Bagaimana cara penentuan harga pada pasar monopoli?

pasar monopoli

Bentuk pasar monopoli adalah bentuk pasar dimana hanya satu penjual dari suatu barang tertentu untuk mana tidak ada barang pengganti yang baik. Produk yang dijual oleh monopolis harus jelas berbeda dari produk lain yang dijual dalam pasar oleh lainnya. Bagaimana cara penentuan harga pada pasar monopoli?

Dalam menentukan harga output tidak ada perbedaan antara bentuk pasar persaingan sempurna dengan monopoli, yaitu keduanya ingin memaksimum harga. Dengan semakin tingginya harga maka keuntunganpun akan semakin tinggi.

Namun perlu diketahui bahwa dalam pasar persaingan sempurna harga tidak ditentukan sendiri oleh firm tetapi oleh pasar/industri, sedangkan dalam bentuk monopoli, harga jual ditentukan oleh penjual/firm.

Terkait dengan pembelian input-nya, baik itu di dalam pasar monopoli maupun dalam pasar persaingan sempurna adalah sama, sehingga masalah biaya antara keduanya memiliki analisa yang sama.

Referensi

Dominick Salvatore, Ph.D, Micro Ekonomic Theory. Schaum’s outline Series, Theory and Problems Mc. Graw Hill Book Company 1974.

Pasar monopoli merupakan struktur pasar yang paling bersifat anti persaingan. Padahal persaingan merupakan dimensi yang sangat penting dalam suatu pasar. Persoalan selanjutnya adalah perlu kiranya kita mengkaji adalah siapa saja pihak yang dapat melakukan monopoli dan faktor-faktor apa saja dilarang menjadi penyebab adanya monopoli tersebut.

Dilihat dari pelakunya, monopoli dapat dilakukan baik oleh negara maupun oleh swasta. Monopoli yang dilakukan oleh negara umumnya adalah monopoli yang legal (legal monopoly) karena merupakan monopoli yang dilandasi oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang mengasai hidup orang banyak. Dalam konteks ini terdapat pengertian bahwa monopoli tidak selalu salah atau tidak selamanya buruk bahkan dalam hal-hal tertentu negara perlu melakukan monopoli sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Dalam pelaksanaannya pemerintah membentuk BUMN-BUMN sebagai pelaksana dan agen pembangunan yang diberikan hak monopoli dalam bidang-bidang tertentu yang didasarkan atas undang-undang.

Selain itu, monopoli dapat dilakukan juga oleh pihak swasta. Adanya monopoli oleh pihak swasta tersebut dapat dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu :

  • monopoli tersebut diberikan oleh undang-undang seperti pemberian hak monopoli pada pemegang hak kekayaan intelektual seperti hak pencipta (copyright), hak paten (patent), merek (trademark) antara lainnya;

  • monopoli karena adanya pemberian dari pemerintah kepada pelaku usaha swasta tertentu. Hal ini dapat dilakukan apabila didasarkan atas peraturan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah; dan

  • monopoli yang disebabkan oleh kinerja swasta itu sendiri, dilakukan tanpa melakukan pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha (natural monopoly) atau pun dilakukan melanggar hukum persaingan usaha sebagai akibat adanya keserakahan pelaku usaha.

Apabila diilihat dari faktor penyebabnya, monopoli dapat terjadi karena disebabkan oleh dua hal, yaitu :

  • monopoli yang alamiah; dan
  • monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Monopoli yang alamiah adalah monopoli yang terjadi karena pelaku usaha tersebut mempunyai kemampuan teknis tertentu, seperti :

  • mempunyai kemampuan atau pengetahuan khusus (special knowledge) yang memungkinkan pelaku usaha tersebut dilakukan produksi secara efisien;
  • skala ekonomi, semakin besar skala produksi maka biaya marjinal menurun sehingga produksi per unit semakin rendah; pelaku usaha tersebut memiliki kontrol terhadap faktor produksi baik berupa sumber daya alam, sumber manusia atau pun sumber daya lokasi produksi.

Sementara itu, monopoli yang diperoleh berdasarkan peraturan perundang- undangan adalah :

  • monopoli yang didasarkan atas hak kekayaan intelektual: yaitu dimana memberikan hak monopoli kepada pelaku usaha untuk memproduksi atau memasarkan hasil dari suatu inovasinya tersebut;
  • Hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha tertentu yang tidak didapatkan oleh pelaku usaha lain.

Pada dasarnya terdapat dampak negatif maupun dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh adanya monopoli. Menurut P. Rahardja dan M. Manurung, dampak negatif atau sosial (social cost of monopoly ) adalah sebagai pengikut.

  1. monopoli dapat mengakibatkan hilangnya berkurangnya kesejahteraan konsumen (dead weight loss) karena adanya perpindahan kesejahteraan ( welfare transfer ). Ini terjadi karena dampak monopoli menimbulkan adanya biaya atau harga yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat adanya mekanisme pasar yang tidak berjalan secara optimal.

  2. dampak monopoli mengakibatkan memburuknya kondisi makro ekonomi nasional. Apabila disetiap industri muncul gejala monopoli, maka secara makro jumlah output lebih sedikit dari pada kemampuan sebenarnya (riel out put). Keseimbangan makro terjadi dibawah keseimbangan ekonomi ( under full-employment equilibrium) karena tidak seluruh faktor produksi terpakai sesuai dengan kapasitas produksi. Selanjutnya, keadaan ini akan melemahkan daya, menyusutkan pasar, dan memaksa pelaku usaha produksi lebih sedikit lagi. Begitu seterusnya sehingga perekonomian secara makro dapat mengalami keadaan stagnansi dan inflasi, yaitu suatu kondisi pertumbuhan tersendat, pengangguran tinggi dan tingkat inflasi tinggi.

  3. monopoli berpotensi menghambat inovasi teknologi proses produksi. Dalam keadaan tidak ada pesaing, produsen cenderung tidak memiliki motivasi yang cukup besar mencari dan mengembangkan teknologi dan proses produksi baru. Akibatnya inovasi teknologi dan proses akan mengalami stagnasi. Selain itu, monopoli juga membuat posisi konsumen rentan di hadapan produsen. Ketika produsen menempati posisi sebagai pihak yang lebih membutuhkan dari pada konsumen, terbuka peluang besar bagi produsen untuk merugikan konsumen melalui penyalahgunaan posisi monopolistiknya.

Berangkat dari adanya dampak negatif monopoli itulah terdapat urgensi adanya hukum anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Namun demikian, dalam hal tertentu pada dasarnya monopoli dapat juga menimbulkan dampak positif. Dengan kata lain, monopoli bukan merupakan sesuatu hal yang selalu merugikan. Setidaknya ada beberapa manfaat atau aspek positif yang perlu dipertimbangkan dari adanya monopoli, yaitu :

  1. monopoli juga dapat mengakibatkan adanya efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak dalam pasar persaingan sempurna perusahaan monopolis mempunyai kelebihan, yaitu mampu mengakumulasi laba super normal dalam jangka panjang. Kemampuan ini dibutuhkan dalam rangka mendapatkan teknologi baru atau menyempurnakan teknologi yang sudah ada guna meningkatkan efisiensi. Oleh karena itu, jika monopoli dikelola dengan baik maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

  2. monopoli dapat menimbulkan adanya efisiensi dalam pengadaan barang publik. Hal ini dapat terjadi dengan asumsi bahwa semua barang dapat disediakan secara efisien lewat pasar. Barang publik pun juga dapat menyebabkan adanya efisiensi apabila dilakukan dalam skala besar. Contohnya seperti dalam pengadaan jalan raya, pelabuhan laut atau transportasi.

  3. monopoli dapat menyebabkan adanya kesejahteraan masyarakat. Perusahaan monopolis jika dibiarkan memang dapat merugikan karena memproduksi barang sedikit dan menjual lebih mahal. Namun, dalam alasan tentang diskriminasi harga terhadap pihak lain, disebutkan bahwa monopoli juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan diskriminasi memungkinkan masyarakat kelas bawah yang menganggap rekreasi merupakan barang mewah pada saat-saat tertentu dapat merasakannya dengan harga yang lebih murah adalah adanya diskriminasi atau perbedaan harga. Dengan lain, kebijakan harga dua tingkat memungkinkan dilakukannya peningkatan out put melalui subsidi silang.

Berdasarkan penjelasan di atas memang terdapat aspek positif dan aspek negatif dari adanya monopoli. Namun kecenderungan adanya aspek negatif lebih besar terjadi karena adanya monopoli dapat menghilangkan dimensi yang sangat penting dalam pasar, yaitu dimensi persaingan yang memberikan banyak dampak positif baik terhadap pelaku usaha maupun konsumen. Secara lebih lengkap aspek atau dampak positif yang diperoleh dari sistem ekonomi persaingan antara lain:

Sistem ekonomi persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan kekuatan ekonomi tidak terpusat pada satu tangan tertentu;

Sistem persaingan akan mendorong alokasi dan relokasi sumber-sumber daya ekonomi sesuai keinginan konsumen. Karena ditentukan oleh permintaan (demand), perilaku penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung mengikuti pergerakan permintaan para pembeli barang/jasa; dan

Persaingan dapat menjadi kekuatan pendorong penggunaan sumber daya ekonomi dan metode pemanfaatannya secara lebih efisien, sebab jika tidak efisien pelaku usaha akan mempunyai resiko munculnya biaya berlebih ( excessive cost ) yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perusahaan tersebut tidak mampu bersaing sehingga mengalami kematian. Sistem ekonomi persaingan juga akan mendorong adanya peningkatan mutu produk, pelayanan, proses produksi dan teknologi.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan betapa penting kiranya keberadaan UU No. 5/1999 untuk menjaga dan menciptakan adanya persaingan usaha yang sehat.

Penetapan Harga di Indonesia

Penetapan harga (price fixing) merupakan salah satu bentuk “Perjanjian yang dilarang” dalam UU No. 5/1999. Beberapa negara bahkan menganggap tindakan tersebut merupakan pelanggaran yang serius terhadap Prinsip Persaingan Usaha yang sehat.36 Penetapan harga di Amerika Serikat lebih bersifat pidana. Ancaman Pidana ini ditangani oleh Antitrust Division of the Department of Justice (DoJ-AD). Sedangkan penanganan masalah perdatanya ditangani oleh Federal Trade Commision (FTC).37 Sebelum membahas lebih jauh mengenai penetapan harga, perlu kiranya terlebih dahulu dibahas “perjanjian” dalam hukum persaingan usaha, termasuk penetapan harga ini.

Dalam UU No. 5/1999 dinyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Apabila pengertian perjanjian tersebut diperhatikan, terdapat beberapa hal sebagai berikut :

  1. Perjanjian tersebut tanpa menyebut tujuan;

  2. Perjanjian terjadi karena ada suatu perbuatan;

  3. Ada pihak-pihak dalam perjanjian yaitu pelaku usaha;

  4. Perjanjian dapat tertulis atau pun tidak tertulis.

Dengan adanya unsur-unsur tersebut pengertian perjanjian dalam hukum persaingan usaha tidak dapat dikatakan jelas tanpa dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang diatur dalam ketentuan lainnya. Selain itu, pengertian perjanjian tersebut jangkauannya sangat luas karena bukan hanya perjanjian tertulis melainkan juga perjanjian tidak tertulis.

Mengingat luasnya definisi perjanjian, maka dalam penetapan harga, para pelaku usaha sudah dapat dikatakan melakukan perjanjian penetapan harga hanya dengan memberikan tanda kepada pelaku usaha lain yang biasanya akan diikuti oleh perilaku usaha lainnya.

Cara lain dalam menentukan harga adalah dengan membuat pengumuman atau pun artikel di media massa yang mengindikasikan perlu kenaikan harga sehingga perilaku usaha lainnya mengetahui harus ikut menaikan harga. Perjanjian antar pelaku usaha saling berupa saling menginformasikan atau bertukar daftar harga juga merupakan bentuk tindakan yang tercakup perjanjian penetapan harga. Hal–hal tersebut merupakan bentuk dari kolusi yang disamarkan (tacit collation). Dengan demikian perjanjian, penentuan harga dapat berupa perjanjian secara terbuka atau terang-terangan atau dapat pula dilakukan secara tertutup atau disamarkan.

Penetapan harga dilarang karena akan mengakibatkan dampak negatif terhadap persaingan harga (price competition). Adanya penetapan harga mengakibatkan kebebasan menentukan harga secara mengindependen menjadi kurang. Selain merugikan persaingan, tindakan penetapan harga juga merugikan konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi dan jumlah barang yang tersedia lebih sedikit. Para ekonomi dan praktisi hukum persaingan usaha menyatakan bahwa perjanjian penetapan harga memiliki akibat yang fatal terhadap konsumen dan menghambat persaingan dengan menaikan harga di atas harga kompetitif dan sering disebut sebagai “naked agreement to eliminate competition”. Oleh karena itu dalam hukum persaingan usaha penetapan harga dilarang.

Pada hakikatnya terdapat dua jenis hambatan dalam perdagangan, yaitu hambatan yang bersifat horizontal dan hambatan yang bersifat vertikal. Hambatan horizontal diartikan secara luas sebagai suatu hambatan yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain dalam tingkatan yang sama atau pesaingnya. Sedangkan hambatan yang bersifat vertikal yaitu suatu hambatan perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dari tingkatan yang berbeda dalam rangkaian produksi dan distribusi.

Hal yang sama juga terdapat pada penetapan harga yang dibagi ke dalam dua jenis, yaitu perjanjian penetapan harga horizontal (horizontal price fixing agreement) dan perjanjian penetapan harga vertikal (vertical price fixing agreement). Jenis perjanjian penetapan harga horizontal terdapat pada Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 5/1999. Indikasinya dalam ketentuan tersebut terdapat frase “pelaku usaha pesaingnya" yang menunjukan bahwa perjanjian tersebut dibuat antara dua atau lebih pelaku usaha yang berada dalam tingkatan perdagangan yang sama. Sedangkan perjanjian penetapan harga vertikal terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 8 UU No. 5/1999. Indikasinya dalam ketentuan tersebut terdapat penetapan harga yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki tingkat atau posisi yang berbeda.

Namun, khusus mengenai Pasal 6 UU No. 5/1999, A.M. Tri Angraini menyatakan bahwa, selain dapat disebut atau digolongkan ke dalam jenis perjanjian penetapan harga vertikal, ketentuan tersebut sebenarnya dapat pula dikategorikan ke dalam jenis perjanjian penetapan harga horizontal mengingat dalam ketentuan tersebut tidak secara tegas dan spesifik menentukan apakah “para pembeli” barang dan atau jasa yang sama itu menjual kembali (barang dan atau jasa) yang diterima oleh penjual. Oleh karena itu, ketentuan tersebut dapat dikategorikan menjadi penetapan harga horizontal/vertikal.

Salah satu bentuk perjanjian penetapan harga yang dilarang adalah sebagaimana terdapat pada Pasal 5 UU No. 5/1999 yang menyatakan:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan sama.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

  • suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

  • suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Penetapan harga yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) ini merupakan penetapan harga yang bersifat horizontal (horizontal price fixing). Penetapan harga horizontal adalah penetapan harga yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pesaingnya untuk menetapkan harga yang harus dibayar oleh konsumen atas suatu barang atau jasa pada pasar bersangkutan yang sama. Penetapan harga tersebut terjadi dalam hal dua pihak atau lebih membuat perjanjian untuk secara bersama-sama menentukan harga jual barang atau jasa. Jika dilihat dari sifat larangannya, pendekatan yang diterapkan dalam penetapan harga adalah per se rule .

Dengan demikian hal ini mengandung arti bahwa perjanjian disebut dilarang secara mutlak tanpa memerlukan pembuktian perbuatan tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap konsumen dan persaingan usaha. Selain itu, dalam hal ini, tinggi atau rendahnya harga juga merupakan hal yang tidak relevan. Dengan demikian, walaupun efek negatif dari perjanjian penetapan harga terhadap persaingan usaha itu kecil, namun hal ini tetap dilarang. Hal ini sekaligus mengandung pengertian bahwa market power para pihak juga tidak begitu relevan untuk dipersoalkan walaupun kemungkinan terjadinya kenaikan harga lebih besar apabila market share pelaku usaha tersebut besar.

Namun demikian, sesuai Pasal 5 ayat (2) UU No. 5/1999 terdapat pengecualian terhadap larangan perjanjian penetapan harga ini. Pengecualian tersebut terhadap penetapan harga yang didasarkan atas suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (Joint Venture) dan penetapan harga yang didasarkan atas undang-undang yang berlaku.