Bagaimana cara menghindari menjadi toxic positivity?

image

Memberikan semangat kepada orang lain tentu saja bertujuan untuk memberikan orang lain dukungan secara moral. Tetapi bagaimana jika dukungan yang diberikan justru menjadi beban bagi orang yang mendengarnya? Hal itu merupakan salah satu contoh dari toxic positivity.

Toxic positivity adalah kondisi dimana seorang individu terus menerus mendorong individu lain yang sedang bermasalah untuk melihat sisi baik dari kehidupan tanpa mempertimbangkan pengalaman yang dirasakan atau tanpa memberi kesempatan individu tersebut untuk meluapkan perasaannya.

Toxic positivity berkembang setelah Martin Seligman menetapkan psikologi positif sebagai domain baru dalam keilmuan psikologi sebagai respon dari kurangnya penelitian psikologi terkait kebahagiaan, kesejahteraan dan hal positif lainnya. Seiring dengan perkembangan tren psikologi positif, pertentangan pun muncul dengan konsep psikologi positif yang seolah-olah menyangkal atau menghindari berbagai persoalan dan hal-hal negatif yang benar-benar terjadi. Sehingga positif yang dimaksud tersebut bukannya memberikan motivasi melainkan menjadi racun dalam kehidupan seseorang.

Lalu muncul pertanyaan sederhana terkait dengan toxic positivity, Apakah Toxic Positivity benar-benar ada? Sejauh mana batasan dari toxic positivity? Lalu bagaimana seharusnya seseorang menunjukkan dukungannya terhadap orang lain?

Yup, toxic positivy benar-benar ada, terutama di sosial masyarakat kita, yang cenderung memandang ringan permasalahan psikologis seseorang. Penyakit mental masih sering dianak-tirikan oleh sosial masyarakat, dibandingkan penyakit fisik. Padahal yang namanya penyakit, pasti mempunyai potensi destruktif.

Masih sering denger kalimat,

Kamu pasti bisa mengatasi masalah itu.

Lihatlah dari sisi baiknya

Semua pasti ada hikmahnya

Semua akan baik-baik saja, badai pasti berlalu.

Atau bahkan ada yang lebih parah lagi,

Masalah seperti itu aja masak kamu ngga bisa ngatasi, kan kamu hebat

Jadi orang jangan lemah gitu dong, masak kena masalah segitu sudah KO

Semua kalimat diatas pada dasarnya adalah bagus, bisa jadi penyemangat buat orang yang sedang terpuruk. Dan niatnya juga baik, agar mereka tidak terlalu terpuruk akibat masalah yang diterimanya.

Ambil contoh kalimat Semua akan baik-baik saja, badai pasti berlalu. Kalimat itu niatnya adalah jangan sampai kita berputus asa karena masalah yang kita alami…

Tapi…

Bagi yang sedang terkena masalah, semuanya tidak sesederhana itu dan setiap orang mempunyai kapasitas yang berbeda dalam menghadapi masalah. Bisa jadi mereka punya pikiran, “Iya bener badai pasti berlalu, tetapi ketika badai sudah berlalu, kita sudah hancur duluan:sweat_smile:

Bagi kita masalah ini kecil, tapi bagi mereka bisa jadi masalah ini adalah masalah besar. Begitu juga sebaliknya, bagi kita besar, tapi bagi mereka kecil. Semua orang punya sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat masalah.

Bagaimana seharusnya seseorang menunjukkan dukungannya terhadap orang lain?

Sebelum memberikan dukungan, sebaiknya kita harus punya pola pikir bahwa “It’s okay untuk menjadi stres akibat masalah yang dialaminya”. Itu semua adalah manusiawi. Sama saja “memaksa” manusia tidak menjadi manusia apabila kita “memaksa” mereka untuk tidak stres atau menggampangkan/mengesampingkan masalah yang dideritanya.

Bahkan ketika kita “memaksa” mereka untuk menyangkal atau menghindari emosi yang tidak menyenangkan tersebut, malah akan membuat masalah itu menjadi besar. Ketika kita menyangakal, maka mungkin saja sementara waktu kita “teralihkan” dari masalah kita, tetapi sejatinya hal itu tidak menyelesaikan masalah kita. Itu seperti menyimpang bom waktu, yang sewaktu-waktu akan meledak. Banyak orang yang depresi, tetapi terlihat tertawa-tawa dan berperilaku seperti orang normal. Tetapi di satu titik, mereka akan melakukan hal-hal yang sangat destruktif.

Secara evolusioner, kita sebagai manusia tidak bisa memprogram diri sendiri untuk hanya merasa bahagia.

Selain itu, dengan menghindari emosi negatif, kita kehilangan informasi berharga, dimana hal itu bisa menjadi pelajaran bagi diri kita di kemudian hari.

Setelah kita memahami fenomena diatas, maka dukungan yang kita berikan adalah mendampingi mereka ketika mereka berada dalam kondisi sulit. Buat mereka berbicara terkait masalahnya sehingga mereka bisa mengeluarkan uneg-unegnya. Kita cukup hanya mendengarkan saja. Ketika mereka bisa berbicara terkait maslaahnya, maka minimal beban yang ada di pikirannya dapat berkurang.

Menerima emosi negatif akan membantu mengatasi dan mengurangi intensitas emosi tersebut.

Meskipun mungkin bermanfaat untuk mencoba melihat sisi baik dari setiap masalah yang ada, tetapi juga penting untuk menerima emosi negatif, terutama di masa-masa awal munculnya masalah. Tidak ada manusia yang bisa terus “bersinar” sepanjang hidupnya, pasti ada masa-masa suram dalam setiap cerita kehidupan. Faktanya, dengan memerhatikan dan memproses emosi kita secara rasional, maka dapat membantu kita untuk lebih memahami diri sendiri, dan orang di sekitar kita.

1 Like

Memang toxic positivity ini jadi samar-samar ya batasannya. semenjak istilah toxic positivity populer, justru kata “semangat ya” itu berubah simbol ‘toxic positivity’, nyemangatin orang lain malah dibilang “jangan pake toxic positivity dong”. Padahal sebenarnya definisinya udah cukup jelas, lho!

kata ‘tanpa mempertimbangkan pengalaman dan tanpa memberi kesempatan individu tersebut (individu yang memiliki masalah) untuk meluapkan perasaannya’ udah bisa jadi batasan dari toxic positivity.

Jadi selama kita sudah paham sama pengalaman dan orang tersebut udah menceritakan masalahnya ke kita, kita bisa memberikan apresiasi “thank you ya udah mau cerita” atau bilang “pasti berat banget ya, tapi makasih ya udah bertahan sejauh ini, semoga masalahnya cepat selesai ya” buat menunjukkan kalo kita berniat ngasih dukungan ke orang tersebut.

Toxic positivity bener-bener ada dan sering aku lakukan ke diri aku sendiri. Kata-kata seperti “ayok bil semangat elaah gini doang ga semangat” “lemah banget sih bil, kan kamu bisa, ayo dong pasti kamu bisa!” “Ayo paksa badan kamu sedikit lagi!” “Tolong bertahan sedikit lagi!”
dan lain sebagainya.

Batasannya seperti tidak terlihat, tapi bisa dirasakan dengan tubuh sendiri. Istilahnya mah “ayo semangatin diri sendiri lagi! Kalo belom drop jangan kasih kendor. Kalo belom sakit hati jangan santai2.”

Sebenernya gabaik terlalu memaksakan diri

1 Like

Saya percaya toxic positivity ada. Namun tidak sepenuhnya toxic positivity berkonotasi negatif karena kembali ke pribadi masing-masing yang menganggap perkataan tersebut sebagai “toxic” atau justru sebagai motivasi. Memang manusia sebaiknya meluapkan emosinya. Akan tetapi, tidak semua orang yang bisa mengontrol emosinya apabila diluapkan semua. Malah bisa jadi penghambat dalam beraktivitas karena terlalu larut dalam emosi. Sehingga dibutuhkan “toxic positivity” sebagai “rem” agar seseorang tidak terlalu larut dalam kesedihan maupun kesenangan agar emosi tetap balance untuk menjalankan aktivitas.

1 Like

Menurut aku buat menghindari toxic positivity ketika seseorang nyeritain masalahnya ke kita, caranya adalah dengan bertanya ke orang yang punya masalah tersebut, apa orang itu cuma mau kita ngedengerin ceitanya atau juga mau kita ngasih opini kita tentang masalahnya. Dengan begitu, kita jadi ngga bingung sendiri harus ngerespon ceritanya kayak gimana dan ngga ngasih toxic positivity ke orang tersebut

1 Like

Toxic positivity memang benar-benar ada dan batasannya sendiri menurut saya tidak ada patokan khusus, selama keadaan merasa baik-baik saja tersebut sehat dan bukan suatu tindakan denial. Dukungan moral terhadap orang lain bisa ditunjukan dengan rasa simpati ataupun empati.

1 Like

Ya, menurut saya toxic positivity itu ada. Namun menurut saya juga individu memiliki perbedaan sendiri dalam memandang toxic positivity. ada yang menganggap kata-kata “semangat” merupakan dukungan untuk mereka tetap bertahan saat menghadapi masalah. Namun sebagian lainnya menganggap kata-kata tersebut malah menjadi sebaliknya. menurut saya pribadi, ada tidaknya toxic positivy ini tergantung bagaimana seorang individu dalam memandang dan merespon kata-kata tersebut

1 Like

Menurut aku toxic positivity itu memang ada, tapi balik lagi kepersepsi penerimanya karena sometimes menurut aku toxic postivity itu diperlukan. Namun alangkah baiknya kita bisa support otang-orang sekitar kita tanpa memaksakan mereka berlebihan dengan mengganti diksi kata yang kita pakai.

1 Like

Menurut aku toxic positivity itu ada, namun masih abu-abu, tergantung bagaimana tanggapan lawan bicaranya.

Kalau orang yang curhat kalau ingin didengarkan aja dan denger ‘ni ambil sisi positifnya aja’, ‘jangan nyerah yuk’ dsb, bisa jadi malah bikin makin down. karena emang tujuan utamanya pengen ngeluarin uneg-uneg doang eh malah dapet ‘ceramah’ gitu sih.

cmiiw

1 Like

Ya, saya pikir ada pada hal TOXIC POSITIVITY. Namun, menurut saya setiap individu juga memiliki perbedaannya sendiri dalam mengamatiTOXIC POSITIVITY. Beberapa orang berpikir bahwa kata “dorongan” adalah dukungan mereka untuk bertahan hidup ketika menghadapi masalah. Namun, orang lain menganggap kata-kata ini sebaliknya. Saya percaya apakah ada toksisitas positif tergantung pada bagaimana individu memahami dan menanggapi kata-kata ini.

Menurut saya toxic positivity memiliki batasnya masing masing tergantung individu menangkapnya. Tidak ada batasan mutlak karena tiap individu memiliki caranya masing masing dalam menangkap reaksi