Bagaimana cara menyelesaikan sengketa usaha pertambangan menurut hukum di Indonesia?

Hukum Pertambangan

Bagaimana cara menyelesaikan sengketa usaha pertambangan menurut hukum di Indonesia?

Jika mengacu dalam sistem kontrak, maka proses penyelesaian sengketa adalah melalui arbitrase. Penyelesaian sengketa dalam sistem kontrak ini adalah hasil kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing yang tertuang di dalam perjanjian. Alasan mengapa arbitrase digunakan sebagai sarana proses penyelesaian sengketa ini tidak lepas dari upaya Pemerintah Indonesia mempermudah investor asing masuk ke Indonesia.

Keuntungan-keuntungan menggunakan arbitrase adalah sebagai berikut:

  • sidang tertutup untuk umum;
  • prosesnya cepat (maksimal 6 bulan)
  • putusannya final dan tidak dapat dibanding/kasasi;
  • arbiternya dipilih oleh para pihak;
  • arbiternya ahli dalam bidang yang disengketakan;
  • umumnya arbiternya mempunyai integritas/moral yang tinggi;
  • walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada ’biaya-biaya lain’;
  • dissenting opinion.

Dari alasan-alasan tersebut dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian sengketa, investor asing lebih menyukai proses penyelesaian melalui arbitrase karena lebih cepat dibandingkan jika penyelesaian diselesaikan melalui pengadilan. Alasan ini juga tidak terlepas dari ketidakpercayaan investor asing terhadap sistem peradilan di Indonesia yang diragukan kredibilitasnya.

Namun, karena dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggunakan sistem perizinan maka proses penyelesaian sengketa umumnya hanya bisa dilakukan melalui peradilan yaitu melalui PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Pasal 154 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dipergunakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini merupakan suatu kendalah karena hal ini bertentangan dengan sistem izin yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sistem izin memberikan kedudukan hukum lebih tinggi kepada pemerintah sehingga penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak dimungkinkan karena arbitrase hanya menyelesaikan perkara dimana kedudukan para pihak adalah sejajar.

Namun jika penyelesaian sengketa tetap melalui arbitrase, hal tersebut tidak menjadikan keuntungan bagi investor asing karena pada dasarnya sulit untuk investor asing menaruh kepercayaan terhadap Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

Ketidakpercayaan ini selain dikarenakan oleh karena diragukan kredibilitas badan arbitrasi tersebut juga dikarenakan Indonesia dianggap belum mempunyai arbiter yang handal dan menguasai bidang pertambangan.

Mengenai pengadilan dalam negeri baik pengadilan negeri dan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), tentunya harus berbenah diri untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena penulis beranggapan bahwa kredibilitas pengadilan di Indonesia sampai saat ini masih diragukan karena selain permasalahan birokrasi yang terkadang ribet, pengadilan Indonesia masih rawan dengan korupsi.

Selain itu, pemahaman para hakim tentang seluk-beluk dunia pertambangan masih minim. Hal ini harus menjadi perhatian khusus dari pemerintah untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia.

dfhhd

Mediasi

  • Pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, tidak dirumuskan secara jelas pengertian mediasi. Namun mengandung subtansi terhadap eksistensi berbagai macam alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Misalnya konsultasi, negosiasi, mediasi, rekonsiliasi diatur dalam Bab II Pasal 6 serta penjelasan umum UU Nomor 30 Tahun 1999.

  • Pengertian kata mediasi dapat ditemukan pada Mahmakah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang menyebutkan mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

  • Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif di mana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih lagi untuk memutuskan perselisihan yang terjadi. Jadi dalam mediasi, mediator hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa.

  • Perantaraan yang demikian kadangkala memang diperlukan, baik dalam hal para pihak yang bersengketa tidak mungkin untuk bertemu sendiri karena berbagai faktor yang berada diluar kemampuan mereka, ataupun karena kedua belah pihak “intentionally” memang tidak mau bertemu satu dengan lainnya, meskipun mereka dapat bertemu, jika memang dikehendaki. Jadi dalam hal ini bahwa hasil dari pranata penyelesaian sengekat altenatif dalam bentuk mediasi ini tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak.

  • Mediator dapat berhasil baik jika para pihak mempunyai posisi tawar yang setara dan mereka masih menghargai hubungan baik antara mereka di masa depan. Jika ada keinginan untuk menyelesaikan persoalan tan niat permusuhan secara lama dan mendalam, maka mediasi adalah pilihan yang tepa.

  • Keunggulan mediasi adalah:
    1. Voluntary;
    2. Infornal/ Fleksibel;
    3. Interest Based;
    4. Future Looking;
    5. Parties Oriented
    6. Parties Control

Arbritasi

Menurut Black’s Law Dictionary, arbitration adalah “ *a method of resolution involving one or more neutral third parties who are agreed to by the disputing paries ang whose decision is binding. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

  • Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea: Belanda – Indonesia, bahwa “arbitrage” adalah “ penyelesaian suatu perselisihan oleh seorang atau lebih juru pisah yang harus memutus menurut hukum yang berlaku atau berdasar keadilan.

  • Dalam bukunya yang berjudul Alternatif Penyelesaian Sengketa, Gunawan Widajaja menyebutkan arbitase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pengambilan putusan oleh satu atau lebih hakim swasta, yang disebut dengan arbiter.

  • Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, Arbitarse adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengatisipassi perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/ konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.

  • Apabila mengacu pada pengertian arbitrase terdapat syarat bahwa pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase haruslah didasari adanya perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase. Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang menyerahkan setiap sengketa kepada badan arbitrase merupakan dasar ( corner stone ) bagi suatu penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

  • Di dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, terdapat pengertian mengenai perjanjian arbitrase, yaitu: suatu kesepakatan beruapa klausul arbitarse yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

  • Bentuk perjanjian arbitrase adalah dibuat secara tertulis. Perjanjian arbitrase merupakan suatau kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis itu dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

  • Arbitrase sangat berbeda dengan mediasi. Perbedaan pokoknya terletak pada fungsi dan kewenangannya, yakni:

  1. Arbiter diberi kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa;
  2. Untuk itu arbiter berwenang mengambil putusan yang lazim disebut sebagai award, dan
  3. Sifat putusan langsung final and binding (final dan mengikat) kepada para pihak.
  • Kebanyakan dari bentuk usaha tetap lebih memilih lembaga arbitrase di dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara badan pelaksana dengan bentuk usaha tetap. Garry Goodpaster mengemukakan enam alasan para pihak untuk memilih lembaga arbitrase di dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka. Keenam alasan itu adalah:
    1. Kebebasan, kepercayaan dan keamanan;
    2. Keahlian (expertise);
    3. Cepat dan hemat biaya;
    4. Bersifat rahasia;
    5. Kepekaan arbiter; dan
    6. Pelaksanaan putusan
Referensi

Andrian Sutedi, Hukum Pertambangan (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)

Salim H.S, Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2006

Sudikno Merokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) , Edisi kedua, Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Liberty, 1988),

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Yogyakarta: UII Press, 2004)