Bagaimana cara pencegahan HIV/AIDS?

Kenakalan remaja akhir-akhir ini marak terjadi. Salah satu akibat dari kenakalan remaja ialah penyakit HIV/AIDS. Lalu bagaimana cara pencegahan HIV/AIDS?

Dalam upaya menurunkan risiko terinfeksi HIV, berbagai organisasi kesehatan dunia termasuk Indonesia menganjurkan pencegahan melalui pendekatan ABCD, yaitu:

  1. A atau Abstinence, yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan kegiatan seksual sebelum menikah.
  2. B atau Be faithful, yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah.
  3. C atau Condom, yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku seks berisiko.
  4. D atau Drugs, yaitu tidak menggunakan napza terutama napza suntik agar tidak menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.

Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE (Komunikaasi, Informasi, dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja.

Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut Level & Clark, yaitu:

  • Promosi kesehatan ( health promotion )
  • Perlindungan khusus ( spesific protection )
  • Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment)
  • Pembatasan cacat (disabaliyi limitation)
  • Rehabilitasi (rehabilitation)

Dalam proses pencegahan terhadap semakin meluasnya epidemi HIV/AIDS, semua elemen dari masyarakat bertanggung jawab terhadap proses pencegahan. Yang bertanggung jawab terhadap pencegahan persebaran HIV/AIDS adalah :

  1. Individu
    Seseorang harus mengadopsi gaya hidup dan perilaku yang sehat dan mengurangi risiko penularan HIV. Orang terinfeksi HIV harus menjadi orang yang bertanggungjawab untuk menjamin bahwa mereka untuk seterusnya tidak akan menyebarkan virus ke orang lain.

  2. Keluarga
    Keluarga harus mengadopsi nilai-nilai peningkatan kesehatan. Keluarga harus memberikan pemahaman dan rasa simpati serta perlindungan untuk menolong anggota keluarga yang divonis orang terinfeksi HIV dalam menghadapi situasi yang tidak normal dan memaksimalkan potensi kesehatan untuk mempertahankan diri dari infeksi yang lain.

  3. Masyarakat
    Masyarakat harus menghindari sikap diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV dan meningkatkan suasana lingkungan yang mendukung dengan norma sosial yang bersifat melindungi. Masyarakat juga harus berusaha keras meminimalkan kemiskinan yang cenderung memperburuk situasi.

  4. Petugas kesehatan
    Petugas kesehatan memiliki tanggung jawab ganda terhadap penyediaan perawatan dan konseling terhadap orang terinfeksi HIV. Mereka harus menyediakan tindakan pencegahan yang sesuai untuk mencegah penyebaran infeksi ke klien yang lain dan diri mereka sendiri.

  5. Media
    Media masa memiliki peran yang dengan mudah dapat dijangkau oleh banyak pembaca dan murah dalam menyampaikan informasi tentang HIV/AIDS. Bersama dengan media dalam bentuk lain, media masa bisa efektif menimbulkan kepedulian masyarakat tentang HIV/AIDS. Bagaimanapun, media masa harus bertanggungjawab dalam melaporkan informasi tentang HIV/AIDS, menghindari ketidakakuratan yang mana mungkin menghasilkan perbedaan persepsi dan membutuhkan klarifikasi.

  6. Ahli Kesehatan dan LSM
    Para ahli kesehatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat membantu menyebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS dengan melakukan proses pembelajaran di masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat umum, LSM dapat menjadi penghubung antara ahli kesehatan dan masyarakat (WHO, 1992).

Pencegahan HIV diantara penjaja seks dan pelanggan PS:

Banyak proyek yang menemukan bahwa aktivitas pencegahan HIV diantara penjaja seks, pelanggan PS, dan pasangannya adalah paling efektif ketika paket intervensi mencakup paling sedikit tiga elemen:

  1. Pesan informasi dan perubahan perilaku.
  2. Promosi kondom dan membangun keterampilan.
  3. Pelayanan IMS.

Pencegahan HIV pada remaja:

  1. Merubah perilaku dan sikap adalah lebih mudah jika dimulai sebelum pola dibentuk.
  2. Sumber kekuatan pencegahan berada didalam dirinya sendiri.
  3. Sering dan mudah dijumpai dalam jumlah besar.

Pencegahan HIV dan Pengguna napza suntik:

  1. Program penjangkauan masyarakat berbasis komunitas sebaya.
  2. Meningkatkan akses untuk alat suntik yang steril dan kondom.
  3. Meningkatkan akses untuk perawatan ketergantungan obat, khususnya metadon (Tim, Brown. et. all. 2001).
3 Likes

Pencegahan Primer


Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam hal merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Kemenkes RI, 2012) :

  1. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABC” yaitu Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan penyakit menular seksual HIV melalui hubungan seksual. Jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom). Pencegahan ini menggunakan konsep ABCDE yakni :

    • A (Abstinence) yakni tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah.

    • B ( Be faithful) yakni bersikap setia kepada satu pasangan seksual.

    • C (Condom) yakni menggunakan kondom pada saat hubungan seksual.

    • D (Drug no) yakni tidak menggunakan narkoba.

    • E (Equipment) yakni menggunakan peralatan yang bersih, steril, sekali pakai, dan tidak bergantian.

  2. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak menggunakannya secara bersama-sama.

  3. Sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar.

  4. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu.

  5. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV dan AIDS. Apabila sudah terinfeksi HIV dan AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan. Bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.

Pencegahan Sekunder


Infeksi HIV menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif, sehingga pengobatan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut (Kemenkes RI, 2012) :

  1. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin.

  2. Pengobatan infeksi oportunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV dan AIDS. Penanganan terhadap infeksi oportunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus menerus.

  3. Pengobatan antiretroviral (ARV) yang bekerja langsung menghambat kinerja enzim protease yang terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini. Tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV dan AIDS ataupun membunuh HIV.

Pencegahan Tersier


Orang yang didiagnosa HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Untuk mencegah semakin meningkatnya angka kejadian Penyakit Menular Seksual HIV dan AIDS, maka perlu dilakukan beberapa pencegahan, yaitu (Kemenkes RI, 2012) :

  1. Memutuskan rantai penularan infeksi PMS.
  2. Mencegah berkembangnya PMS serta komplikasinya.
  3. Tidak melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan.
  4. Menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

Ada beberapa program yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan telah diterapkan di beberapa negara untuk dilaksanakan secara bersama-sama, yaitu (Mawar, 2009):

  1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda.
  2. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran (peer group education).
  3. Program kerja sama dengan media cetak dan elektronik.
  4. Paket pencegahan komprehensif untuk pecandu narkotika.
  5. Program pendidikan agama.
  6. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat.
  7. Pelatihan ketrampilan hidup.
  8. Program pengadaan tempat-tempat untuk test HIV dan konseling.
  9. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak.
  10. Program pencegahan dengan pengobatan, perawatan dan dukungan untuk ODHA.
  11. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat AZT.
1 Like