Bagaimana cara Penanganan Trauma Korban Pelecehan Seksual?

Bagaimana menghadapi korban kekerasan seksual?

Penanganan Kekerasan Seksual Terhadap Anak


Upaya perlindungan terhadap anak harus diberikan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif, tidak memihak kepada suatu golongan atau kelompok anak. Upaya yang diberikan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dengan mengingat haknya untuk hidup dan berkembang, serta tetap menghargai pendapatnya.

Upaya perlindungan terhadap anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age yang dikutip oleh Gosita (1996), yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa :

“Melindungi anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”

.
Ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi
kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar yaitu negara.

Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak di komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya.

Dengan demikian, didalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya sinergi antara keluarga, masyarakat dan negara. Selain itu, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi individu, aspek hukum (dalam hal ini masih banyak mengandung kelemahan), maupun dukungan sosial. Apabila kekerasan seksual terhadap anak tidak ditangani secara serius dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terlibat.

Gallo-Lopez (2000 dalam Wickham dan West, 2002) mnegajukan empat area untuk terapi pada korban kekerasan seksual, yang mencakup :

  1. Memperlakukan individu dengan hak-haknya, dengan memberikan ruang untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri mereka sendiri.
  2. Menekankan pada traumatic sexualization, stigmatization, betrayal, dan powerlessnerss yang diharapkan bisa memperbaiki gambaran diri, fungsi kognitif, dan ekspresi perasaan.
  3. Membantu individu untuk memahami fungsi diri sesuai dengan usianya, rasa percaya diri, dan harga diri.
  4. Memberikan edukasi kepada lingkungan di sekitar individu agar dapat berespon secara efektif terhadap kebutuhan individu.

Herman (1992) dalam bukunya Trauma and Recovery mengemukakan bahwa terdapat tiga tahap dalam proses pemulihan trauma pada penyintas kekerasan seksual, yakni :

  1. Establishing Safety
    Tahap ini melibatkan langkah-langkah yang tujuannya adalah membuat individu merasa nyaman dan aman menjalani kehidupan selanjutnya. Contoh sasaran dalam tahap ini adalah mengajarkan individu untuk memilih lingkungan yang terjamin keamanannya, mendorong individu untuk memperoleh kembali sense of self-nya, dan bahwa dirinya memiliki kontrol terhadap hidupnya sendiri, serta manajemen stres.

  2. Remembrance and Mourning
    Pada tahap ini, individu diperkenankan mengeluarkan semua cerita dan perasaannya mengenai kekerasdan sesksual yang dialami, memaknainya, serta bersedih sebebasnya (grieves the experiences). Setelah mengenali dan memahami apa yang terjadi pada dirinya dan melepaskan bebannya, individu diarahkan untuk bisda mengelola perasaan-perasaan negatif yang menjadi dampak kekerasan seksual.

  3. Reconnection
    Tahap ini bertujuan untuk memberikan makna baru dalam diri partisdipan setelah mengembangkan beliefs yang salah akibat kekerasan seksual. Individu juga membangung hubungan-hubungan bau serta menciptakan diri dan masa depan yang baru. Herman percaya bahwa pemnulihan trauma pada penyintas sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan orang lain yang suportif, sehingga diperlukan peran significant others dalam proses recovery.