Bagaimana Cara Mengelola Hati Agar Dapat Dekat Dengan Allah SWT?

hati

Apabila hati seorang manusia rusak, maka rusaklah seluruh kehidupannya. Kalimat itu sangat terkenal dikalangan umat Islam. Lalu bagaimana cara mengelolanya ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi kalbu sebagaimana uzlah, karena dengan memasuki uzlah (perenungan) pikiran kita jadi luas.

Ketahuilah, bahwa mengobati penyakit-penyakit hati adalah wajib hukumnya pada hamba-hamba Allah yang bermaksud makrifat kepadaNya. Penyakit-penyakit hati itu timbul karena mengerasnya tabiat kemanusiaan yang terjadi dari mendekati atau menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan kebaikan, cenderung pada menuruti kehendak hawa nafsu, bahkan juga terjadi dari rasa kasih sayang dan cinta kepada alam lahiriah sehingga dapat melalaikan untuk melaksanakan ta’abbud dan ibadah dengan sempurna kepada Allah s.w.t.

Untuk mengobati penyakit hati, jalan yang paling bermanfaat dan berhasil
ialah dengan dengan melakukan uzlah.

Uzlah dalah menjauhkan dan untuk tidak bergaul dengan orang-orang yang menurut kacamata agama dan akhlak adalah tidak baik bergaul dengan mereka. Misalnya karena orang-orang itu tidak mengerjakan ajaran agama dan sering melanggar larangan-laranganNya.

Terkecuali apabila pendirian kita sudah kuat dan tidak akan terpengaruh dari keadaan mereka, di samping itu kita juga bertujuan untuk menarik mereka menuju jalan keridhaan Allah s.w.t.

Apabila kita tidak kuat bergaul dengan mereka dan sulit memisahkan diri dari mereka, maka wajib bagi kita pindah tempat ke daerah di mana kita jauh dari pengaruh-pengaruh itu. Karena itulah para ulama dan hamba Allah yang saleh memilih tempat tinggal di pinggir-pinggir kota atau daerah-daerah pegunungan dan lain-lain, demi maksud tersebut di atas.

Lihatlah Rasulullah s.a.w. sebelum beliau menerima wahyu dan jabatan Rasulullah dari Allah s.w.t., Nabi Muhammad meng uzlah kan dirinya ke satu bukit di dalam gua Hira’; memisahkan diri dari bahaya-bahaya kemaksiatan yang telah merajalela dalam masyarakat manusia sambil beliau bertafakkur kepada alam lahiriah demi untuk melihat kebesaran Allah dan memperdalam makrifat kepadaNya.

Rasulullah s.a. w. telah bersabda dalam satu Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sa’ad bin Abu Waqqash:

“Sesungguhnya Allah cinta kepada hambaNya yang taqwa, yang bersih (dari segala penyakit hati) lagi yang menyembunyikan dirinya (demi menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik).”

Allah berfirman da1am Al-Quran:

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (Al-Kahfi: 16)

Ayat ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa apabila kemungkaran telah merajalela di mana tidak mungkin diatasi selain kita pasti terjebak ke dalamnya dan jatuh ke dalam jurangnya, maka Allah memerintahkan kita uzlah dan hijrah ke bumi lain di mana agama kita selamat dan hati kita tenteram dan tenang menjalankan perintah-perintah Allah s.w.t.

Dengan uzlah, hati kita dapat melihat, dan otak kita dapat berfikir pada segala sesuatu yang bermanfaat demi untuk kebahagiaan kita dunia akhirat. Kita dapat mengoreksi tubuh kita dan anggota-anggota badan kita, apakah pakaian yang kita pakai betul-bctul halal atau tidak. Apabila tidak, kita wajib mencabutnya dan menukarnya dengan yang halal.

Kita lihat pula lidah kita apakah sering mengucapkan kebohongan, fitnah, mencela, mengejek dan mengatakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya ataukah sebaliknya. Apabila kita berbuat itu semuanya, di mana ucapan kita tidak diridhai Allah s.w.t., maka hendaklah kita pikirkan bagaimana kita memelihara lidah kita agar tidak sampai mengucapkan hal-ha1 yang demikian.

Demikianlah seterusnya, pikiran kita, kepala kita, tangan kita, kaki kita, dua mata kita, dua telinga kita dan lain-lain.

Imam Ghazali mengutip Hadis Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Abu Hurairah r.a. sebagai berikut:

“Berfikir satu saat adalah lebih baik dari ibadah selama 70 tahun.”

Soalnya tidak lain, karena dengan berfikir itu kita dapat melihat segala penyakit hati kita, segala tipu daya syaitan terhadap diri kita, dan segala pengaruh duniawi yang telah menjauhkan kita dari jalan ibadah yang sempurna.

Apabila semua ini telah dapat kita lihat dan kita berusaha untuk bagaimana menjauhkannya, maka Insya Allah makrifat kita kepada Allah s.w.t. akan terus bertambah mantap.

Di dalam uzlah, hendaklah kita jaga musuh kita yang empat seperti yang telah disebutkan dalam ajaran ilmu Tasawuf, yaitu :

  • DUNIA.
    Dunia akan menjadi musuh kita, apabila kita tidak dapat mengemudikannya, sehingga kita terbawa oleh arus masyarakat yang tidak baik kepada jalan yang tidak diridhai Allah s.w.t. Oleh sebab itu kita wajib uzlah, wajib hijrah supaya tidak dilanda oleh dunia yang jahat dan kejam itu.

  • SYAITAN.
    Syaitan merupakan musuh kita yang terang-terangan. Ia menggoda kita supaya kita patuh dalam tipu dayanya. Godaan syaitan ini biasanya datang apaabila perut kita penuh dengan makanan dan minuman. Oleh sebab itu, hendaklah kita latih perut kita untuk lebih cenderung kepada lapar daripada kenyang. Karena kekenyangan perut menyebabkan berat ibadah. Makan adalah suatu keharusan dan juga minum. Tetapi janganlah makan dan minum itu sampai ke taraf di mana kita berat melaksanakan perintah-perintah Allah s.w.t.

  • NAFSU.
    Ini adalah musuh kita. Nafsu timbul pada umumnya apabila kita kebanyakan tidur. Dan nafsu ini dapat dicegah apabila kita lebih banyak berjaga daripada tidur.

  • HAWA.
    Musuh ini biasanya kumat-kamit apabila kita tidak dapat mengerem lidah kita dalam berkata-kata. Yakni, apabila kita banyak berkata-kata tanpa bermanfaat dan tak ada batasnya, maka keluarlah hawa menggoda kita untuk lebih leluasa mengatakan sesuatu yang tidak benar. Karena itu, lawannya adalah kita harus lebih banyak diam dan tidak berbicara apabila tidak ada manfaatnya.

Ketahuilah pula bahwa ‘uzlah itu terbagi kepada dua:

  • Uzlah dengan hati dan diri. Yakni menjauhkan hati kita dan diri kita dari segala makhluk, yakni dari manusia. Seperti ‘uzlah Rasulullah di gua Hira’ dan ‘uzlah As-Habul Kahfi sebagaimana tersebut di atas.

  • Uzlah dengan hati saja, tetapi tubuh jasmaniah kita tetap bergaul dengan manusia. Hatinya bergaul dengan Allah tetapi tubuhnya dalam masyarakat pergaulan manusia. Uzlah tingkatan ini adalah uzlah orang yang dapat menyelamatkan imannya dan agamanya, meskipun bergaul dengan siapa saja. Hamba-hamba Allah dalam tingkatan ini dapat diketahui seperti Wali Allah Rabi’atul ‘Adawiyah. Beliau berkata dalam perasaan hati yang menghadap kepada Allah s.w.t.:

    Sungguh aku jadikan Engkau dalam hatiku berbicara dan berdialog.
    Sedangkan tubuhku aku biarkan duduk dengan siapa saja.
    Maka tubuhku berjinak-jinak dengan orang yang duduk di sampingnya,
    tetapi kecintaan hatiku tertambat dengan halus gemulai di dalam hati.

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing