Bagaimana cara untuk mencapai ketahanan pangan?

Ketahanan Pangan

Pada kondisi pandemi Covid19 seperti sekarang ini, apa yang anda lakukan untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan?

2 Likes

Menurut saya, pertama bisa dengan melakukan pelestarian dan eksplorasi bahan pangan. Tujuannya adalah untuk menciptakan keanekaragaman komoditas bahan pangan untuk mencapai ketahanan, keamanan, hingga kedaulatan pangan.

Bisa juga dengan memuliakan petani, jika ingin ketahanan pangan dapat di pertahankan sekiranya para petani penjuang pangan juga di nomor satukan. Di tengah pandemi ini, berbagai stimulus bisa diberikan kepada para petani, seperti berupa tambahan upah harian, tambahan subsidi pupuk, pengiriman bibit unggul, atau tambahan bantuan sembako untuk mereka setiap hari.

Lahan kosong milik pemerintah pusat juga bisa dibuka agar dapat digarap oleh para petani supaya hasil produksi pertanian meningkat.

2 Likes

Menurut saya bisa dilakukan dengan cara food garden Apakah Food Garden Wujudkan Kemandirian Pangan Keluarga?

Sesuai dari hasil penelitian Suryana (2014) tentang “MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025: TANTANGAN DAN PENANGANANNYA”. Terdapat beberapa solusi untuk mencapai ketahanan pangan diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Membangun ketahanan pangan berbasis sumber daya dan kearifan lokal
  2. memanfaatkan teknologi unggul untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan secara efisien dan berdayasaing
  3. membangun kekokohan dan kelenturan respons masyarakat menghadapi ancaman krisis pangan, Indonesia
  4. Kebijakan pendukung yang diperlukan untuk mewujudkan berbagai upaya dengan investasi yang cukup besar di sektor pertanian pangan, mulai dari prasarana, penciptaan inovasi teknologi dan diseminasinya
  5. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pertanian pangan
  6. Menjalin kemitraan strategis antara pemerintah dan swasta guna meningkatkan kapasitas produksi pangan
  7. Memperlancar distribusi pangan antarwaktu, tempat, dan golongan pendapatan
Referensi

Suryana, A. (2014). MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025: TANTANGAN DAN PENANGANANNYA. FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. 32(2) halaman 123-135.

PENDEKATAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN

Ketahanan pangan umumnya didasari oleh pendekatan ketersediaan pangan. Atas dasar pendekatan tersebut Bank Dunia (1988) dalam Pakpahan dkk. (1993) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan dalam jumlah yang memadai bagi semua penduduk untuk dapat hidup secara aktif dan sehat. Pandangan tentang ketahanan pangan yang kedua adalah pendekatan kepemilikan (entitlement) (Sen, 1978 dalam Pakpahan dkk. 1993 dan dalam Simatupang, 1999). Pendekatan ini didasarkan pada pandangan adanya akses individu atau rumah tangga terhadap pangan, dimana semakin tinggi akses rumah tangga terhadap pangan semakin tinggi ketahanan pangan.

Ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan stabilitas harga pangan khususnya beras, atau pangan pokok utama suatu negara. Dalam kaitan ini Falcon and Timmer seperti diungkapkan dalam Simatupang (1999) menyebutkan bahwa ketahanan pangan sinonim dengan stabilitas harga, oleh karenanya pandangan tersebut menggunakan pendekatan stabilitas pangan untuk ketahanan pangan. Simatupang (1999) mengungkapkan bahwa pendekatan ketersediaan pangan untuk ketahanan pangan yang diaplikasikan pada kebijakan ketahanan pangan selama orde baru oleh pemerintah Indonesia memiliki kelemahan mendasar yang terkait dengan adanya tiga asumsi yang dipakai. Ketiga asumsi yang dimaksud adalah:

  1. Kelangkaan pangan secara cepat direfleksikan oleh meningkatnya harga pangan;
  2. Harga (pangan) yang terjangkau cukup dapat menjamin akses semua orang untuk memperoleh pangan yang memadai; dan
  3. Produksi pangan domestik yang cukup (swasembada) merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai stabilitas harga pangan dalam negeri (dan pada gilirannya mencapai ketahanan pangan).

Menurut Simatupang (1999),

  • kelemahan asumsi (1) adalah bahwa signal harga pangan bukan merupakan indikator yang sempurna dari ketersediaan pangan. Dalam hal ini dicontohkan adanya krisis pangan tahun 1998, bahwa kenaikan harga pangan lebih disebabkan oleh adanya kesalahan informasi karena kurangnya kredibilitas pemerintah tentang kondisi stock pangan yang sebenarnya, adanya penyelundupan dan spekulasi terhadap harga pangan sebagai konsekuensi langsung dari terdevaluasinya nilai rupiah yang sangat tinggi.
  • Kelemahan asumsi ke (2) adalah bahwa kemampuan atau akses konsumen untuk memperoleh pangan yang cukup tidak hanya ditentukan oleh harga pangan, tetapi juga oleh pendapatan. Selain itu akses terhadap pangan juga tidak hanya melalui pertukaran (pasar), termasuk di dalamnya adalah transfer nonpasar seperti pemberian, sumbangan, dan lain-lain.
  • Kelemahan dari asumsi (3) adalah bahwa swasembada merupakan cara yang paling efektif untuk menjamin stabilitas harga pangan dalam negeri tidak selalu benar, karena fluktuasi harga (pangan, beras) dalam negeri tidak hanya ditentukan oleh harga pasar dunia atau impor, tetapi juga oleh stabilitas produksi pangan Indonesia yang rentan terhadap iklim yang tidak normal maupun serangan hama/penyakit.

Kelemahan-kelemahan tersebut sebenarnya sebagai respon dari tumpang tindihnya tugas pokok antar Departemen/instansi pemerintah yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan masalah pangan. Selain itu juga tampaknya dalam pembuatan program ketahanan pangan, pemerintah bersifat “pragmatis”, sehingga jenis program yang diterapkan kurang sesuai dengan konsep ketahanan pangan (mencakup dimensi sasaran, waktu dan sosial-ekonomi). Program ketahanan pangan bias pada pendekatan kuantitatif (supply dan demand) dan bias pada pangan yang dihasilkan oleh pertanian sawah/ ladang (padi dan palawija). Belajar dari pengalaman di masa lalu, memperhatikan paradigma baru ketahanan pangan dan otonomi daerah, maka diperlukan pemilahan program ketahanan pangan yang lebih detail di masingmasing daerah dan tidak semua program harus ditangani oleh pemerintah pusat.

Dengan menunjukkan berbagai kelemahan strategi atau program ketahanan pangan di Indonesia selama ini seperti diuraikan di atas, Simatupang (1999) mengajukan suatu konsep paradigma baru untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Ketahanan pangan yang berkelanjutan menurut Simatupang (1999) perlu dibangun dengan memperhatikan tiga perspektif yaitu:

  1. Prinsip utama program ketahanan pangan harus didasarkan bahwa pangan merupakan hak azasi dan kebutuhan mendasar bagi manusia, oleh karena tujuan utamanya adalah melindungi, mempertahankan dan menjamin semua orang untuk memperoleh pangan secara memadai;
  2. Ketahanan pangan harus diperlakukan sebagai suatu sistem hierarki mulai dari tingkat global sampai ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu; Sistem ketahanan pangan perlu memperhatikan tiga elemen, yaitu: (a) Sistem monitoring dan kewaspadaan dini; (b) Sistem keamanan sosial, dan © Sistem jaring pengaman sosial; serta
  3. Komponen pendukung dari sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan adalah perlunya peranan strategis dari pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab, presure group dan adanya kebebasan pers.
    Sementara itu Tabor et al. (1998) mengungkapkan bahwa agar ketahanan pangan Indonesia bisa berlanjut diperlukan antara lain intervensi jangka menengah yaitu dengan memfokuskan pada penggeseran reformasi kebijaksanaan dan kelembagaan ketahanan pangan melalui:
  4. Konsentrasi ketahanan pangan dengan perhatian pada beras;
  5. Stabilisasi harga beras dengan menggunakan instrumen finansial dan perdagangan, dan
  6. Reformasi pemasaran pertanian.

Masalah yang berkaitan dengan pangan di masa mendatang memiliki multidimensi balk yang bersifat lintas bidang, lintas komoditas, lintas daerah dan lintas penduduk. Keterkaitan lintas sektoral dalam penanganan masalah pangan sangat kuat sehingga kandungan politiknya baik nasional maupun internasional cukup tinggi (Amang, B., dan M.H. Sawit, 1997). Berdasar kenyataan tersebut untuk mendukung ketahanan pangan nasional, maka strategi pemantapan ketahanan pangan di masa depan perlu mengantisipasi berbagai kondisi tersebut. Pendekatan pembangunan ketahanan pangan di masa depan perlu memprioritaskan ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu dengan pola manajemen desentralisasi sebagai konsekuensi dan diterapkannya kebijakan otonomi wilayah. Dalam hal ini peran serta pemerintah daerah dan masyarakat menjadi kunci utama strategi peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan rumah tangga dan wilayah. Sementara itu pemerintah (pusat dan daerah) lebih berperan sebagai fasilitator dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan ketahanan pangan. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan tersebut adalah melalui pemberdayaan kelembagaan lokal seperti lumbung desa dan peningkatan peran masyarakat dalam penyediaan pangan. Hal ini perlu dipertimbangkan sebagai salah satu upaya mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. (Noer, H. R.P.M,; 1995; Sapuan dan A. Soepanto, 1995; dan A. Azis, 1995).

Referensi

Amang, B. 1995. Sistim Pangan Nasional. Penerbit PT Dharma Karsa Utama, Jakarta.

Azis, A. 1995. Evolusi dan Prospek Pengembangan Lumbung Desa di Indonesia. Pangan 21(V):58-68.

M.H. Sawit. 1997. Perdagangan Global dan lmplikasinya pada Ketahanan Pangan Nasional. Agro-Ekonomika 2

Noer, H.R.P. Mohammad. 1995. Meningkatkan Peran Masyarakat dalam Penyediaan Pangan. Pangan 21(V):9-12. Bulog, Jakarta.

Pakpahan, A; H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafa’at. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

Sapuan dan A. Soepanto. 1995. Profil Lumbung Desa dan Strategi Pembinaan ke Arah. Pengembangan Sebagai Lembaga Cadangan Ketahanan Pangan Masyarakat. Pangan 21(V):50-57.

Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm in Simatupang, P. et a/. (eds) Indonesia’s Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses. 1999. Centre for International Economic Studies, University of Adelaide 5005 Australia.

Tabor, S.R.; H.S. Dillon dan M.H. Sawit. 1998. Fodd Security on the Road to Economic Recovery. Agro-Ekonomika 2 (XXVII1):1- 52.

Berbicara mengenai ketahanan pangan, FAO memberikan definisi bahwa ketahanan pangan adalah akses fisik, sosial, dan ekonomi bagi semua orang atas kecukupan, keamanan, dan pemenuhan gizi terhadap kebutuhan pangan untuk hidup yang sehat. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mencapai ketahanan pangan antara lain:

  • Jumlah dan kualitas makanan yang tersedia dapat mencukupi kebutuhan pangan masyarakat (production issue).
  • Setiap individu dan rumah tangga memperoleh akses yang sesuai dan baik terhadap makanan (poverty issue).
  • Makanan harus diterima dengan kondisi yang baik, aman, bersih, serta dengan sanitasi yang memadai (health issue).

Adapun hambatan yang banyak dihadapi oleh negara-negara di dunia terhadap pemenuhan syarat ketahanan pangan adalah masalah ketersediaan air untuk produksi pangan itu sendiri. Seperti kita ketahui, bahwa produksi pangan sangat berkaitan dengan pertanian. Dimana menurut Singh et al . (2013), terdapat 3 kualifikasi air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan antara lain:

  • Green water footprint, merupakan volume air hujan yang dapat dimanfaatkan untuk produksi pangan.
  • Blue water footprint, volume air tawar yang berasal dari sumber air permukaan atau air tanah yang dapat dimanfaatkan untuk produksi pangan.
  • Grey water footprint, volume air yang dibutuhkan untuk mengencerkan polutan yang dilepaskan dalam proses produksi. Sehingga kualitas air yang digunakan untuk produksi akan tetap sesuai dengan kualitas air yang telah disepakati.

Berdasarkan kualifikasi air tersebut, maka dibutuhkanlah kebijakan manajemen atau pegelolaan sumber daya air yang dapat mendorong tercapainya tujuan ketahanan pangan. sehingga untuk melaksanakan praktik tersebut, terdapat beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai panduan dan dikenal dengan “Dublin Principles of Water Resource Management provides”. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

  • Air tawar adalah sumber daya yang terbatas, namun sangat penting dalam menopang kehidupan, menjalankan program pembangunan, dan masalah lingkungan. Sehingga pengelolaan yang tepat sangat dibutuhkan dalam pemanfaatan air tawar yang seefisien dan seefektif mungkin.
  • Pengelolaan dan pengembangan air harus berdasarkan atas pendekatan partisipatif yang melibatkan pengguna, perencana, dan pembuat kebijakan.
  • Perempuan memainkan peran yang utama dalam pengelolaan, penyediaan, dan pengamanan air.
  • Air memiliki nilai ekonomi dalam penggunaannya dan harus diakui sebagai economic good.

Catatan penting dalam upaya mencapai ketahanan pangan adalah bahwa pengelolaan air yang baik, dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan memberikan dampak yang signifikan. Melalui pengelolaan sumber air yang tepat, petani dapat menjalankan usahatani mereka dengan teknik pengairan yang lebih baik dan dapat menghindari kerentanan terhadap curah hujan yang tidak menentu maupun kekeringan. Sehingga petani dapat meningkatkan produktivitas tanaman yang dibudidayakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan.

Selain pengelolaan air, berdasarkan Swaminathan (2010) perpaduan antara teknologi dengan rekayasa sosial atau social engineering juga harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam upaya mencapai ketahahan pangan. Dimanna langkah-langkah yang bisa dilakukan mengacu kepada keadaan negara India pada saat mengalami krisis pangan. Langkah-langkah tersebut antara lain:

  • Memberikan kekuatan (power) dan skala ekonomi kepada petani kecil dan marginal.
  • Meningkatkan feminisasi pertanian.
  • Meningkatkan kapasitas keluarga petani dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim.
  • Perlu adanya pengembangan teknologi dalam permuliaan tanaman guna menghasilkan tanaman-tanaman dengan kualitas yang lebih baik.
Referensi

Singh, S. P., Singh, B., & Kumar, U. (2013). Water Management Strategies for Achieving Food Security. APCBEE Procedia, 5, 423–428. https://doi.org/10.1016/j.apcbee.2013.05.073
Swaminathan, M. S. (2010). Achieving Food Security in Times of Crisis. New Biotechnology, 27 (5), 453–460. https://doi.org/10.1016/j.nbt.2010.08.002.