Bagaimana catatan sejarah mengenai teknologi navigasi Bangsa Nusantara?

Dari sekian banyak catatan tentang Nusantara baik Lombard, Oppenheimer, Pires maupun Reid menggambarkan secara gamblang bagaimana bangsa Nusantara baik pra-Masehi maupun Pasca-Masehi telah menyentuh sebagian besar tanah Afrika, Amerika, dan benua Oseania hal tersebut berdasarkan adanya temuan unsur kesamaan bahasa bertipe aglutinatif yang terdapat di benua-benua tersebut. Tanpa keahlian navigasi yang baik dan tanpa didukung oleh tehnologi pembuatan kapal sangat mustahil bangsa Nusantara akan mampu menjelajahi ribuan mil lautan dan melewati beberapa benua. Tidak salah jika kemudian Hoogervorst (2013) membuat thesis bahwa ternyata tekhnologi perkapalan India mengadopsi dari pembuatan kapal Nusantara.

Sebagai bangsa yang sebagian besar hidupnya dipertaruhkan di laut sehingga kemudian bangsa Nusantara memiliki banyak suku yang menyandang sebutan sebagai orang atau suku laut. Tercatat beberapa suku laut yang ada di Nusantara antara lain : Suku laut Moken di Thailand Selatan, Myanmar, Malaysia, Suku Laut Dayak Iban di Kalimantan, Suku Laut Bajau di Sulawesi, dan Suku Laut atau Orang selat di Riau Kalimantan dan masih banyak lagi. Penamaan suku laut semacam ini sulit ditemukan di tempat manapun di dunia ini.

Dalam catatan para ahli sejarah dan berdasarkan naskah-naskah kuno terdapat beberapa penyebutan yang ditujukan pada pelaut bangsa Nusantara antara lain: “ pengelana dari timur, “hantu dari timur”, “pengembara laut”, “Dewa Ra dari timur ”, dan “setan dari timur” (periksa, Oppenheiemer 2010, Reid 2008, Lombard 1981, Collins 2005, dan Pires 2015)

Ungkapan-ungkapan setan atau hantu dari timur pada konteks masa lalu bukan sebuah bentuk penghinaan pada bangsa timur justru sebagai bentuk penghormatan tinggi. Sebutan hantu itulah yang kemudian diabadikan secara cerdas oleh angkatan laut Tentara Nasional Indonesia sebagai motornya yaitu “hantu laut”. Motto itu seakan menjadi sebuah bentuk reinkarnasi atau lahirnya kembali orang Nusantara sebagai penguasa atau hantu laut dunia dari timur. Inilah siklus kehidupan dunia bahwa anak laut akan kembali melahirkan anak laut dan anak agraris akan melahirkan anak agraris dan anak gurun akan melahirkan anak gurun.

Lebih jauh membaca karya Lafont, Lombard, Robert Dick Reid, Stephen Oppenheimer, Tom Hoogervorst pasti kita akan larut dalam keharu biruan karena ternyata bangsa Nusantara pada masa lalu adalah sebuah entitas bangsa besar atau Maha Wangsa. Lafont mencatat bahwa pada abad VIII Masehi pada masa pemerintahan Setyawarman di Vietnam dan Kamboja mendapat serangan dari Jawa. Hal yang menarik dalam cacatan ini adalah bahwa invasi Jawa ke wilayah Vietnam dan Kamboja ini merupakan perang internal dalam satu dinasti “Warman”.

Harus dipahami bersama bahwa Jawa dan Vietnam kemudian kamboja berasal dari dinasti yang sama yaitu dinasti “Warman”. Dinasti “Warman di Jawa menganggap bahwa merekalah yang berhak menjadi junjungan dari semua dinasti ‘Warman” di Nusantara. Diceritakan bahwa ribuan pasukan Jawa menggunakan kapal laut dilengkapi dengan peralatan navigasi yang canggih menuju ke arah utara untuk menyerang Vietnam dan Kamboja. Setelah sampai di wilayah Indochina tersebut pasukan Jawa secara membabi buta menyerang kuil-kuil hindu yang berada di sekitarnya. Tidak ada alasan yang pasti mengapa balatentara Jawa tersebut menyerang kuil tersebut.

Serangan balatentara Jawa ke wilayah Vietnam dan Kamboja dalam cacatan tersebut digambarkan secara sarkastik13 oleh saudara serumpun bangsa Campa sebagai tindakan brutal, kejam dan menjijikan. Hal ini dimungkinkan karena invasi orang Jawa telah berulang kali terjadi di tanah Campa, sehingga amarah orang Campa memuncak pada orang-orang Jawa (baca Coedes 1981).

Invasi Jawa pada periode berikutnya pada masa pemerintahan Indrawarman pada tahun 787. Dalam invasi itu orang-orang Jawa merusak candi Bhadradihipaticvara yang terletak di sebelah barat ibukota Virapura, di dekat Phanrang sekarang kemudian Campa meminta bantuan Cina untuk menghalau serangan Jawa tersebut. Invasi besar Jawa terhadap wilayah-wilayah

Indochina diperkirakan telah meruntuhkan kerajaan Tchen-la sehingga wajarlah kemudian jika Jajawarman II waktu mendirikan Angkorwat pada tahun 802 dengan geram bersumpah “negeri orang Kambuja tidak lagi takluk pada Jawa” (Lombard, 1981).

Keberanian orang Nusantara ternyata tidak hanya terjadi pada masa kerajaan-kerajaan kuno pada abad-abad kolonialisme awal juga begitu disegani dan ditakuti oleh bangsa-bangsa lain. Teringat sebuah kabar tentang raja Banten bernama Kiyai Senopati pada tahun 1619 pernah mengirim surat kepada Raja Inggris James I dan Gubernur Hindia di tanah jajahan Belanda J.P Coen. Dalam suratnya kepada raja Inggris dan petinggi Belanda tersebut Kiyai Senopati tanpa kata pemanis sedikitpun dengan tegas menolak upaya pemerintah Belanda dan Inggris yang berencana membangun sebuah benteng di Jayakarta/Jakarta. Begitu tegasnya isi dari surat tersebut sehingga para ahli bahasa barat menyebut surat tersebut sebagai “Surat Berbisa dari Timur”.