Pada saat inni, kualitas Kecerdasan spiritual (SQ) kolektif dalam masyarakat modern adalah rendah. Kita berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, ketergesaan, egoisme diri yang sempit, Kehilangan makna dan komitmen. Namun, sebagai individu, kita dapat meningkatkan kecerdasan spiritual kita.
Evolusi pada masyarakat bergantung pada peningkatan kualitas individu .
Secara umum, kita dapat meningkatkan kecerdasan spiritual kita dengan meningkatkan penggunaan proses tersier psikologis kita-yaitu kecenderungan kita untuk bertanya mengapa, untuk mencari keterkaitan antara segala sesuatu, untuk membawa ke permukaan asumsi-asumsi mengenai makna dibalik atau di dalam sesuatu, menjadi lebih suka merenung, sedikit menjangkau di luar diri kita, bertanggung jawab, lebih sadar diri, lebih jujur terhadap diri sendiri, dan lebih pemberani.
Melalui penggunaan kecerdasan spiritual kita secara lebih terlatih dan melalui kejujuran serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatihan semacam itu, kita dapat berhubungan kembali dengan sumber dan makna terdalam di dalam diri kita. Kita dapat menggunakan penghubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih luas dari diri kita. Dalam pengabdian semacam itu, kita akan menemukan keselamatan kita. Keselamatan terdalam kita mungkin terletak pada pengabdian imajinasi kita sendiri yang dalam.
Orientasi utama dalam meningkatkan kecerdasan spiritual adalah membina moralitas yang baik, karena moral merupakan akar dari baik buruknya bersosialisasi dengan orang lain, disamping itu moral juga merupakan perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu, membentuk satu kesatuan tindakan yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moral sense), yang terdapat didalam diri manusia sebagi fitrah, sehingga ia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Kemudian, muncul bakat moral yang merupakan kekuatan jiwa yang dapat mendorong manusia untuk melakuan perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan yang buruk.
Oleh karena itu perlu bagi semua orang mengembangkan kualitas moral yang dimiliki sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kohlberg melengkapi bahwa terdapat enam tahap perkembangan moral, yaitu :
-
Orientasi Terhadap Kepatuhan dan Hukuman
Anak bersedia patuh agar tidak dihukum. Jadi dasarnya adalah menghindari hukuman dan situasi yang tidak menyenangkan bagi dirinya.
-
Relativistik Hedonisme
Anak tidak lagi secara mutlak tergantung dari aturan yang ada diluar dirinya, melainkan lebih ditentukan oleh adanya faktor pribadi yang berdasarkan prinsip kesenangan. Anak akan melakukan sesuatu sejauh bisa menimbulkan kesenangan baginya. Ia bersedia disuruh oleh orang tuanya, karena akan mendapat hadiah.
-
Orientasi Anak Baik
Anak menilai baik suatu perbuatan sejauh perbatan tersebut diterima oleh masyarakat.
-
Mempertahankan Norma Sosial dan Otoritas
Perbuatan baik adalah perbuatan yang diterima masyarakat, dan turut mempertahankan norma-norma yang ada. Ia merasa turut berperan dalam masyarakat.
-
Orientasi terhadap perjanjian dengan lingkungan
Individu akan berbuat baik terhadap lingkungannya, selama ia tahu dan sadar bahwa lingkungan juga akan berbuat baik terhadapnya. Ia akan memperlihatkan kewajibannya, agar sesuai dengan tuntutan sosial karena ia menyadari bahwa lingkungan juga akan memberikan pelindungan terhadapnya. Jika ia melanggar kewajiban, ia merasa telah melanggar perjanjian dengan lingkungannya. Jadi disini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Hukum yang tidak memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dapat diubah dengan tata cara yang baik.
-
Prinsip Universal
Disamping norma pribadi, terdapat norma etik. Karena, unsur etik dapat menentukan baik buruknya, boleh tidaknya suatu perbuatan dilakukan individu. Jadi dalam hal ini unsur etik bersifat universal.
Referensi :
- Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ, Kecerdasan Spiritual (Bandung : Mizan, 2001).
- Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia :Kecerdasan Spiritual” mengapa SQ Lebih Penting daripada EQ (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002),
- Poejawiyatno. Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Bina Aksara, 1986).