Bagaimana cara pengendalian dan pengobatan penyakit Scabies pada hewan ?

Penyakit Skabies

Penyakit Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang dapat menyerang hewan dan manusia. Bagaimana cara pengendalian penyakit Scabies ?

Scabies termasuk penyakit yang wajib dilaporkan ke Institusi Pemerintah yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Staatsblaad No. 432 dan 435 tahun 1912 yang masih berlaku hingga saat ini. Disarankan agar peternak tidak mememperjualbelikan hewan yang diketahui menderita scabies, karena hal tersebut dapat mempercepat perluasan penyakit.

Scabies atau kudis adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei dan bersifat zoonosis. Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Bonoma dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau sebagai penyebab scabies pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero dengan menyebutnya sebagai “ lice in the flesh ”. Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari empat puluh spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo mamalia yang dapat terserang scabies, termasuk manusia, ternak dan hewan kesayangan ( pet animal ) maupun hewan liar ( wild animal ). Angka kejadian skabies pada manusia diperkirakan mencapai tiga ratus juta orang per tahun.

Epidemiologi


Siklus Hidup

Infestasi diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua yang aktif membuat liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut, sarcoptes meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8. Kemudian tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak dalam 2-4 hari

Sifat Alami Agen

Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies mampu menerobos stratum corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan tadi dan setiap tungau menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan masa bertelur sampai 2 bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati setelah bertelur.

Pada suhu 35°C dengan kelembaban 100 %, telur menetas dalam waktu 2-3 hari, lalu memasuki stadium larva, kemudian larva berubah menjadi 2 bentuk nimpa, yaitu protonymph (dalam waktu 3-4 hari) dan tritonymph (dalam waktu 2-3 hari). Tritonymph menjadi dewasa dalam waktu 2-3 hari.

Seluruh siklus hidup, sejak telur sampai sampai menjadi dewasa memerlukan waktu antara 10-14 hari. Tungau pada anjing dan manusia dapat bertahan hidup selama 24-36 jam pada suhu ruang, 21ºC.

Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan lingkungan.

Di luar tubuh inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada kondisi kering tersebut, telurnya mempunyai daya tetas sampai dengan 6 hari, dan sekitar 6 minggu dalam kondisi lingkungan yang lembab.

Spesies Rentan

Tungau Sarcoptes dapat menyerang berbagai spesies hewan, yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, anjing, kucing, kera, unta, serigala, beruang, hyena, musang, wombat, dan coyote. Nampak bahwa S.scabiei memiliki cakupan inang (host range) yang sangat luas atau dengan kata lain ia tidak memiliki spesifi tas inang. Manusia, umumnya anak-anak, dapat tertular skabies yang berasal dari hewan.

Scabies dilaporkan lebih banyak terjadi pada kulit tanpa pigmen dibandingkan dengan yang berpigmen. Bulu yang lebat, panjang dan kotor merupakan tempat yang ideal bagi tungau S.scabiei. Mungkin bulu yang panjang ini ada kaitannya dengan kelembaban kulit. Diduga bahwa kulit yang lembab akan menyebabkan lapisan tanduk dari kulit menjadi lebih lunak sehingga memudahkan bagi tungau untuk menembusnya. Di samping itu, kelembaban yang tinggi dari kulit juga meningkatkan daya hidup S.scabiei.

Hewan muda umumnya lebih peka terhadap skabies dibandingkan dengan hewan dewasa. Faktor predisposisi pada inang yang ikut memperparah gejala klinis skabies, antara lain kekurangan vitamin A, kekurangan protein, infestasi parasit atau penyakit lainnya.

Secara eksperimental, dilaporkan bahwa domba yang diinfestasi dengan 40.000 - 80.000 larva cacing ostertagia memperparah gejala klinis skabies dibandingkan dengan domba tanpa infestasi parasit cacing.

Pengaruh Lingkungan

Umumnya prevalensi scabies meningkat saat musim hujan. Peternakan yang terlalu padat akan rnemberi peluang yang baik bagi peningkatan populasi tungau. Selain itu, lalu lintas hewan yang tidak terkontrol dan penggunaan pejantan yang menderita scabies subklinis dapat menjadi sumber penularan scabies.

Cara Penularan

Penularan scabies terutama terjadi secara kontak, baik antar hewan piaraan, maupun antara hewan piaraan dan hewan liar yang menderita scabies. Penyakit scabies pada suatu peternakan umumnya terjadi akibat masuknya hewan penderita sub-klinis (belum terlihat gejalanya) ke peternakan tersebut, atau hewan penderita dalam stadium awal penyakit.

Di samping itu, penularan dapat pula terjadi melalui alat peternakan yang tercemar tungau Sarcoptes, walaupun tungau ini hanya mampu bertahan hidup dalam waktu yang relatif singkat di luar tubuh inang.

Sifat Penyakit

Biasanya scabies bersifat endemis, dan bila terjadi wabah akan menyerang sebagian besar ternak dan dapat disertai adanya kematian. Pada hewan muda angka kematian penderita dapat mencapai 50 %, tergantung pada kondisi hewan dan lingkungannya.

Kejadian di Indonesia

Penyakit scabies bersifat endemis hampir di seluruh wilayah Indonesia dan menyerang berbagai jenis hewan. Pada tahun 1981, penyakit skabies dilaporkan menduduki peringkat kedua dari penyakit yang ditemukan menyerang ternak. Wabah scabies pernah dilaporkan terjadi pada kambing di Bali pada tahun 1983 dan di Lombok pada tahun 1995. Kejadian yang fatal pernah terjadi pada kambing paket bantuan pemerintah, yaitu dari 396 ekor ternayat 360 ekor (91%) diantaranya mati karena skabies. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kerugian materi berupa kematian, tetapi juga kerugian moril berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap bantuan pemerintah selanjutnya.

Pada keadaan kurang pakan, musim kemarau, dan lingkungan kandang yang kotor, maka prevalensi kejadian scabies dapat mencapai 4-11 . Kasus scabies di Indonesia mencapai 0,022 , dan kerugian ekonomi pada peternak kambing di Lombok mencapai Rp. 1.633.158.750,00 per tahun.

Gejala Klinis


Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit mengalami erithema, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhimya terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena adanya iritasi. Hewan penderita tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau kerak.

Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat sehingga menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan.

Perubahan ini akan mengakibatkan kerontokan bulu yang pada seluruh permukaan tubuh. Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi kekurusan dan akhirnya mati karena kurang gizi (malnufi si). Apabila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka sering terjadi infeksi sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk.

Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila diikuti oleh infeksi sekunder.

Perjalanan penyakit terbagi dalam 3 (tiga) fase. Fase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada pemukaan kulit terdapat banyak lubang kecil. Pada fase kedua, tungau telah berada di bawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutup oleh kerak/keropeng yang tebal dan kerontokan bulu. Fase kedua ini terjadi 4-7 minggu setelah infestasi. Adapun pada fase ketiga yang terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, kerak mulai mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang kecil, dan pada saat itu beberapa tungau meninggalkan bekas lubang tersebut.

Bentuk lesi skabies sama pada berbagai jenis hewan, namun lokasi lesi bervariasi. Pada kambing, lesi umumnya mulai dari daerah hidung lalu menyebar keseluruh tubuh. Pada babi, lesi umumnya pada daun telinga, cungur, bagian dorsal dan leher, bahu, bagian dalam dari paha, sepanjang punggung, pangkal ekor dan pada kaki. Pada sapi, lesi banyak dijumpai pada kulit di daerah leher, punggung dan pangkal ekor. Pada penderita skabies yang kronis lesi dijumpai pada kulit di daerah abdomen dan ambing.

Pada unta, lesi dijumpai pada kulit daerah pangkal ekor, leher, axilla, daerah sternum, abdomen, fl ank, daerah preputium atau daerah ambing pada hewan betina, daerah sekitar mata, sehingga dapat menutupi seluruh bagian kepala/muka.

Patologi


Tidak ada lesi yang khas kecuali adanya jejas pada kulit.

Diagnosa


Diagnosa dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kulit. Kerokan kulit diambil pada bagian sekitar lesi, dan kulit dikerok hingga sedikit berdarah. Hasil kerokan diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 10 %, kemudian ditutup dengan kaca penutup.

Setelah 15 menit, preparat kemudian diamati di bawah mikroskop.

Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap/dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol.

Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat tungau juga dapat dilihat menggunakan mineral oil atau flourescence tetracycline test.

Kedua metode diagnosis di atas memiliki kekurangan khususnya pada kasus yang baru terinfestasi S.scabiei. Tungau akan sulit untuk diisolasi dari kerokan kulit dan gejala klinis yang ditunjukkan mempunyai persamaan dengan penyakit kulit lainnya. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan tehnik diagnosis berdasarkan produksi antibodi.

Berdasarkan tehnik ELISA telah dikembangkan metode untuk mendeteksi antibodi S. scabiei pada babi dan anjing yang telah dikomersialisasikan di Eropa. Uji tersebut menggunakan antigen tungau yang diperoleh dari S.scabiei var suis dan S.scabiei var vulpes. Akan tetapi beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya reaksi silang antara varian S.scabiei yang telah dibuktikan untuk mendeteksi antibodi scabies anjing dan domba menggunakan var. vulpes. Sejauh ini belum ada laporan yang mengevaluasi var. suis dan var . vulpes untuk mendiagnosis scabies pada manusia. Pengembangan uji var. hominis relatif sulit dilakukan karena terbatasnya jumlah tungau yang diperoleh dan kendala mengembangkan tungau secara in vitro.

Diagnosa Banding


Dermatitis yang disebabkan oleh jamur, dan kadang sulit dibedakan dengan demodecosis tipe skuamosa (pada anjing).

Pengambilan dan Pengiriman Spesimen


Sampel kerokan kulit diambil dari hewan penderita. Apabila dapat segera diperiksa di laboratorium, maka dianjurkan untuk mengambil kerokan kulit tanpa bahan pengawet. Tetapi, apabila sampel tidak dapat segera dikirim/ diperiksa di laboratorium, sebaiknya dikirim dengan bahan pengawet alkohol 70% atau formalin 5 % .

Pencegahan


Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat ternak yang masuk ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas) agar disesuaikan dengan luas lahan/kandang yang tersedia, sehingga tidak terlalu padat.

Pengendalian dan Pemberantasan


Tindakan pengendalian yang terpenting adalah manajemen pengobatan dan penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas hewan penderita, baik klinis maupun subklinis. Di samping itu, perhatian juga harus ditujukan terhadap induk dan pejantannya.

Pejantan yang menderita scabies dapat menulari induk, dan selanjutnya induk dapat menulari anaknya.

Tindakan pemberantasan scabies pada peternakan yang bersifat intensif (pada satu pemilik peternakan) akan mudah dilakukan, yang ditunjukkan oleh banyaknya laporan keberhasilan yang sangat memuaskan.

Sebaliknya, tindakan pemberantasan pada suatu daerah dengan pola peternakan tradisional, hasilnya seringkali kurang memuaskan, karena infeksi ulang dapat kembali terjadi, sehubungan dengan kurangnya pengawasan terhadap lalu lintas ternak.

Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging

Hewan penderita scabies dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi, setelah bagian kulit yang rusak dibuang atau dimusnahkan dengan pembakaran.

Pengobatan


Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit (perendaman/dipping, disikat/brushing, penyemprotan/spraying), oral dan paranteral. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali dengan interval 1-2 minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau.

Obat yang digunakan secara langsung pada kulit antara lain larutan coumaphos 0,1%, benzena hexa chloride (1% larutan yang berisi serbuk BHC dengan kadar 0,625%), emulasi benzyl benzoate 25%, kombinasi benzyl berzoate dan BHC, phosmet 20%, odylen 20% (dimenthyl-diphenylene disulphide), lindane 20%, amitraz 0,1%, malathion, phoxim.

Mengingat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka pengobatan agak sulit dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang sudah lanjut, keropeng yang tebal dapat menghambat penetrasi akarisida.

Hasil yang baik baru diperoleh bila keropeng tersebut dibersihkan terlebih dahulu, namun hal ini kurang praktis di lapangan.

Obat yang bersifat sistemik dan cukup ampuh adalah ivermectin, diberikan secara subkutan dengan dosis 200 mg/kg bb. Secara oral, ivermectin tablet diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg bb setiap hari selama 7 hari.

Referensi: