Bagaimana Cara atau Jalan Untuk Mencapai Makrifatullah?

Makrifatullah adalah keadaan di mana seseorang mengenal Allah SWT dari bentuk dirinya sendiri dengan cara menyegarkan amaliyah dari waktu ke waktu, bersungguh- sungguh beribadah kepada-Nya, mengerjakan semua perintah-Nya yang dibuktikan dengan akhlaknya.

Cara al-Ghazali untuk mencapai ma’rifat yaitu menjaga kesucian jiwa dan kesucian hati. Jika totalitas jiwanya telah suci dan hatinya telah dipenuhi dengan dzikir kepada Tuhan, hidupnya akan dipenuhi oleh kearifan dan bimbingannya. Hati mempunyai fungsi yang esensial, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn Arabi dalam kitab Fu ṣūs al-Hikām nya yang dikutip dari buku Ilmu Tasawuf karya Samsul Munir Amin menjelaskan:

Kalbu dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilhām. Ia pun berfungsi sebagai alat unuk ma’rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajallī) makna-makna kegaiban.”

Kalbu yang dapat memperoleh ma’rifat adalah kalbu yang suci dari berbagai noda atau akhlak yang tercela. Al-Ghazali menyebut penyucian kalbu dengan ta ṭhīr al-qalb , yaitu menyucikan kalbu dari akhlak tercela dan sifat-sifat bahā’imiyyah , sehingga yang menjadi pakaian kalbu adalah sifat-sifat malaikat. Kalbu merupakan bagian dari jiwa, sedangkan kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecermelangan kalbu dalam menerima ilmu. Kalbu yang suci akan menembus alam malakut. Menurut al-Ghazali ketika di alam inilah, kalbu yang suci mendapatkan ilmu pengetahuan tentang Tuhan yang datang melalui ilhām yang dibisikkan ke dalam hati manusia. Dengan demikian, kalbu berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan sebagai alat untuk menyingkap pengetahuan yang gaib. Hal ini mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak diperoleh oleh sembarang orang tetapi hanya dimiliki bagi orang-orang yang berupaya untuk memperolehnya.

Selain dengan qalb sebagai alat untuk mencapai makrifatullah, al-Ghazali juga menggunakan ẓauq (citra rasa batiniah yang sangat halus). Al- Ghazali untuk mencapai makrifatullah dengan dzauq nya ia melalui tahapan mujāhadah (untuk memerangi hawa nafsu dengan riyā ḍah), dan merenungkan tentang ke-Esaan-Nya. Kemudian, sampailah pada tingkat musyāhadah atau penyaksian segala rahasia-rahasiaNya.

Jalan yang ditempuh al-Ghazali untuk mencapai makrifatullah dijelaskan dalam ihyā’ nya yaitu dengan mendahulukan mujāhadah (bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Allah SWT), menyingkirkan sifat-sifat tercela yang ada pada dirinya, memutuskan segala hubungan dengan dunia, dan menghadapkan diri dengan penuh cita-cita kepada Allah SWT. Apabila hal demikian itu berhasil, maka Allah SWT akan menyinari hati hamba-Nya dengan cahaya ilmu.

Cahaya ilmu merupakan rahmat Allah yang diberikan ke dalam hati hamba-Nya sehingga cemerlanglah nur dalam hati, terbukalah dada, tersingkaplah rahasia alam-malakut kemudian hilanglah dinding kelalaian yang ada di dalam hati karena rahmat-Nya dan bersinarlah hakikat urursan ke-Ilahian yang tidak bisa diusahakan dengan belajar, dipelajari ataupun ditulis tetapi dengan mengosongkan segala urusan dunia yang ada di dalam hati dan menghadapkan cita-cita hanya kepada-Nya.

Agar jalan-jalan yang ditempuh itu terlaksana maka seorang hamba wajib untuk taat beribadah, ber-tafakkur secara konsisten, membiasakan diri untuk bermujahadah, tidak menyibukkan diri untuk urusan dunia saja melainkan urusan akhirat juga harus diperhatikan, dan menghilangkan kecintaan yang selain Allah SWT di dalam hati. Dengan mengosongkan hati selain Allah dengan cara beriman kepada Allah, hari akhir, surga dan neraka dengan rasa takut dan harap, sehingga ia bertobat dan bersabar, serta zuhud dunia. Hati yang menuju makrifatullah yaitu hati yang diisi dengan tadabbur , tafakkur , dan mengambil i’tibār . Orang yang kuat penglihatan mata hatinya, maka melihat perbuatannya sendiri sebagai wujud kuasa-Nya.

Ada juga yang menyebutkan jalan menuju makrifatullah yaitu perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moral dan bibit dari pohon ma’rifat adalah mengucapkan kalimah-kalimah yang baik. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada makrifatullah dan memperoleh kebahagiaan.

Tafakkur yang dimaksud yaitu berfikir secara mendalam tentang: tanda-tanda kekuasaan-Nya akan menimbulkan ketauhidan yang kuat dan iman kepada-Nya, nikmat-nikmatNya akan mewujudkan rasa cinta kepada-Nya, janji-Nya akan mewujudkan rasa ketaatan kepada-Nya, kekurangan diri untuk menghadap-Nya dengan merenungkan segala kebaikan yang telah diberikan-Nya akan mewujudkan rasa malu untuk berbuat maksiat dan dosa, dan ancaman-Nya akan mewujudkan rasa takut kepada siksaan-Nya.

Berdasarkan cara-cara untuk memperoleh ma’rifat di atas, hal ini sesuai dengan tujuan tasawuf yaitu mencapai tajalliyat (merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupannya) dilaksanakan melalui latihan ruhani atau riyā ḍah, mujāhadah, tazkiyatun nafs (upaya pembersihan hati dan jiwa) serta selalu berdzikir dengan penuh konsentrasi dengan mengalihkan pusat kesadaran alam materi ke dalam penghayatan sampai pada keadaan fanā’ (lenyapnya alam materi) .

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Alláh) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS al- Żāriyāt [51]: 20-21).

Mnurut kitab Syaraḥ ṡalāsaħ al-Uṣūl, terdapat beberapa sebab yang memungkinkan seorang hamba mengenali Rabb-nya, yaitu :

Pertama, ia memperhatikan seluruh fenomena alam semesta serta memikirkan hal ihwal yang berlaku pada setiap makhluk. Dengan mengamati fenomena yang terjadi pada alam semesta ini, manusia hendaknya dapat menginsyafi bahwasanya terdapat kekuasaan yang menciptakan dan mengatur segala aktivitasnya. Peristiwa kelahiran, kematian, pergantian siang dan malam adalah hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia dan makhluk lainnya untuk mengendalikannya. Tidak ada satu makhlukpun yang dapat mencegah tumbuhnya benih pada rahim manusia, hewan, maupun pembuahan pada tumbuhan. Segala daya upaya yang dikerahkan oleh makhluk takkan kuasa mencegah kelahiran dan kematian serta pergantian siang dan malam.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang telah Alláh turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Alláh) bagi kaum yang memikirkan.” (QS al-Baqaraħ [2]: 164).

Kedua, ia berusaha memahami ayat-ayat syar`iyah berupa wahyu yang diamanahkan kepada para rasul alayhissalām. Ayat-ayat syar’iyaħ yang dimaksud tentulah ayat-ayat yang ada dalam Al-Qurān dan sunnah Nabi SAW yang mengandung seluruh pelajaran mengenai kehidupan manusia di alam dunia dan akhirat. Jika manusia berpedoman dan mampu mengambil ilmu serta hikmah yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut melalui pemahaman, penghayatan dan pengamalan, niscaya ia akan mampu mengenali Rabb-nya.

Hanya dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalanlah, seseorang dapat merasakan kesempurnaan pelajaran yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut bagi kemaslahatan hidup. Jika kemaslahatan hidup tercapai maka terbukalah hijab antara manusia sebagai makhluk dan Alláh SWT sebagai Sang Khaliq. Manusia akan menyadari dan membuktikan sendiri bahwa sesungguhnya ayat-ayat Al-Qurān adalah wahyu yang diamanahkan kepada Rasulullah SAW yang sumbernya dari Alláh Azza Wa Jalla dan tak mungkin kitab ini dikarang oleh manusia, mengingat betapa sempurna ajaran yang dikandung di dalamnya.

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alláh dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alláh (Al-Qurān) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar- benar beriman kepada Alláh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.‘’ (QS an-Nisā’ [4]: 59).

Ketiga, ma’rifah yang dikaruniakan langsung oleh Alláh SWT ke dalam qalb orang yang beriman. Dalam pengertian syar’ī , iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan lalu mengamalkannya dengan anggota badan. Yang diyakini, diucapkan, diamalkan oleh orang yang beriman semata-mata hanya peribadatan yang diambil dari perintah dalam kitabullah Al-Qurān dan sunnah Nabi SAW saja.

Orang yang beriman hanya akan mengikuti apa-apa yang diperintahkan Alláh dan Rasul- Nya serta menjauhi segala larangan-Nya, sehingga dengan begitu qolbu menjadi bersih dari kotoran-kotoran dan hal tercela. Ketika qalbu-nya telah bersih dari segala hama kotoran, maka dalam ’ibādaħnya --baik yang bersifat mahdhah ataupun ghayr mahdhah– seorang yang beriman akan merasa selalu ditatap oleh Rabb-nya. Bahkan, ia seakan-akan melihat Rabb-nya itu dengan mata kepalanya sendiri. Mengenai hal tersebut, Rasulullah SAW telah bersabda,

“Hendaklah kamu ber’ibādaħ kepada Alláh seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim).

Untuk berada dekat kepada Alláh, Tuhan alam seluruhnya, seorang muslim harus menempuh jalan yang panjang. Teori tasawwuf memberikan jalan yang disebut dengan maqāmāt dalam istilah Arab. Orang lain dalam istilah Inggris sering menyebutnya dengan stations atau stages. Beberapa ahli memberikan susunan angka yang berbeda- beda dalam hal penentuan jalan yang harus ditempuh sufi ini. Berikut disampaikan pendapatnya :

  1. Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dalam bukunya “al-Ta’arruf li mazhab ahl al- tasawuf ” menguraikan 11 tingkatan: taubaħ, zuhd, şabr, faqr, tawaďu’, taqwã, tawakkal, riďā, ĥubb, dan maifaħ.

  2. Abū Naşr al-Sarrāj al-Ţūsī dalam kitab ” al-Luma’ menyebutnya dengan tujuh tingkatan: taubaħ, wara’, zuhd, faqr, şabr, tawakkal, dan riďā.

  3. Abū Ĥāmid al-Gazali dalam Iĥyā` ’ulūm al-dīn, menggambarkan delapan tingkat yaitu: taubaħ, şabr, faqr, zuhd, tawakkal, ĥubb, ma’rifaħ, dan riďā.

  4. Abū al-Qāsim ’Abd al-Karīm al-Qusyairī, membuat maqāmāt sebanyak enam tingkat yaitu: taubaħ, wara’ , zuhd, tawakkal, şabr, dan riďā. namun yang biasa dia sebut hanyalah taubaħ, zuhd, tawakkal, şabr, dan riďā.

Jalan menuju Alláh yang dikonsepkan dalam pengamalan tasawwuf di atas maqamat itu ada yang dinamakan fana wa al-baqa, ittiĥad, selain yang tinggi seperti yang ada pada tingkatan yang sama seperti di atas adalah ĥubb dan ma’rifaħ.

Selain istilah maqamat itu ada juga yang dikenal dalam khazanah tasawwuf adalah ĥāl yang berarti keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Namun yang sering disebut dalam khazanah ini adalah: khauf, tawaďu’, ţā’aħ, khlaş, ins (kedekatan hati) , wujd (perasaan senang) , dan *syukr.

Ĥāl ini berbeda sekali dengan maqāmāt, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi dihasilkan sebagai pemberian anugerah dan rahmat dari Tuhan. Ini berlainan juga dengan maqam , ĥāl bersifat sementara, datang dan pergi. Dapat saja ia muncul atau menghilang sewaktu-waktu dari seorang sufi dalam perjalanannya menuju kedekatan ke arah Tuhan.*

Maqamat yang dimaksudkan di atas dapat diuraikan secara singkat berikut ini:

  • al-zuhd: merupakan maqam terpenting bagi seorang calon sufi, artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kebendaan. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zāhid atau ascetic dalam istilah Inggrisnya. Baru setelah menjadi zāhid ini,ia dapat meningkat menjadi sufi. Dalam keadaan ini dapat disebut hidup dalam kesederhanaan seperti yang dicontohkan oleh Rasul dan para sahabatnya.

  • al-taubaħ: tobat, yang dimaksudkan sufi ialah tobat yang sebenar- benarnya, tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang tobat itu tidak dapat dicapai dengan sekali saja. Al-Kisah bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali tobat, baru mencapai tingkat yang sebenarnya. Tobat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang bertobat adalah orang yang cinta kepada Alláh, ia senantiasa mengadakan kontemplasi kepada-Nya.

  • al-wara’; kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yangtidak baik dan dalam pengertian sufi, wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat, keraguan tentang halalnya sesuatu.

  • al-faqr, tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta, sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi boleh diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.

  • al-şabr, sabar dalam menjalankan perintah-perintah Alláh, dalam menjauhi segala larangann-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya kepada kita. Menunggu datangnya pertolongan dari Alláh. Sabar menderita kesabaran, Tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.

  • al-tawakkal, menyerah kepada kada dan putusan dari Alláh. Selamanya berada dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat pemberian apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada kada dan kadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada pada hari ini. Tidak mau makan, karena ada orang lain yang lebih membutuhkan pada makanan dari dirinya. Percaya akan janji Alláh. Menyerah kepada Alláh dengan Alláh dan karena Alláh. Bersikap sebagai telah mati.

  • al-riďā, kerelaan, tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Alláh. Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima ni’mat. Tidak meminta surga dari Alláh dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya qada dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya cobaan-cobaan.

  • al-maĥabbaħ, adalah cinta dan yang dimaksudkan adalah cinta kepada Alláh. Pengertian yang diberikan kepada maĥabbaħ ini antara lain:

    • Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.

    • Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

    • Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary, dalam kitab Al Hikam, mengatakan,

Apabila Allah telah membukakan salah satu jalan makrifat (mengenal Allah) bagimu, maka jangan hiraukan mengapa itu terjadi, walaupun amalmu masih sangat sedikit. Allah membukakan pintu itu bagimu hanyalah karena Dia ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti, bahwa makrifat itu merupakan anugrah-Nya kepadamu, Sedang engkau mempersembahkan amal-amalmu kepada-Nya.? Maka apalah arti apa yang engkau persembahkan kepada-Nya itu dengan apa yang dianugrahkan oleh Allah kepadamu.

Kata memperkenalkan itu adalah menekankan bahwa keadaan tersebut merupakan pemberian Allah atas anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) adalah untuk Allah swt. Yang perlu direnungkan secara mendalam adalah apa fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan dengan apa yang diberikan Allah atas anda?”

Untuk menjelaskan apa yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah tersebut adalah sebagai berikut:

  • Apabila kita tekun dan sabar mengerjakan amal ibadah, mengerjakan amal ibadah sebanyak mungkin, dengan tujuan agar sampai kepada Allah, dengan perasaan sepenuh hati dan perasaan berharap untuk dapat mengenal Allah s.w.t. maka lama-kelamaan, Insya Allah pintu hati kita akan dibukakan oleh Allah s.w.t. untuk mengenal (makrifat) kepadaNya.

    Makrifat kepada Allah ialah ketika kita dapat merasakan bahwa Allah “ADA” di mana saja kita berada. Allah melihat keadaan kita, dan pula perasaan kita, dan pula perasaan kita yang bercampur dengan aqidah yang mendalam bahwa tidak ada yang dapat berbuat dan berkuasa selain Allah s.w.t.

    Di mana saja kita berada, Allah akan selalu beserta kita. Segala perbuatan dan tindak-tanduk kita dilihat oleh Allah. Apa saja yang kita kerjakan adalah Allah yang menciptakannya.

  • Apabila aqidah dan perasaan kita telah mendalam sedemikian rupa, maka kadang-kadang amal kita mungkin akan berkurang dari amal-amal yang telah begitu banyak kita kerjakan sebelumnya. Tujuan dari melakukan amal ibadah adalah agar kita dapat mendekat kepada Allah. Jalan yang telah
    dianugerahkan Allah kepada kita adalah bukti yang nyata, bahwa kita sudah mulai dekat kepadaNya, dan kita akan menjadi hamba-hamba yang dikasihi olehNya.

    Sebagai contoh, apabila makrifat kita kepada Allah sudah begitu mendalam, maka kita mengetahui dengan rasa yakin bahwa kondisi sakit (yang membuat kita lebih sedikit dalam melakukan amal ibadah) itu lebih baik dari sehat, karena ketika kita dalam kondisi sakit, akan meningkatkan kedekatan kita kepada Allah dibandingkan dalam kondisi sehat di mana kita jauh daripadaNya.

    Oleh sebab itu, meskipun sedikit amal ibadah yang kita kerjakan, tetapi hati kita terus mendekat kepada Allah sehingga terbukalah makrifat kita kepada DzatNya dan sifat-sifatNya dalam melihat alam makhluk dunia ini

  • Ketahuilah, bahwa Allah membuka jalan makrifat, sehingga kita dapat mengenal Dia (Allah), adalah merupakan kehendakNya, semoga dengan kurniaNya kita dapat dekat kepada Allah. Terbuka segala sifatNya dan termakan pengertian asmaNya dalam hati dan perasaan tubuh jasmaniah kita.

    Terbukanya jalan ini adalah lebih besar nilainya dibandingkan amal ibadah yang banyak, tetapi sedikit sekali makrifat kita kepada Allah s.w.t. Bandingkan antara nikmat yang maha besar ini dengan amal ibadah yang kita kerjakan.

    Seluruh amal ibadah yang kita amalkan, kita persembahkan kepada Allah, dan dengan kurniaNya, Allah memberikan pula kepada kita nikmat makrifat di mana kita kenal kepada Allah dalam arti yang luas dan mendalam.

    Hamba Allah yang saleh mempunyai pendirian, bahwa pemberian si hamba kepada majikan adalah dianggap kecil, apabila dibandingkan dengan pemberian majikan kepada hambaNya, meskipun pemberian si hamba jauh lebih besar dan lebih banyak daripada pemberian majikan kepada hambaNya. Sebab pemberian si hamba pada hakikatnya tidak kembali kepada tuannya (majikannya) tetapi kembali kepada si hamba juga.

Quote Rumi

Kesimpulannya adalah kita selaku hamba Allah, biarlah amal ibadah kita sedikit, asal saja makrifat kita kepada Allah bersemayam di dalam diri kita. Ini adalah lebih bagus daripada amal ibadah yang banyak tetapi hati kita lalai kepada Allah, tidak sejalan antara ibadah yang kita kerjakan dengan hati kita sendiri.

Sebab itu maka Allah mencela dan memandang rendah orang-orang yang mengerjakan sembahyang tetapi hatinya tidak kepada Allah, sebagaimana firmanNya dalam Al-Quran sebagai berikut:

4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. orang-orang yang berbuat riya, 7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Maa’un: 4-7)

Apabila kita diberikan oleh Allah sebagian nikmat makrifat kepadaNya, maka hendaklah selalu kita hadapkan hati kita kepada Allah dalam arti yang luas. Sebab Dialah yang Maha Berkehendak, Maha Berkuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan lain-lain sebagainya dari sifat-sifat Allah yang Maha Agung dan tidak terhingga jumlahnya. Dengan demikian Allah akan mementingkan kita dalam segala hal yang kita hadapi.

Inilah yang menyebabkan hamba-hamba Allah yang saleh tidak putus-putus dari mulut mereka apabila mereka mengingat Allah, dengan kalimat :

“Wahai Tuhanku! Engkaulah yang aku tuju dan keridhaan Engkaulah yang aku cari.”

Mudah-mudahan Allah s.w.t. memberikan kepada kita nikmat makrifat
kepadaNya. Amin

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing