan China-ASEAN tingkat tahunan rata-ratanya berada di angka 21.47%, bandingkan dengan pertumbuhan total perdagangan internasional China yang tumbuh 18.22%.

Setahun sebelum China menjadi anggota WTO, China mulai melancarkan strateginya untuk merangkul Asia Tenggara. Perdana Menteri China kala itu, Zhu Rongji, menawarkan kerjasama yang lebih erat dengan ASEAN dengan cara mengadakan kerjasama perdagangan bebas. Usul ini dikemukakan pada Pertemuan Puncak ASEAN yang ke-6 dan setahun kemudian, tahun 2001, para pemimpin ASEAN dan China merancang proposalnya di Brunei. Pada bulan November tahun 2002, pada Pertemuan Puncak ASEAN kedelapan di Kamboja, kedua pihak menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara ASEAN dan China (Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and the People’s Republic of China).

Latar belakang dari keinginan China untuk meningkatkan kerjasama dengan ASEAN harus dilihat jauh ke beberapa tahun sebelumnya yakni ketika China meluncurkan kebijakan luar negerinya antara tahun 1982 hingga 1993. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah China kala itu adalah Kebijakan Luar Negeri Bebas Damai. Tujuan yang ingin dicapai pemerintah China melalui kebijakan ini adalah:

  1. Mencapai lingkungan internasional yang damai guna menjamin pembangunan ekonomi China, serta mempertahankan rejim komunisme;
  2. Mempromosikan pertukaran ekonomi untuk memperluas kekuatan nasional China secara menyeluruh;
  3. Menghapuskan persepsi China sebagai ancaman yang kerap muncul di negaranegara lainnya di Asia.

Kebijakan ini pada awalnya memang tidak ditujukan secara khusus kepada ASEAN, namun kebijakan ini semakin jelas implementasinya setelah China menjadi anggota WTO dan kemudian mengajukan proposal kerjasama perdagangan bebas dengan ASEAN. Sebenarnya, sebelum ACFTA pun China sudah mengadakan kerjasama bilateral dengan negara anggota ASEAN dalam bidang ekonomi dan perdagangan, namun China yakin bahwa kerjasama perdagangan bebas akan mempererat kerjasama yang sebelumnya terjalin dan akan meningkatkan volume perdagangan dengan dihapuskannya tarif.

Skema kerjasama perdagangan bebas China-ASEAN tidak semata digerakan oleh logika ekonomi saja namun juga karena alasan-alasan lain. Setidaknya terdapat tiga motif China di balik proposal FTA China-ASEAN yakni motif ekonomi, motif politik, dan sekuritas energi China. Pertama, China melihat ASEAN sebagai sumber daya bahan baku dan mentah yang diperlukan China terutama untuk terus menjalankan produksi manufakturnya. Selain itu China juga melihat ASEAN sebagai pasar yang besar bagi produk-produk ekspornya. Investasi menjadi alasan lainnya. Sejak bangkitnya ekonomi China, negara ini telah menjadi salah satu sasaran investasi asing langsung terbesar di dunia. Dengan menarik ASEAN sebagai mitra dagang, China berharap akan menarik lebih banyak lagi investasi yang masuk baik dari luar kawasan maupun dari ASEAN sendiri. Sejak ACFTA direncanakan, China mulai banyak menarik penanaman modal asing dari ASEAN terutama dari Singapura. Pada tahun 2005 sebanyak $ 38,22 milyar nilai modal asing datang ke China dari ASEAN dan 80%nya datang dari Singapura.

Tabel 2.5 menunjukkan bahwa hal sebaliknya juga terjadi. Persentasi penanaman modal asing dari China membanjiri ASEAN. Berdasarkan data badan statistik ASEAN, investasi asing langsung yang masuk ke ASEAN melambung tinggi dari 2002 ke 2003. Negara dengan lonjakan penanaman modal asing terpesat ke ASEAN adalah China dan Amerika Serikat. Seperti yang kita dapat lihat di tabel investasi langsung China di ASEAN melonjak dari US$ -71,9 juta menjadi US$ 186,6 juta. Peningkatan ini terjadi pada tahun 2003, dua tahun setelah China menjadi anggota WTO dan setahun setelah China dan ASEAN menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi Keseluruhan antara ASEAN dan China.

Motif ekonomi China yang lain dalam melaksanakan perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN adalah karena perjanjian perdagangan bebas bilateral adalah bentuk komitmen China terhadap keanggotaannya di WTO. Anggota WTO diharapkan mengadakan kerjasama perdagangan bebas dengan anggota lain dalam rangka mempromosikan sistem perdagangan global. Tetapi ini bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan banyak waktu serta kesiapan dan latihan yang mantap. Latihan ini dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian perdagangan tingkat kawasan terlebih dahulu sebelum akhirnya bergerak ke arah kerjasama ekonomi yang lebih maju lagi.120 ACFTA sebenarnya merupakan “batu pijakan” bagi China sebelum maju ke arah perjanjian perdagangan dengan kawasan yang lebih luas, misalnya dengan seluruh Asia atau bahkan Asia Pasifik.

Selain motif ekonomi, China juga memiliki beberapa motif politik. ACFTA dapat dilihat sebagai bagian dari usaha China untuk mendapatkan power yang lebih besar di Asia Timur. Dengan melesatnya perekonomian, China juga telah meningkatkan pengaruhnya di kawasan dengan cara menaikan pengeluaran militernya. Tetapi China menyadari bahwa kenaikan ini masih belum cukup untuk mengimbangi pengeluaran militer Amerika Serikat. Yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pengaruh yang lebih besar dan kuat di Asia dengan kekuatan ekonomi yang lebih besar lagi. Bersama-sama ASEAN, China membentuk kesepakatan perdagangan bebas terbesar di dunia. Selain itu, kedua pihak memiliki kesempatan untuk menciptakan sebuah pasar tunggal yang akan jadi sangat menarik bagi pasar besar lainnya seperti Amerika dan Uni Eropa. China berharap dengan bekerjasama dengan ASEAN bersama keduanya akan memiliki posisi tawar yang lebih besar di pasar global. oleh karena itu, mengadakan persekutuan dengan ASEAN adalah sebuah pilihan yang rasional terutama mengingat dua pemain utama lain di kawasan, Jepang dan Korea, tidak bersedia untuk mengadakan kerjasama perdagangan bebas dengan China karena alasan-alasan ekonomi dan politik.

Pasang surutnya hubungan China dengan AS terutama dalam ekonomi dan sengketa perdagangan, membuat China harus memikirkan strategi yang dapat memperkuat posisi China di dunia. Dengan menggandeng ASEAN, China akan menampilkan sosok pemimpin baru ekonomi Asia yang hidup berdampingan baik dengan negara tetangga dan “halaman belakangnya”.

Motif terakhir China di balik ACFTA adalah sumber daya alam dan ketahanan energi. Sebagai negara dengan populasi penduduk terpadat di dunia, China membutuhkan banyak sumber daya alam untuk mencukupi kebutuhan penduduknya dan menjaga roda perekonomian tetap berputar. Dengan masifnya pertumbuhan industri manufaktur China, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, China haus akan sumber daya alam dan energi. Ekspor dari ASEAN yang sebagian besar terdiri dari minyak mentah, gas alam cair, produk pertanian dan pertambangan cocok dengan kebutuhan China. ASEAN juga melengkapi kebutuhan China akan bahan-bahan mentah dan intermediate goods. Oleh karena itu China menyebarkan perusahaan minyaknya di Asia Tenggara demi ekspansi ekonomi dan pencarian energi.

Pencarian energi juga dilakukan dengan mengadakan kerjasama dengan ASEAN. Ada beberapa kerjasama bilateral yang dilakukan China dengan negara anggota ASEAN;

  1. Pembelian lahan minyak Widuri dan Tinta di Indonesia senilai 585 juta dolar AS oleh China National Offshore Oil Corporation,
  2. Kontrak senilai 950 juta dolar AS oleh Shanghai Baosteel Group Corporation dan Jinchuan Nonferrous Metal Corporation untuk merehabilitasi pabrik nikel di Filipina,
  3. Komitmen sebesar 500 juta dolar AS oleh CITIC (dana investasi milik negara) dan berinvestasi di bidang perkebunan minyak sawit di Indonesia,
  4. Proyek 1,5 milyar dolar AS dalam alumunium di Vietnam, dan
  5. Hak eksplorasi selama 30 tahun atas 800 juta ton tambang potasium di Laos.

Sampai saat ini kemajuan ACFTA telah melalui tahap-tahap berikut;

  1. China dan Thailand menandatangani China-Thailand Early Harvest Program Agreement pada Juni 2003,
  2. Beberapa bulan kemudian pada bulan Oktober 2003, ChinaThailand mempelopori diterapkannya tarif nol persen bagi 180 produk pertanian pada perjanjian yang telah disebutkan pada poin pertama,
  3. Pada Pertemuan Puncak ASEAN-China ke-tujuh di Bali 2003, keduanya menandatangani Protocol to Amend the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Protokol ini untuk memuluskan jalan bagi implementasi penuh Early Harvest Program (EHP) mulai 1 Januari 2004, sebagai langkah awal ACFTA,
  4. Januari 2004, EHP diresmikan mencakup tarif khusus bagi lebih dari 500 produk pertanian,
  5. Juni 2004, Singapura masuk ke dalam China-Thailand EHP,
  6. Pada Pertemuan Puncak ASEAN ke-8 tahun 2004 di Vientiane, keduanya menandatangani Agreement on Trade in Goods dan Agreement on Dispute Settlement Mechanism,
  7. Juli 2005, China-ASEAN memulai penurunan tarif bagi 7000 komoditi perdagangan,
  8. Perjanjian perdagangan dalam bidang jasa China-ASEAN pada 14 Januari 2007,
  9. Perjanjian investasi pada 15 Agustus 2009, dan 10) Pada Januari 2010, ACFTA telah dimulai bagi enam negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei, dan Filipina).

Hubungan China-ASEAN berkembang pesat sejak keanggotaan China di WTO. Ini ditandai dengan penurunan tarif impor sejak 2002 sebagai persiapan bagi dukungan pembentukan kawasan perdagangan bebas China-ASEAN. Contohnya adalah yang terjadi dengan Thailand. Sejak Kesepakatan Percepatan Penghapusan Tarif (ACTE— Agreement on Accelerated Tariff Elimination) dengan China dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2004, impor barang-barang China di Thailand meningkat sebanyak 180%. Secara otomatis pasar Thailand dibanjiri oleh produkproduk impor dari China. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara ASEAN lainnya. Sebaliknya, China juga menawarkan pasarnya yang besar bagi impor dari negara ASEAN. Pada China-ASEAN Exposition (CAEXPO) yang diadakan pada bulan Oktober 2005, China telah menawarkan penurunan tarif bagi ASEAN dan China memastikan bahwa produksi pertanian, energi, dan produk elektronik ASEAN mendapatkan tempat di pasar China.

Secara keseluruhan, sejak China menjadi anggota WTO dan proposal ACFTA diajukan, ASEAN mengalami defisit perdagangan dengan China (lihat tabel 2.6). Tetapi, data menunjukkan bahwa China juga mengalami defisit perdagangan dengan ASEAN dalam beberapa produk seperti minyak mentah, karet, dan tembaga .

Perdagangan barang antara China dan ASEAN meliputi produk hasil pertanian, minyak dan gas, peternakan, kayu, kertas, peralatan mesin dan elektronik, pakaian jadi, alas kaki, plastik, kulit, makanan jadi, alat transportasi, alat-alat komunikasi, batu bara, dan alat-alat transistor dan semikonduktor. Dengan produkproduk seperti minyak mentah, karet, tembaga, dan plastik, China mengalami defisit perdagangan dengan ASEAN, namun untuk produk-produk lain seperti peralatan mesin dan produk manufaktur lainnya, China mengungguli ASEAN. Yang perlu dicatat adalah China hampir masuk ke dalam seluruh daftar lima besar pasar ekspor ASEAN dan negara pemasok utama 20 komoditas utama ASEAN.

Sebelum China menjadi anggota WTO, China mengalami perubahan sistem ekonomi besar-besaran dari sistem ekonomi sosialis menjadi sistem ekonomi pasar sosialis sehingga China menjadi begitu fokus dengan perekonomian domestiknya. Hubungan China dengan Asia Tenggara pada awal kemenangan PKC penuh dengan gejolak dan sangat dipengaruhi oleh kondisi politik domestik dan ideologi komunis China. Hubungan perdagangan berjalan dengan ‘longgar’ tanpa ada ikatan dan hukum yang jelas. China sempat mengalami periode ‘tanpa hukum’ selama dua puluh tahun, sejak kampanye Anti-Kanan di akhir 1950-an hingga berakhirnya Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Jangankan sistem hukum yang mengatur pola perdagangan asing, bahkan upaya membangun sistem hukum Sosialis pada pertengahan dasawarsa 1950-an terhenti secara mendadak. Sistem ekonomi yang berlaku sifatnya bergantung pada diri sendiri, dimana China tidak bergantung pada perdagangan asing. Dalam sistem yang seperti ini hubungan perdagangan China dengan Asia Tenggara seringkali berjalan secara informal karena pada awal PKC berkuasa sebagian besar negara Asia Tenggara bahkan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan China.

Setelah reformasi ekonomi dimulai, hubungan China dan ASEAN mulai membaik seiiring dengan terbukanya ekonomi China dan terjalinnya hubungan diplomatik. Volume perdagangan keduanya meningkat dan China berusaha untuk lebih merangkul negara tetangganya sesuai dengan kebijakan politik luar negerinya. Namun, setelah ASEAN berdiri hingga awal dekade 1990-an, China belum menjadikan ASEAN sebagai mitra perdagangan yang penting walaupun China secara politik mengakui pentingnya posisi ASEAN bagi kepentingan dalam negeri China.

Sejak krisis finansial Asia terjadi pada tahun 1997 sampai 1998, baik ASEAN maupun China merasakan perlunya hubungan yang lebih erat dengan satu sama lain. ASEAN melihat China sebagai kesempatan untuk membantu mereka keluar dari krisis dan China melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk menjadi hegemon ekonomi di Asia dengan melemahnya kekuatan Jepang. China juga menjadikan momen membantu Asia ini sebagai sebuah strategi politik untuk meluruskan jalan China menuju WTO setelah 15 tahun berjuang menjadi anggota.

Setelah menjadi anggota WTO, China merevisi hukum perdagangan asingnya agar sesuai dengan ketentuan WTO. Hubungan perdagangan regional dilandasi oleh hukum perdagangan asing China (2004) dan tertulis dalam bab 1 pasal 5 yang berbunyi:

“Republik Rakyat Cina akan, atas prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan, mempromosikan dan mengembangkan hubungan perdagangan dengan negara dan kawasan lain, masuk ke dalam atau berpartisipasi dalam perjanjian perdagangan ekonomi regional seperti perjanjian kesatuan pabean (custom union), perjanjian perdagangan bebas dan berpartisipasi dalam organisasi ekonomi regional.”

Dengan demikian pasal ini melandasi hubungan kerjasama ekonomi dan perdagangan China dengan ASEAN.

Posisi ASEAN semakin penting bagi China sejak menjadi anggota WTO. Kawasan ini adalah pasar yang sangat strategis bagi produk China. Penting bagi China untuk menjalankan diplomasi komersial yang tepat di kawasan ini. Diplomasi komersial terpenting yang dilakukan China menjelang masuk WTO adalah dengan mengajukan proposal ACFTA. Kerjasama perdagangan bebas dengan ASEAN adalah langkah yang tepat sebelum China melangkah ke FTA yang lebih besar lagi. China juga menunjukkan kesediannya mengadakan kerjasama dan perjanjian ekonomi bilateral dengan negara anggota ASEAN dengan cara berinvestasi besar-besaran di negara-negara tersebut, sesuatu yang belum pernah dilakukan China di tahun-tahun sebelum keanggotaan China di WTO.