Bagaimana cara mengqadha puasa ramadhan jika lupa berapa jumlah hari puasa yang harus diganti?

image

Sebenarnya ini merupakan kesalahan pribadi karena sengaja mengulur-ulur waktu untuk membayar hutang puasa hingga lupa berapa jumlah puasa yang harus diganti. Jika sudah terlanjur begini, selain bertaubat kita tetap harus membayar hutang puasa yang sudah ditinggalkan. Bagaimana cara membayarnya sedangkan kita lupa berapa jumlah puasa yang harus dilunasi?

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menyarankan agar orang yang lupa jumlah utang puasanya memperbanyak puasa sunah dengan niat mengqadha utang puasa Ramadhan. Syekh Ibnu Hajar melalui fatwanya menarik persoalan puasa ini dari masalah wudhu sebagai keterangan berikut:

Artinya, “Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadats dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadats bila memang hadats, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya) bisa dipahami bahwa jika seseorang ragu punya kewajiban mengqadha puasa misalnya, lalu ia niat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan bila tidak maka niat puasa sunah, maka niatnya itu juga sah, dan qadha puasanya berhasil dengan mengira-ngirakan memang wajib mengqadha. Bahkan bila memang jelas wajib mengqadha. Bila tidak (ada kewajiban qadha), maka ia mendapat pahala puasa sunah seperti halnya dalam masalah wudhu… Dengan demikian diketahui, bahwa orang yang ingin berpuasa sunah sebaiknya berniat mengqadha puasa wajib bila memang ada kewajiban mengqadha. Bila tidak (ada kewajiban), maka puasanya bernilai puasa sunah. Hal ini dilakukan agar menghasilkan qadha bila memang punya kewajiban qadha,”.

Dari keterangan Syekh Ibnu Hajar ini, kita dapat menarik simpulan bahwa orang yang memiliki utang puasa lalu ingin memperbaiki diri di hadapan Allah sebaiknya memperbanyak puasa sunah dengan niat qadha puasa Ramadhan.

Referensi : Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyatul Kubra, (Beirut, Darul Fikr: 1984 M/1493 H)

Sumber

Jika utang puasa itu tidak segera ditebus, maka ia akan selalu menumpuk dari satu Ramadan ke Ramadan berikutnya. Menumpuknya utang puasa tersebut sehingga berpotensi lupa berapa utang puasa yang telah ditabung itu.

Puasa Ramadan tetap menjadi utang apabila tidak ditunaikan di hari lain. Bahkan sampai meninggal, seseorang masih terkena kewajiban mengganti atua mengqadha puasa yang sudah ditinggalkan.

Hal ini seperti dijelaskan Imam al-Haramain dalam kitab al-Waraqat:

“Perintah (Allah) adalah tuntutan melalui ucapan untuk melakukan sesuatu terhadap pihak yang lebih rendah serta bersifat wajib. Bila perintah itu sudah dikerjakan, maka pihak yang diperintah keluar (terbebas) dari beban perintah tersebut.”

Jika yang memiliki utang puasa lalai, sehingga terjadi penumpukan utang puasa, maka fuqaha berpendapat sebagai berikut:

  • Pertama , jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak mampu berpuasa, juga tidak ada kemampuan untuk mengqadha karena sakitnya itu, maka fuqaha sepakat bahwa orang tersebut cukup membayar fidyah (tebusan) sejumlah hari-hari yang terutang. Besaran fidyah- nya 7,5 ons beras (digenapi 1 kg, lebih bagus) diberikan kepada orang-orang miskin sekitar. Boleh juga dibayarkan dalam bentuk uang senilai harga beras tersebut. Hal ini disandarkan pada firman Allah:

    “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah , (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah: 184)

  • Kedua , jika seseorang muslim/muslimah tidak berpuasa karena keteledorannya, sehingga sampai menumpuk beberapa hari, atau bahkan beberapa bulan, maka para fuqaha berbeda pendapat.

    Fuqaha Hanafiyah menyatakan bahwa dia wajib mengqadha semua utang puasanya sampai lunas tergantikan seluruhnya, dan tidak perlu membayar denda atau fidyah apapun, karena memang itulah ketentuan bagi orang yang tidak berpuasa, sebagaimana firman Allah:

    “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah: 185)

    Sedangkan fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa di samping yang bersangkutan wajib mengqadha di hari yang lain sejumlah utang puasanya itu, dia juga wajib membayar fidyah sejumlah utang puasa tersebut. Hal ini sebagai konsekuensi dan hukuman terhadap keteledorannya, sebagaimana umumnya orang yang tidak dapat mengqadha utang puasanya sampai datang Ramadan berikutnya, maka terhadapnya dikenai fidyah di samping kewajiban mengqadha .

Jika penumpukan utang puasa itu banyak, sehingga lupa jumlah berapa hari atau bahkan berapa bulan puasa yang tertinggal. Maka dalam hal ibadah yang bersangkutan diperintahkan mengambil yang lebih meyakinkan. Kaidah dasar mengenai hal ini adalah sabda Nabi SAW terkait orang yang lupa bilangan rakaat ketika salat:

“Apabila kalian ragu dalam salat, hendaknya dia buang keraguannya dan dia ambil yang lebih meyakinkan….” (HR Abu Daud dan dishahihkan al-Albani)

Orang yang lupa salat zuhur apakah telah mengerjakan dua rakaat atau tiga rakaat, yang harus dia pilih adalah dua rakaat, karena ini yang lebih meyakinkan.

Demikian pula orang yang lupa berapa jumlah hari yang menjadi tanggungan dia berpuasa, apakah 12 hari ataukah 10 hari. Maka yang harus dia pilih adalah yang lebih meyakinkan yaitu 12 hari. Dia memilih yang lebih berat, karena semakin menenangkan dan melepaskan beban kewajibannya. Karena jika dia memilih 10 hari, ada 2 hari yang akan membuat ragu. Jangan-jangan yang 2 hari ini juga tanggungan dia untuk berpuasa. Berbeda ketika dia memilih 12 hari. Dan sekalipun berlebih, puasa yang dilakukan itu tidak sia-sia.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

“Apabila tanggungan puasa sangat banyak, dia harus terus-menerus melakukan qadha ….Jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajiban puasanya, maka dia harus mengulang-ulang qadha puasa, sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.”

Berdasarkan keterangan di atas, orang yang lupa sama sekali jumlah hari puasa yang menjadi tanggungannya, dia bisa memperkirakan berapa jumlah utangnya, kemudian segera membayar puasa sebanyak yang dia prediksikan, sampai dia yakin telah melunasi utang puasanya.

Referensi :