Bagaimana cara menyikapi adanya musibah ?

Musibah

Musibah adalah segala sesuatu yang menyakitkan orang mukmin, atau segala keburukan yang menimpa dirinya, harta atau anaknya.

Bagaimana cara menyikapi adanya musibah ?

Setiap manusia yang hidup di dunia akan mengalami hal yang sama, baik beriman maupun kafir terhadap Allah swt, yakni akan mengalami berbagai macam musibah. Perbedaannya adalah bagaimana mereka dapat memahami hakikat musibah itu sendiri kemudian bagaimana menyikapinya. Sebagai orang yang beriman kepada Allah swt dan ketentuan-ketentuan-Nya, mereka tahu bahwa musibah apapun yang menimpanya adalah bagian dari Qada’ dan Qadar-Nya.

Al-Qur’an memberikan tuntunan kepada manusia dalam menyikapi dan menghadapi musibah, yaitu:

1. Istirja’

Istirja’ berasal dari kata raja’a yang berarti “kembali”. Istirja’ adalah mengembalikan segala sesuatu termasuk musibah dan bencana yang menimpa kepada Allah swt, bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini adalah atas kehendak Allah swt.

Artinya : “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang- orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 155-157)

Ayat ini menjelaskan bahwa orang sabar itu adalah mereka yang ketika ditimpa musibah . mereka mengembalikannya kepada Allah swt. Hal itu tergambar dari ungkapan mereka, “Sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya”. Artinya, ketika ditimpa musibah dari Allah, al-Qur’an mengajarkan agar kita memiliki kesadaran bahwa semua yang terjadi itu adalah atas kehendak Allah swt.

Allah swt mengecam orang-orang yang tidak melibatkan Allah swt dalam setiap peristiwa. Kerelaan akan ketentuan yang sudah digariskan-Nya sehingga
membuat seseorang mampu menerimanya dengan ikhlas.

Artinya: “Dari Ummu Salamah bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidak ada seorang Muslim yang ditimpa musibah, kemudian ia mengucapkan sebagaimana diperintahkan Allah swt “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku dan gantikanlah buatku sesuatu yang lebih baik darinya”, melainkan Allah akan memberi ganti yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim)

Imam Baihaqi, di dalam “Syu’abul Iman” meriwayatkan sebuah hadis dari Abdullah ibnu Abbas dari Nabi saw. Hadis tersebut menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang mengucapkan istirja‟ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji‟un) ketika tertimpa musibah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, dan Allah akan membalasnya dengan kebaikan, serta akan dianugerahi penerusnya (ananknya) yang saleh dan berbakti kepadanya.”

Di dalam firman Allah swt yang berbunyi Innalillahi, menunjukkan pengakuan hamba terhadap Allah swt sebagai tuhan yang disembah dan diagungkan. Dan di dalam firman yang berbunyi wa inna ilaihi raji‟un, merupakan pengakuan hamba terhadap Allah swt, bahwa ia akan mati dan dibangkitkan kembali dari kubur. Juga merupakan ungkapan keyakinan seorang hamba, bahwa semua perkara itu kembalinya hanya kepada Allah swt.

Keyakinan bahwa Dia berlaku adil dan tidak ceroboh dalam menentukan takdir-Nya seperti ini, hanya bisa diperoleh bila seseorang berprasangka baik terhadapnya. Memang, perbuatan manusialah yang menjadi pemicu terjadinya suatu peristiwa yang menimpa. Akan tetapi yang menetapkan semua itu hanyalah Allah swt. Baik dan buruk, manfaat atau mudharat, semuanya Allah yang mengatur sesuai dengan kadar perbuatan kita masing-masing:

Artinya : “Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. al-Nisa [4]: 78)

Sikap istirjai ini tidak menafikan manusia dari melakukan berbagai upaya dan sikap dalam mengatasi bencana. Karena menurut al- Qur’an, berbagai bencana itu kebanyakan disebabkan oleh perilaku dan sikap manusia, sehingga manusia dituntut untuk mengantisipasinya.

Begitulah salah satu sikap yang diajarkan al-Qur‟an dalam menyikapi bencana. Sikap positif yang mengarah kepada ketauhidan yang kokoh. Berserah diri kepada Allah, setelah melewati proses. Bukan pasrah diri tanpa usaha (QS. Ali Imran [3]: 142).

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.

Karena itu, sikap kedua yang diajarkan al-Qur’an dalam menghadapi bencana adalah sabar dan takwa.

2. Sabar dan Takwa

Al-Qur’an memberikan tuntunan agar kita bertakwa dan bersabar ketika ditimpa bencana.

Artinya : “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran [3]: 186)

Dalam kamus-kamus al-Qur’an, kata shabr (sabar) diartikan “menahan” baik dalam pengertian fisik-material, seperti menahan seseorang dalam tahanan (kurungan), maupun immaterial-nonfisik seperti menahan diri (jiwa) dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya.

Kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggungjawab. Dari sini, para agamawan merumuskan pengertian sabar sebagai “menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur).”

Seseorang yang ditimpa bencana atau malapetaka, bila mengikuti kehendak nafsunya, akan meronta, menggerutu dalam berbagai bentuk dan terhadap berbagai pihak: terhadap Tuhan, manusia atau lingkungannya. Akan tetapi bila dia menahan diri, dia akan menerima penuh kerelaan bencana yang terjadi itu. Di sini, sabar diartikan sebagai “menerima dengan penuh kerelaan ketetapan-ketetapan Tuhan yang tidak terelakkan lagi.”

Jika demikian, maka sabar bukan berarti “lemah” atau “menerima apa adanya”, tetapi ia merupakan perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan (mengendalikan) keinginan nafsunya.

Dalam al-Qur’an, kata al-shabr dalam berbagai bentuknya, baik kata kerja (fi‟il) maupun kata benda (ism atau mashdar) disebutkan sebanyak 103 kali, yang tersebar dalam 46 surah (29 surah Makkiyyah dan 17 surah Madaniyyah). Di dalam al-Qur‟an ditemukan perintah bersabar berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:

  1. dalam menanti ketetapan Allah swt (QS. Yunus [10]: 109),
  2. menanti datangnya hari kemenangan (QS. al-Rum [30]: 60),
  3. menghadapi ejekan (gangguan) orang-orang yang tidak percaya (QS. Thaha [20]: 130),
  4. menghadapi kehendak nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal (QS. al-Nahl [16]: 127),
  5. dalam melaksanakan ibadah (QS. Maryam [19]: 65),
  6. dalam menghadapi malapetaka (QS. Luqman [31]: 17),
  7. dalam usaha memperoleh apa-apa yang dibutuhkan (QS. al- Baqarah [2]: 153).

Artinya : “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 177)

Al-Raghib al-Asfahani menjadikan ayat ini sebagai kesimpulan dari segala macam bentuk kesabaran (ketabahan) yang dituntut oleh al- Qur’an. Ayat tersebut berbicara tentang al-birr (kebaikan) dan orang-orang yang melakukannya, yakni, antara lain, mereka yang digambarkan sebagai “orang-orang yang bersabar (tabah)” dalam al-ba’sa’, al-dharra’, dan hina al-ba’s.

Sabar (tabah) dalam menghadapi kebutuhan yang mengakibatkan kesulitan, tergambar dalam kata al-ba’sa, sabar dalam menghadapi kesulitan yang telah menimpa (malapetaka) dicakup oleh kata al-dharra’, sedangkan sabar dalam peperangan (menghadapi musuh) tergambar dalam wa hina al-ba’s.

Dengan demikian, kesabaran yang dituntut al-Qur’an adalah kesabaran dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan. Kesabaran ini menuntut usaha yang tidak kenal lelah, dan tidak mempedulikan rintangan apa pun sampai tercapainya apa yang dibutuhkan. Kemudian, sabar dalam menghadapi malapetaka atau bencana sehingga dapat menerimanya dengan jiwa yang besar dan lapang guna memperoleh imbalan dan hikmahnya.

Pengertian “sabar” dijelaskan oleh QS. al-Baqarah [2]: 155-157, yaitu orang-orang yang ketika tertimpa musibah maka akan berkata:

“Sesungguhnya semua milik Allah swt dan akan kembali kepada-Nya.”

Jadi, sabar berkaitan dengan istirja’.

“Dari Umar bin Sa‟ad dari ayahnya bahwa Rasulullah saw bersabda: Aku kagum dengan ketentuan Allah Azza wa Jalla terhadap seorang Mukmin. Jika ia memperoleh kebaikan ia memuji Tuhannya dan bersyukur, dan jika ia ditimpa musibah ia memuji Tuhannya dan bersabar. Seorang Mukmin diberi pahala dalam segala hal sampai suapan yang diberikan kepada istrinya.” (HR. Ahmad)

Dengan bencana, Allah sedang menguji kesabaran seseorang. Dengan demikian pentingnya kesabaran itu, sampai-sampai Allah mengatakan belum masuk surga seseorang, sampai ia bisa membuktikan kesabarannya (QS. Ali Imran [3]: 142). Sejak dulu sampai hari kiamat nanti, Allah swt senantiasa menguji seseorang dengan berbagai cobaan, musibah dan bencana (QS. al-Baqarah [2]: 214). Demikian hebatnya cobaan dan ujian itu, sampai-sampai para rasul dan orang-orang yang beriman berdoa dengan penuh harap kepada Allah swt untuk menolongnya.

Artinya : “Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran [3]: 146)

Sabar merupakan bagian dari kekuatan etika yang mendorong manusia untu mengatur diri dalam menghadapi segala macam kesusahan dan menghindari rasa kecewa, gentar dan berbagai bentuk emosi negatif lainnya.

Adapun takwa adalah upaya mencegah dan menghindari diri dari siksa Allah atau sanksi hukum-Nya. Dalam konteks ini, Muhammad Abduh, membagi siksa Allah menjadi siksa duniawi akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam dan kemasyarakatan yang ditetapkan-Nya, dan siksa ukhrawi yang merupakan akibat pelanggaran terhadap hukum- hukum syariat-Nya. Setiap orang dituntut untuk mengindahkan hukum- hukum tersebut agar terhindar dari bencana dan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Ganjaran mengikuti hukum-hukum alam dan kemasyarakatan, pada dasarnya diperoleh di dunia, sedangkan untuk hukum-hukum syariat akan diperoleh secara sempurna di akhirat. Demikian juga pelanggaran terhadap kedua jenis hukum tersebut, tempatnya di dunia dan di akhirat. Jika seseorang memelihara lingkungannya dan tidak merusaknya, maka Allah swt akan memberinya balasan di dunia, berupa lingkungan yang nyaman dan alam tidak mengirimkan berbagai bencana.
Allah swt menjanjikan kepada orang yang bertakwa banyak hal dalam kehidupan dunia sebelum dia meraih surga di akhirat kelak. Antara lain diberi jalan keluar atas semua kesulitannya, diberi rizki dari arah yang tak terduga, dimudahkan urusannya, dihapuskan dosa-dosanya dan dilipat gandakan pahalanya (QS. al-Thalaq [65]: 2-4).

“Rasulullah saw bersabda: Tidak ada musibah yang menimpa seorang Muslim kecuali Allah swt akan menjadikannya sebagai kifarat baginya termasuk duri yang menusuknya.” (HR. al-Bukhari)

3. Tawakkal

Tawakkkal terambil dari kata wakala-yakilu yang berarti “menyerahkan, mempercayakan, atau mewakilkan urusan kepada orang lain.” Dari kata ini lalu terbentuk kata wakil. Dalam beberapa ayat ditegaskan bahwa Dan Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil (QS. al-An‟am [6]: 102). Dan cukuplah Allah sebagai wakil (QS. al-Nisa‟ [4]: 81).

Kata wakil bisa diterjemahkan dengan “pelindung.” Dalam hal menjadikan Allah swt sebagai wakil atau bertawakal kepada-Nya, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. Tawakkal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah swt, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Tawakkal adalah menyerahkan segala perkara, ikhtiar dan usaha yang dilakukan kepada Allah swt serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudharat.

Perintah bertawakal kepada Allah swt dalam al-Qur’an terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak 9 kali, dan dalam bentuk (tawakkalu) sebanyak 2 kali. Kesemuanya, dapat dikatakan, didahului oleh perintah melakukan sesuatu, baru kemudian disusul dengan perintah bertawakal.

Artinya : “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. al-Taubah [9]: 51)

Artinya : “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.” (QS. al-Nahl [16]: 41-42)

Artinya : “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang Tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah Sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. al-Ankabut [29]: 58-59)

4. Sadar dan Kembali kepada Allah swt

Bencana yang terjadi juga, menurut al-Qur‟an, merupakan salah satu cara Allah untuk menyadarkan manusia dari kesalahan dan kekeliruannya, agar mereka segera kembali (bertaubat) kepada Allah swt.

Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. al-An’am [6]: 42)

Artinya : “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. al-A’raf [7]: 168)

Artinya : “Dan tidaklah Kami perlihatkan kepada mereka sesuatu mukjizat kecuali mukjizat itu lebih besar dari mukjizat- mukjizat yang sebelumnya. dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. al- Zukhruf [43]: 48)

Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri- negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” (QS. al-Ahqaf [46]: 27)

Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. al-Sajdah [32]: 21)

Referensi :

  • M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2013), Cet. I
  • Imām Aḥmad bin Muḥammad bin Hambal, Musnad Imām Aḥmad, (Cairo: Dār al-Ḥadiṡ, 1994), Juz VII
  • Abū 'Abdullah Muḥammad bin Ismā’il, Jāmi’ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirūt: Dār al-Fikri, 1988), Juz IV
  • Syaikh Sa’id bin 'Ali bin Wahft al-Qahthani, Penyejuk Hati di tengah Panasnya Musibah (terjemahan), (Jakarta: Pustaka al-Tibyan, 2008)
  • Abū al-Ḥusain Muslim bin Ḥujjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirūt: Dār al-Fikri, 1990 ), Juz II
  • Imām Abī Qāsim Sulaimān bin Aḥmad al-Ṭabrānī, Mu’jam al-Kabīr, (Beirūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah 1971 ), Juz V.

Kembali kepada Allah swt

Artinya : “ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ". (QS. al-Baqarah [2]: 156)

Allah swt menyebutkan bermacam-macam cobaan atau ujian yang diberikan-Nya kepada umat manusia berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dengan ujian atau cobaan tersebut mengisyaratkan bahwa hakikat kehidupan dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam.

Pada ayat QS. al-Baqarah [2]: 156, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Kami milik Allah . Jika demikian, Dia melakukan apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi, Allah Maha Bijaksana. Segala tindakan-Nya pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah di balik ujian atau musibah itu. Dia Maha pengasih, Maha Penyayang, kami akan kembali kepada-Nya sehingga, ketika bertemu nanti, tentulah pertemuan itu adalah pertemuan dengan kasih sayang-Nya.

Kami adalah milik Allah, bukan hanya saya sendiri. Yang menjadi milik-Nya adalah kami semua yang juga merupakan makhluk-Nya. Jika kali ini petaka menimpa saya, bukan saya yang pertama ditimpa musibah, bukan juga yang terakhir. Makna ini akan meringankan beban pada saat menghadapi petaka karena semakin banyak yang ditimpa petaka, semakin ringan ia dipikul.

Kalimat ini tidak diajarkan Allah kecuali kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya. Seandainya Nabi Ya’qub mengetahuinya, dia tidak akan berucap seperti ucapannya yang diabadikan al-Qur‟an:

“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf” (QS. Yusuf [12]: 84).

Tetapi dengan mengucapkan kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi raji‟un dan dengan menghayati makna-maknanya, antara lain seperti dikemukakan di atas, mereka itulah yang mendapat banyak keberkatan .

Mengakui Kesalahan dan Memohon Ampun kepada Allah swt

Artinya : “ Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) .” (QS. Asy-Syura[42] : 30)

Menurut Quraish Shihab, Thahir Ibn „Asyur menghubungkan ayat ini dengan ayat 28 yang sebelumnya, yang menguraikan anugerah turunnya hujan setelah sebelumnya masyarakat Mekkah menderita paceklik dan telah berputus asa dari kehadiran hujan. Di sini, mereka diingatkan bahwa petaka yang mereka alami itu adalah akibat kedurhakaan mereka mempersekutukan Allah swt. Hal itu demikian agar mereka melakukan introspeksi diri melaksanakan apa yang direstui oleh Allah Pencipta mereka.

Al-Biqa’i lebih kurang berpendapat bahwa ayat-ayat yang lalu menguraikan nikmat dan kekuasaan-Nya. Ayat-ayat itu bagaikan menyatakan: Allah yang telah menciptakan kamu, memberi kamu rizki, dan Dia juga mengendalikan urusan kamu setelah menyebarluaskan kamu di pentas bumi ini. Tidak ada nikmat kecuali yang bersumber dari-Nya dan tidak ada pula petaka kecuali atas izin-Nya. Dengan demikian Dialah sendiri yang merupakan “ waliyy ” yang mengurus kamu. Nikmat apa pun yang kamu rasakan, itu adalah bersumber dari-Nya dan atas kemurahan- Nya, dan apa, yakni musibah, yang menimpa kamu, kapan dan di mana pun terjadinya, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendir, yakni dosa dan kemaksiatan yang kamu lakukan, paling tidak disebabkan oleh kecerobohan atau ketidakhati-hatian kamu .

Musibah yang kamu alami itu hanyalah akibat sebagian dari kesalahan kamu karena Allah tetap melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu dan Allah memaafkan banyak dari kesalahan-kesalahan kamu sehingga kesalahan-kesalahan itu tidak mengakibatkan musibah atas diri kamu. Seandainya pemaafan itu tidak dilakukan-Nya, pastilah kamu semua binasa bahkan tidak akan ada satu binatang melata pun di pentas bumi ini. Jangan duga bahwa pemaafan yang dianugerahkan Allah itu disebabkan Dia lemah. Tidak! Dia Maha Kuat.

Ayat di atas, walaupun dari segi konteksnya tertuju kepada kaum musyrikin Mekkah, ia dari segi kandungannya tertuju kepada seluruh masyarakat manusia, baik perorangan maupun kolektif, kapan dan di mana pun, dan baik mukmin maupun kafir.

Memahami Takdir Allah swt

Artinya : “ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah .” (QS. Al-Hadid [57] : 22)

Ayat-ayat sebelumnya menganjurkan berinfak dan tidak terpengaruh oleh gemerlapan duniawi, menurut Quraish Shihab, ayat di atas mengingatkan agar manusia jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikkan setan menyangkut dampak negatif dari berinfak dan berjuang. Ayat di atas menyatakan: tiada suatu bencana pun yang menimpa kamu atau siapa pun di bumi, seperti kekeringan, longsor, gempa, banjir, paceklik, dan tidak pula pada diri kamu sendiri, seperti penyakit, kemiskinan, kematian, dan lain-lain, melainkan telah tercatat dalam kitab , yakni Lauh Mahfuzh dan atau ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, sebelum Kami menciptakannya, yakni sebelum terjadinya musibah itu.

Sesungguhnya yang demikian itu, yakni pengetahuan dan pencatatan itu bagi Allah adalah sangat mudah karena ilmu-Nya mencakup segala sesuatu dan kuasa-Nya tidak terhalangi oleh apa pun. Kami menyampaikan hakikat itu kepada kamu semua supaya kamu jangan berduka cita secara berlebihan dan melampaui kewajaran sehingga berputus asa terhadap apa, yakni hal-hal yang kamu sukai, yang luput dari kamu, dan supaya kamu juga jangan terlalu gembira sehingga bersikap sombong dan lupa daratan terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Karena sesungguhnya, Allah tidak menyukai setiap orang yang berputus asa akibat kegagalan dan Allah tidak menyukai juga setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri dengan sukses yang diperolehnya.

Kata mushibah sebenarnya mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana. Tetapi, kata tersebut populer digunakan untuk makna bencana . Ayat di atas dapat saja dipahami dalam pengertian umum, yakni selain bencana, karena Allah memang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Yang dimaksud dengan pengganti nama pada kata menciptakannya, dapat juga tertuju kepada anfusikum/diri kamu atau al-ardh/bumi , yakni sebelum Kami menciptakan diri kamu atau bumi, bahkan pada hakikatnya sebelum Allah menciptakan semuanya termasuk bencana itu.

Mengimani Takdir Allah swt

Artinya : “ Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun [64] : 11)

Kata idzn pada mulanya berarti ketiadaan halangan untuk melakukan satu aktivitas . Dari sini, ia digunakan untuk membolehkan seseorang memasuki satu tempat atau disingkirkannya penghalang yang menghambat masuknya. Yang mengizinkan tentu mengetahui tentang apa yang diizinkannya itu. Dengan demikian, izin mengandung arti pengetahuan plus penyingkiran halangan bagi terlaksananya apa yang diizinkan itu.

Perlu dicatat bahwa izin Allah bagi terjadinya sesuatu tidak otomatis menandai restu dan ridha-Nya. Karena itu, izin-Nya ada yang bersifat syar’iy dalam arti direstui atau dibolehkannya untuk dilakukan tanpa sanksi apa pun, dan ada juga yang bersifat takwini dalam arti Dia tidak menghalangi terjadinya karena itu merupakan bagian sistem yang diberlakukan-Nya bagi semua pihak.

Atas dasar itu pula bisa jadi ada musibah atau petaka yang menimpa seseorang yang tentu saja diizinkan-Nya tetapi tidak direstui-Nya. Bisa juga ada musibah yang menimpa yang dituntut oleh-Nya untuk dibendung dan diatasi. Seperti kezaliman yang menimpa. Itu adalah atas izin-Nya melalui sistem yang Dia tetapkan, tetapi Dia juga mendorong untuk menanggulangi musibah kezaliman itu dengan menggunakan bagian dari sistem yang ditetapkan-Nya dan yang juga keberhasilan atau kegagalan menanggulanginya adalah bagian dari sistem itu.

Sayyid Quthub menulis bahwa sebagian dari ulama salaf (generasi abad I hingga III H) memahami wa man yu’min billah yahdi qalbah/siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk hatinya”, berbicara tentang keimanan kepada takdir Ilahi serta taslim (penerimaan hati) atas musibah yang terjadi.

Sahabat Nabi saw, Ibn Abbas menafsirkan memberi petunjuk hatinya dalam arti memberi petunjuk secara mutlak, membuka hatinya hakikat ilmu Ladunniy yang tersembunyi, dan mengantarnya berhubungan dengan sumber segala sesuatu serta segala kejadian. Di sana, dia melihat awal dan tujuannya dan ketika itu dia akan merasa tenang, mantap, dan bahagia. Kemudian, dia akan mengetahui pengetahuan yang bersifat kulliy (menyeluruh) sehingga ia tidak memandang secara juz’iy (parsial) yang diliputi oleh kesalahan dan keterbatasan. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub.

Ada juga yang memahami penggalan terakhir dari ayat di atas dalam arti “ Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk hatinya untuk berucap dan menyadari bahwa Inna lillah Wa Inna ilaihi Raji‟un. Pendapat lain menyatakan “ Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk hatinya untuk melakukan satu aktivitas yang sesuai sehingga dapat menanggulangi musibahnya serta membentengi dirinya dari dampak buruk musibah itu.