Yup, toxic positivy benar-benar ada, terutama di sosial masyarakat kita, yang cenderung memandang ringan permasalahan psikologis seseorang. Penyakit mental masih sering dianak-tirikan oleh sosial masyarakat, dibandingkan penyakit fisik. Padahal yang namanya penyakit, pasti mempunyai potensi destruktif.
Masih sering denger kalimat,
Kamu pasti bisa mengatasi masalah itu.
Lihatlah dari sisi baiknya
Semua pasti ada hikmahnya
Semua akan baik-baik saja, badai pasti berlalu.
Atau bahkan ada yang lebih parah lagi,
Masalah seperti itu aja masak kamu ngga bisa ngatasi, kan kamu hebat
Jadi orang jangan lemah gitu dong, masak kena masalah segitu sudah KO
Semua kalimat diatas pada dasarnya adalah bagus, bisa jadi penyemangat buat orang yang sedang terpuruk. Dan niatnya juga baik, agar mereka tidak terlalu terpuruk akibat masalah yang diterimanya.
Ambil contoh kalimat Semua akan baik-baik saja, badai pasti berlalu. Kalimat itu niatnya adalah jangan sampai kita berputus asa karena masalah yang kita alami…
Tapi…
Bagi yang sedang terkena masalah, semuanya tidak sesederhana itu dan setiap orang mempunyai kapasitas yang berbeda dalam menghadapi masalah. Bisa jadi mereka punya pikiran, “Iya bener badai pasti berlalu, tetapi ketika badai sudah berlalu, kita sudah hancur duluan”
Bagi kita masalah ini kecil, tapi bagi mereka bisa jadi masalah ini adalah masalah besar. Begitu juga sebaliknya, bagi kita besar, tapi bagi mereka kecil. Semua orang punya sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat masalah.
Bagaimana seharusnya seseorang menunjukkan dukungannya terhadap orang lain?
Sebelum memberikan dukungan, sebaiknya kita harus punya pola pikir bahwa “It’s okay untuk menjadi stres akibat masalah yang dialaminya”. Itu semua adalah manusiawi. Sama saja “memaksa” manusia tidak menjadi manusia apabila kita “memaksa” mereka untuk tidak stres atau menggampangkan/mengesampingkan masalah yang dideritanya.
Bahkan ketika kita “memaksa” mereka untuk menyangkal atau menghindari emosi yang tidak menyenangkan tersebut, malah akan membuat masalah itu menjadi besar. Ketika kita menyangakal, maka mungkin saja sementara waktu kita “teralihkan” dari masalah kita, tetapi sejatinya hal itu tidak menyelesaikan masalah kita. Itu seperti menyimpang bom waktu, yang sewaktu-waktu akan meledak. Banyak orang yang depresi, tetapi terlihat tertawa-tawa dan berperilaku seperti orang normal. Tetapi di satu titik, mereka akan melakukan hal-hal yang sangat destruktif.
Secara evolusioner, kita sebagai manusia tidak bisa memprogram diri sendiri untuk hanya merasa bahagia.
Selain itu, dengan menghindari emosi negatif, kita kehilangan informasi berharga, dimana hal itu bisa menjadi pelajaran bagi diri kita di kemudian hari.
Setelah kita memahami fenomena diatas, maka dukungan yang kita berikan adalah mendampingi mereka ketika mereka berada dalam kondisi sulit. Buat mereka berbicara terkait masalahnya sehingga mereka bisa mengeluarkan uneg-unegnya. Kita cukup hanya mendengarkan saja. Ketika mereka bisa berbicara terkait maslaahnya, maka minimal beban yang ada di pikirannya dapat berkurang.
Menerima emosi negatif akan membantu mengatasi dan mengurangi intensitas emosi tersebut.
Meskipun mungkin bermanfaat untuk mencoba melihat sisi baik dari setiap masalah yang ada, tetapi juga penting untuk menerima emosi negatif, terutama di masa-masa awal munculnya masalah. Tidak ada manusia yang bisa terus “bersinar” sepanjang hidupnya, pasti ada masa-masa suram dalam setiap cerita kehidupan. Faktanya, dengan memerhatikan dan memproses emosi kita secara rasional, maka dapat membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri, dan orang di sekitar kita.