Bagaimana cara mengkombinasikan komponen-komponen yang ada pada agroforestri?

Secara sederhana agroforestri merupakan pengkombinasian komponen tanaman berkayu (woody plants)/kehutanan (baik berupa pohon, perdu, palem- paleman, bambu, dan tanaman berkayu lainnya) dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) dan/atau hewan (peternakan), baik secara tata waktu (temporal arrangement) ataupun secara tata ruang (spatial arrangement).

Menurut von Maydell (1985), kombinasi yang ideal terjadi bila seluruh komponen agroforestri secara terus menerus berada pada lahan yang sama. Akan tetapi secara alami (atau seringkali atas dasar alasan ekonomi), kombinasi komponen berkaitan erat dengan dinamika dari keseimbangan perubahan musim sesuai dengan ritme tahunan, suksesi tertentu akibat dari gangguan atau perlakuan manusia secara periodik atau sporadik. Sebagai contoh telah dikemukakan, bahwa satwa-satwa liar yang berperan pada proses regenerasi dan penyebaran kebun hutan tradisional tidak berada sepanjang waktu dalam sistem, tetapi sebagian ada yang bersifat musiman (saat musim buah).

Pengkombinasian berbagai komponen dalam sistem agroforestri menghasilkan berbagai reaksi, yang masing-masing atau bahkan sekaligus dapat dijumpai pada satu unit manajemen, yaitu persaingan, melengkapi, dan ketergantungan (von Maydell, 1987).

  • Persaingan (competition)
    Pohon-pohon dan perdu, tanaman pertanian dan binatang bersaing satu sama lain guna memperoleh cahaya, air, hara, ruang hidup, input kerja, lahan, kapital dan lain sebagainya. Persaingan ini tidak dapat dideteksi secara langsung, namun dapat diduga secara tidak langsung. Misalnya, tanaman tertentu menjadi perantara parasit bagi tanaman lain, pohon sebagai tempat sarang burung-burung yang dapat mengakibatkan berkurangnya panen tanaman padi- padian, dll. Tidak jarang persaingan justru diharapkan misalnya berkurangnya gulma rumput-rumputan akibat terlindung tajuk pohon.

  • Melengkapi (complementary)
    Reaksi saling melengkapi ini dapat secara waktu, ruang ataupun kuantitatif. Secara waktu, misalnya ketersediaan daun-daunan lebar atau buah-buahan sebagai makanan ternak pada musim-musim di mana rumput tidak tersedia (misal Acacia albida di Afrika). Secara ruang, misalnya pemanfaatan keseluruhan biotop atau produksi secara lebih baik melalui dua strata atau lebih sekaligus. Secara kuantitatif, misalnya produk sejenis yang diperoleh dari satu lahan secara bersamaan, antara lain protein nabati dan hewani.

  • Ketergantungan (dependency)
    Beberapa jamur hanya dapat tumbuh pada pohon-pohon tertentu. Jenis-jenis binatang tertentu juga hanya dapat hidup pada padang pengembalaan. Di Afrika, telah dikenal bahwa sistem akan rusak apabila tidak ada keseimbangan antara jenis binatang pemakan rerumputan panjang dan pendek. Binatang pemakan rumput pendek hanya mau mendekati makanannya, bila rumput tidak terlampau tinggi. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab adalah:

  • komponen apa yang tergantung pada komponen lain?;

  • apa manfaat hubungan antar komponen tersebut?;

  • seberapa jauh hubungan ketergantungan tersebut?

Pola interaksi antar komponen di atas diuraikan di bawah ini. Ketiga interaksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan/merekayasa desain pengkombinasian komponen penyusun agroforestri secara baik, guna meraih secara optimal tujuan yang diinginkan dalam upaya pemanfaatan lahan terpadu tersebut. Desain atau pola kombinasi agroforestri juga harus mempertimbangkan banyak hal yang berkaitan erat dengan kapasitas dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.

Tiga Kriteria Desain Agroforestri yang Baik (Raintree, 1987; dengan modifikasi) adalah sebagai berikut :

  • Produktivitas (productivity): meliputi berbagai cara untuk meningkatkan output produk pohon, memperbaiki panen tanaman musiman sebagai kombinasinya, mengurangi input untuk budidaya pertanian, meningkatkan efisiensi tenaga kerja, diversifikasi produksi, serta memenuhi kebutuhan dasar pemilik lahan;
  • Sustainabilitas (sustainability): kesinambungan sistem produksi akan dapat dicapai tujuan konservasi dan sekaligus menggugah motivasi petani kecil yang seringkali kurang peduli terhadap kepentingan jangka panjang;
  • Taraf Adopsi (adoptability): teknologi (agroforestri) harus sesuai dengan karakter sosial dan lingkungan setempat. Suatu teknologi yang tidak dapat dilaksanakan oleh petani pengguna menjadi tidak bermanfaat, walaupun memenuhi syarat, secara teknis canggih dan dari sudut kearifan lingkungan

###1. Pengkombinasian menurut dimensi waktu


Pengkombinasian secara tata waktu dimaksudkan sebagai durasi interaksi antara komponen kehutanan dengan pertanian dan atau peternakan.

Kombinasi tersebut tidak selalu nampak di lapangan, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa suatu bentuk pemanfaatan lahan tidak dapat dikategorikan sebagai agroforestri. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, antara lain:

  • Kebun rotan pada masyarakat Dayak di Kalimantan yang dikategorikan sebagai agrisilvikultur. Bagi yang tidak memahami sistem pola perladangan akan sulit mengkategorikannya sebagai agroforestri. Padahal, masa bercocok tanam padi hanya berkisar 1-3 tahun, sedangkan masa budidaya rotannya (dari penanaman hingga tidak produktif lagi dan diubah kembali menjadi ladang) bisa mencapai puluhan tahun.

  • Kebun hutan tradisional (misal pada sistem Lembo di Kalimantan Timur – Sardjono, 1990) dikategorikan sebagai salah satu bentuk agrosilvopastura. Meskipun pada dasarnya satwa liar hadir secara tetap, akan tetapi jenis dan populasinya bervariasi tergantung dari kondisi floristik dan pengusahaan kebun hutan itu sendiri. Kondisi ini bahkan berlaku pada satwa yang termasuk hama, misalnya vertebrata khususnya serangga.

  • Hutan jati di Jawa pada umur di atas lima tahun, pada umumnya tidak lagi dapat dijumpai tanaman palawija sebagai tanaman sela (tumpangsari), sehingga murni sebagai ekosistem hutan tanaman.

Dengan demikian, jangka waktu dan proses kesinambungan penggunaan lahan penting untuk diperhatikan dalam agroforestri. Pemahaman ini seringkali tidak sesederhana pada budidaya tunggal (monokultur).
Huxley (1977) dan Nair (1993) mengkategorikan kombinasi secara waktu menjadi 4 (empat), yaitu:

  • Co-incident, yaitu kombinasi selama jangka waktu budidaya jenis/komponen agroforestri;
  • Concomitant, kombinasi pada awal atau akhir waktu budidaya suatu jenis/komponen agroforestri;
  • Overlapping, kombinasi bergantian yang tumpang tindih antara akhir dan awal dari dua (atau lebih) jenis/komponen agroforestri;
  • Interpolated, yaitu kombinasi tersisip pada jangka waktu budidaya jenis/komponen agroforestri.

Ketiga kombinasi terakhir di atas masih memerlukan penjelasan lagi, apakah bersifat berkala (intermittent) atau terus menerus (continous). Agar lebih jelas gambaran dari keseluruhan kombinasi secara tata waktu di atas dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Gambar Kombinasi menurut dimensi waktu

Jika kombinasi komponen agroforestri secara tata waktu disederhanakan, maka secara garis besar kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu kombinasi permanen (permanent combination) dan sementara (temporary combination). Bentuk- bentuknya, penjelasan serta beberapa contoh yang dapat dijumpai di Indonesia disajikan sebagai berikut (von Maydell, 1987).

####a. Kombinasi secara permanen (permanent combination)

Kombinasi komponen agroforestri ini dapat terdiri dari komponen kehutanan dengan paling sedikit satu dari komponen pertanian dan peternakan. Kombinasi permanen ini dapat dijumpai dalam tiga kemungkinan, yaitu:

Kombinasi komponen kehutanan, pertanian, dan peternakan berkesinambungan selama lahan digunakan (co-incident). Sebagai contoh, berbagai bentuk kebun pekarangan (home gardens) yang dapat dijumpai di banyak wilayah nusantara;

  • Pemeliharaan tegakan/pohon-pohon secara permanen pada lahan-lahan pertanian sebagai sarana memperbaiki lahan, tanaman pelindung, atau penahan air. Sebagai contoh, penanaman pohon-pohon turi (Sesbania grandifora) pada pematang-pematang sawah di Jawa, pohon pelindung pada perkebunan komersial (kopi, kakao);

  • Pemeliharaan/penggembalaan ternak secara tetap (berjangka waktu tahunan) pada lahan-lahan hutan/bertumbuhan kayu, tanpa melihat pada umur tegakan. Contoh–contoh dapat dijumpai pada wilayah- wilayah kering/semi arid.

####b. Kombinasi secara sementara (temporary combination)

  1. Penggembalaan ternak atau kehadiran hewan di kawasan berhutan/bertumbuhan kayu hanya dilakukan pada musim-musim tertentu (continous interpolated). Contoh kehadiran berbagai satwa hutan (terutama jenis-jenis burung) di kebun-kebun hutan dan kebun pekarangan pada saat musim buah (khususnya bulan-bulan Desember hingga Maret);

  2. Penggembalaan ternak atau kehadiran hewan di kawasan berhutan/bertumbuhan kayu pada awalnya dibatasi dengan pertimbangan keselamatan permudaan. Akan tetapi dengan pertambahan umur tegakan, pembatasan ini semakin diperlonggar. (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia);

  3. Di Sahel (satu kawasan di Afrika), pohon Acacia albida tumbuh permanen pada lahan usaha dan pada musim hujan memberikan perlindungan dan pupuk hijau bagi tanaman gandum. Pada musim kering menghasilkan buah sebagai makanan ternak yang juga digembalakan pada lahan tersebut. (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia);

  4. Pemanfaatan secara periodik lahan-lahan pertanian untuk produksi kayu (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia);

  5. Setelah persiapan lahan kawasan hutan/kebun, petani diperkenankan menggunakannya sementara untuk tanaman sela musiman dan sekaligus memelihara tanaman pokok kehutanan. Setelah 3-5 tahun, maka usaha pertanian harus dihentikan. Pemanfatan tumpang tindih seperti ini dijumpai luas pada sistem-sistem tumpangsari (taungya) baik di Jawa (di hutan Jati) atau di luar Jawa;

  6. Pemakaian lahan secara bergantian antara kehutanan dan peternakan. (Catatan: Belum dijumpai informasi contohnya di Indonesia).

###2. Pengkombinasian secara tata ruang


Penyebaran berbagai komponen, khususnya komponen kehutanan dan pertanian, dalam suatu sistem agroforestri dapat secara horizontal (bidang datar) ataupun vertikal. Penyebaran terrsebut juga dapat bersifat merata atau tidak merata (Combe dan Budowski, 1979).

  • Penyebaran merata, apabila komponen berkayu (kehutanan) secara teratur bersebelahan dengan komponen pertanian, baik dikarenakan permudaan alam ataupun penanaman;

  • Penyebaran tidak merata, apabila komponen berkayu (kehutanan) ditempatkan secara jalur di pinggir atau mengelilingi lahan pertanian.

Manajemen Pohon Pelindung (Gliricidia sp.) Berdasarkan Dimensi Waktu dan Ruang: Kasus pada Perkebunan Kakao (Theobroma cacao) di Jahab Kalimantan Timur

  • Setelah lahan siap, satu tahun sebelum penanaman komoditi utama kakao (Tahun -1) dilakukan penanaman pohon pelindung (dari jenis gamal atau Gliricidia sepium);

  • Setelah pohon pelindung berumur satu tahun, maka dilakukan penanaman kakao (Theobroma cacao) di antara pohon-pohon gamal;

  • Pada tegakan kakao umur tiga tahun, dilakukan pemangkasan/penebangan I pohon pelindung gamal sebanyak 25% (atau menyisakan 75% dari populasi yang ada);

  • Pada tegakan kakao umur empat tahun, dilakukan pemangkasan/penebangan II pohon pelindung gamal sebanyak 25% (atau menyisakan 50% dari populasi awal);

  • Pada tegakan kakao berumur lima tahun dilakukan pemangkasan/penebangan III (terakhir) sebanyak 25% dengan menyisakan 25% dari populasi awal. Kondisi yang ada dipertahankan hingga masa panen kakao.

Catatan: Observasi kasus dilakukan Tahun 1985/86 di perkebunan Kakao Pinang Manis/Hasfarm;kerjasama Fahutan Unmul dan GTZ.

####a. Penyebaran secara horizontal
Penyebaran secara horizontal ditinjau dari bidang datar pada lahan yang diusahakan untuk agroforesti (dilihat dari atas, sebagaimana suatu potret udara). Penyebaran komponen penyusun agroforestri secara horizontal memiliki berbagai macam bentuk, sebagai berikut:

  1. Pohon-pohon tumbuh secara merata berdampingan dengan tanaman pertanian, baik sifatnya temporer (misalkan dalam sistem tumpangsari) ataupun permanen (dalam hal ini bisa berbentuk berbagai tanaman campuran atau plantation crops and other crops). Penanaman ini yang disebut dengan istilah ‘sistem jalur berselang’ (alternate rows);

  2. Tegakan hutan alam (biasanya bekas tebangan atau logged-over area) yang ditebang jalur untuk penanaman tanaman keras komersial. Termasuk dalam kombinasi yang kedua ini adalah sistem ‘jungle shading’ yang pernah diuji coba pada perkebunan kakao (Cacao theobroma) di Jahab (Kaltim);

  3. Mirip dengan model jalur berselang (lihat butir 1), hanya saja lahan di sini digunakan lebih intensif. Pohon-pohon yang kecil dan mudah dipangkas atau dapat segera dijarangi ditanam di antara pohon-pohon komersial besar dan tanaman pertanian. Contoh antara lain penanaman lamtoro gung (Leucaena leucochepala) dalam sistem tumpangsari di hutan jati di Jawa;

  4. Beberapa jenis pohon yang cepat tumbuh dan cepat menyebar (umumnya dari suku Leguminosae atau Fabaceae) ditanam di sepanjang garis kontur pada daerah- daerah lereng untuk menghindarkan erosi (shelterbelt). Pohon ini seringkali dikombinasikan dengan rumput- rumputan yang sekaligus digunakan sebagai pakan ternak;

  5. Suatu kombinasi antara agrisilvikutur dan silvopastura, di mana pohon-pohonan atau perdu-perduan berkayu ditanam di sekeliling lahan pertanian agar berfungsi sebagai pagar hidup (border tree planting);

  6. Tegakan pohon atau perdu tumbuh tersebar secara tidak merata pada lahan pertanian. Dalam hal ini, tidak ada model distribusi yang sistematis (model acak atau random). Contoh konkrit untuk ini adalah permudaan alam pada hutan sekunder selama masa bera dalam kegiatan perladangan berpindah;

  7. Pohon-pohonan (tumbuhan berkayu) dan tanaman pertanian ditanam dalam bentuk jalur/lorong. Fungsi utama pohon-pohonan (tumbuhan berkayu) adalah sebagai pelindung bagi tanaman pertanian yang ada. Contoh dari desain kombinasi ini adalah berbagai bentuk tanaman lorong (alley cropping);

  8. Tegakan pohon atau perdu berkayu tumbuh secara berkelompok (cluster) pada suatu lahan pertanian (atau lahan yang diberakan/diistirahatkan). Komponen pohon, perdu dan lain-lainnya dapat hadir secara alami (dan selanjutnya dipelihara) maupun sengaja ditanam (dibudidayakan). Contoh untuk pola ini adalah sistem kebun hutan tradisional (traditional forest gardens);

  9. Pohon atau perdu berkayu ditempatkan di sekeliling petak atau ditempatkan pada sisi-sisi petak yang disebut sebagai trees along border atau sistem kotak (box system). Contoh percobaan pada perkebunan kakao di Kalimantan Timur.

Gambar Penyebaran secara horizontal

####b. Penyebaran secara vertikal
Berbeda dengan penyebaran secara horizontal, maka penyebaran vertikal dilihat dari struktur kombinasi komponen penyusun agroforestri berdasarkan bidang samping atau penampang melintang (cross-section). Yang terlihat bukan hanya strata kombinasi, tetapi juga kemerataan distribusi masing-masing jenis. Keseluruhan dari penyebaran horizontal di atas juga dapat dikombinasikan dengan penyebaran vertikal, yaitu:

  1. Merata dengan beberapa strata, di mana komponen kehutanan dan pertanian tersebar pada sebidang lahan dengan strata yang sistematis. Kondisi ini umumnya dijumpai pada bentuk-bentuk agroforestri yang modern dan berskala komersial.

  2. Tidak merata, di mana komponen kehutanan dan pertanian tersusun dalam strata yang tidak beraturan (acak/random) pada sebidang lahan. Struktur tidak merata lebih banyak dijumpai pada agroforestri tradisional yang lebih polikultur. Struktur ini sangat berkaitan dengan diversitas (diversity), atau aspek kelimpahan jenis (species richness) dan kemerataannya (eveness).