Bagaimana cara mengelola konflik dalam organisasi?

image

Bagaimana cara mengelola konflik dalam organisasi?

Berikut ini dua model pengelolaan konflik dalam organisasi menurut para ahli manajemen dan perilaku yang dikutip dari Umam :

1. Model Diagnosis Konflik dari Leonard Greenhalg

Menurut model ini konflik bukanlah sesuatu fenomena yang objektif dan nyata, tetapi ada dalam benak orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Oleh karena itu, untuk menangani konflik, seseorang harus bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana yang dilihat oleh para pelaku yang terlibat konflik. Unsur penting dalam manajemen konflik adalah persuasi, dan itulah bentuk penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh model diagnosis konflik. Berikut digambarkan dimensi dan tingkat kesulitan atau kemudahan penanganan konflik.

  • Masalah yang dipertanyakan

Jika masalah yang menjadi sumber konflik adalah masalah prinsip, konflik akan sulit dipecahkan karena mengorbankan prinsip dipandang sebagai mengorbankan integritas pribadi. Begitu masalah-masalah prinsip dikaitkan, pihak-pihak yang terlibat mencoba berargumentasi bahwa sudut pandang pihak lain salah. Jika hal ini terjadi, bentuk intevensi yang dapat dilakukan adalah meminta semua pihak untuk mengakui bahwa mereka memahami pandangan satu sama lain, walaupun masih percaya dengan pandangannya sendiri. Cara ini lebih memungkinkan semua pihak untuk maju dalam proses negosiasi daripada tetap pada posisi masing-masing.

  • Ukuran taruhan

Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan, semakin sulit konflik dipecahkan. Misalnya kebijakan merampingkan struktur organisasi yang oleh sebagian pejabat dianggap membahayakan kedudukannya. Pejabat yang berpikir subjektif akan memandang kebijakan perampingan struktur organisasi merugikan dirinya, maka mereka akan berusaha mati-matian menentang kebijakan tersebut. Pada sisi yang lain, orang yang berpikir efisiensi keuangan organisasi akan berusaha mendorong kebijakan tersebut segera ditetapkan. Dalam kasus ini, pendekatan persuasif dengan cara menunda kebijakan tersebut, hingga semua pihak menjadi kurang emosional, sangat baik untuk dilakukan. Selama masa penundaan tersebut masing-masing pihak dapat mengevaluasi masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk mencoba bersikap objektif dalam penelitian mereka.

  • Saling ketergantungan pihak-pihak yang terlibat

Pihak yang terlibat dalam suatu konflik dapat memandang dirinya sendiri dalam suatu rangkaian saling ketergantungan “berjumlah nol” hingga “berjumlah positif”. Saling ketergantungan berjumlah nol adalah persepsi bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari proses interaksi, hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain. Saling ketergantungan bernilai positif apabila kedua belah pihak sama-sama merasa memperoleh keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan berjumlah nol membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan perhatian secara sempit pada perolehan pribadi, dan bukan pada perolehan kedua belah pihak melalui kerjasama dan pemecahan masalah. Jika hal ini terjadi, kedua belah pihak harus dibujuk untuk mempertimbangkan cara agar mereka dapat saling memperoleh manfaat dari suatu situasi.

  • Kontinuitas interaksi

Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan horizon waktu, ketika semua pihak melihat dirinya sendiri berhubungan satu sama lain. Jika mereka memvisualisasikan interaksi yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang atau suatu hubungan yang terus-menerus, konflik yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan. Sebaliknya, jika interaksi dipandang sebagai hubungan jangka pendek atau hubungan episodik, konflik tersebut akan sulit dipecahkan. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar mau menyadari bahwa hubungan mereka tidak berhenti disini, atau pada saat konflik terjadi, tetapi akan ada hubungan lain yang terus-menerus pada masa yang akan datang.

  • Struktur pihak-pihak yang terlibat

Konflik lebih mudah dipecahkan jika suatu pihak mempunyai seorang pemimpin yang kuat, yang dapat menyatukan pengikutnya untuk menerima dan melaksanakan kesepakatan. Sebaliknya, jika kepemimpinannya lemah, konflik cenderung sulit dipecahkan.

  • Keterlibatan pihak ketiga

Keterlibatan pihak ketiga dalam konflik dapat menimbulkan beberapa pengaruh, antara lain; rusaknya persepsi, munculnya proses pemikiran dan argumentasi yang tidak rasional, pendirian yang tidak beralasan, komunikasi yang rusak, dan munculnya serangan-serangan terhadap pribadi. Pengaruh-pengaruh seperti ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan. Dalam menghadapi situasi seperti ini, peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan. Pihak ketiga yang netral akan lebih bisa diterima oleh pihak-puhak yang terlibat karena mereka lebih menyukai evaluasi pihak lain daripada dievaluasi pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak ketiga, semakin besar kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menahan emosi.

2. Penanganan Konflik Dari Krietner dan Kinicki

Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik yang berbeda, sebagaimana dijelaskan dibawah ini.

  • Integrating (Problem Solving)

Dalam gaya ini, pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasi masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan, dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh kesalahpahaman, tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.

  • Obliging (Smoothing)

Gaya ini lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering disebut sebagai smoothing (melicinkan) karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerja sama. Adapun kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.

  • Dominating (Forcing)

Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian pada kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa ( forcing ) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak popular hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, atau masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Sebaliknya gaya ini tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimnya waktu yang diperlukan. Adapun kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

  • Avoiding

Taktik menghindar ( avoiding ) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit atau buruk. Kekuatan strategi ini adalah ketika menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua, sedangkan kelemahannya penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok maslah.

  • Compromising (kompromi)

Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan saling menerima dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda, tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama gaya ini adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Akan tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreaktivitas dalam penyelesaian masalah.