Bagaimana cara mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional?

Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak tepat secara medik. Artinya, tidak sesuai dengan indikasi, diberikan dalam dosis yang tidak tepat, cara dan lama pemberian yang keliru hingga kurang tepatnya pemberian informasi sehubungan dengan pengobatan yang diberikan.

Bagaimana cara mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional ?

Secara garis besar upaya perbaikan dan intervensi terkait dengan masalah penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikelompokkan dalam beberapa hal:

1. Upaya Pendidikan (educational strategies)

Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre service) maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya tersebut mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara simultan.

Upaya peningkatan mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan berdasar masalah (problem-based approach), memperbaiki isi (content) maupun metode pengajaran (teaching method) agar lebih diarahkan pada pengobatan yang rasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak berorientasi pada aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu (terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang obat dengan pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan pre service ini antara lain dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah klinik dalam bentuk pembahasan kasus.

Upaya pendidikan yang lebih mendasar adalah dengan menambahkan Kurikulum Farmakologi Klinik ke dalam Kurikulum Fakultas Kedokteran.

image

Hal ini selain dimaksudkan untuk memelihara pengetahuan dan ketrampilan mengenai terapi yang mutakhir, juga untuk meluruskan informasi obat yang sebagian besar berasal dari industri farmasi, agar tidak “bias” terhadap jenis/produk-produk tertentu.

Adapun sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi antara lain:

  • Media cetak: buletin, pedoman pengobatan.
  • Pendidikan tatap muka (face to face education): kuliah penyegaran, seminar.
  • Media elektronik: radio, televisi, video.
  • Media lain.

2. Upaya manajerial (managerial strategies)

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki praktek penggunaan obat yang tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang umumnya meliputi:

  1. Pengendalian kecukupan obat
    Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap penggunaan dan permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan dapat terpantau, sehingga kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik. LPLPO merupakan sistem informasi manajemen obat yang saat ini digunakan di Puskesmas-Puskesmas di Indonesia.

  2. Perbaikan sistem suplai
    Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti bahwa di tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang paling dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
    Untuk Rumah Sakit, konsep obat esensial ini diaplikasikan dalam bentuk Formularium Rumah Sakit.

  3. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat.
    Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing pusat pelayanan kesehatan, formulir- formulir resep dengan jumlah R/ yang terbatas, dan sebagainya.

  4. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumah-rumah Sakit.
    Komite Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi untuk meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah Sakit.

  5. Informasi Harga
    Akan memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta pasien/masyarakat.

  6. Pengaturan pembiayaan.
    Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan cost-sharing.

3. Intervensi regulasi (regulatory strategies)

Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap penyimpangan terhadap pelaksanaannya akan mempunyai akibat hukum. Namun demikian, pendekatan ini sering dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan profesi. Padahal jika kita simak, misalnya konsep obat esensial, maka kesan membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara maju pun sistem pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan.

Hal ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional merupakan komponen terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan.

Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasi obat bagi obat jadi yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik, pelabelan generik, dan lain-lain.

  1. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
    DOEN adalah buku yang memuat daftar obat esensial (obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi) yang diupayakan tersedia di fasilitas kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.

    Peran dan Fungsi Daftar Obat Esensial Nasional

    • Ketentuan perundang-undangan : UU kesehatan no 36 tahun 2009, SK Menkes tentang DOEN
    • Website Kemkes tentang DOEN (www.depkes.go.id) atau (www.binfar.depkes.go.id)
    • Ketentuan umum DOEN
  2. Formularium Obat
    Formularium Obat adalah buku yang memuat daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan harus tersedia di RS dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya

    Peran dan Fungsi Formularium Obat
    Salah satu tahap penting dalam proses pengobatan adalah seleksi obat. Dalam tahap ini seorang praktisi medik harus menetapkan jenis obat yang benar benar diperlukan bagi pasien. Obat yang diresepkan haruslah yang paling efficacious dan aman bagi pasien. Sayangnya proses pengambilan keputusan untuk memilih obat ini acap kali tidak didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terkini dan valid. Gencarnya promosi obat oleh duta-duta farmasi menjadi salah satu faktor penentu proses pengambilan keputusan ini, meskipun dalam kenyataannya tidak semua obat yang dipromosikan memiliki bukti manfaat dan keamanan yang dapat diandalkan.

    Ilustrasi berikut mungkin dapat mewakili masalah penggunaan obat yang demikian beragam, cenderung berlebihan, dan perlu kearifan untuk melakukan koreksi. Laju kecepatan pengembangan antibiotika, di satu sisi memang bermanfaat untuk mengatasi masalah resistensi terhadap antibiotika pendahulunya. Namun di sisi lain percepatan ini ternyata juga menjadi bencana bagi upaya penanganan penyakit infeksi. Kecepatan pengembangan sefalosporin dari generasi I hingga IV menjadi salah satu bukti bahwa selain menguntungkan dari segi spektrum antibakteri, pengembangan itu juga ternyata dipicu oleh cepatnya resistensi terjadi beberapa saat setelah sefalosporin generasi sebelumnya diperkenalkan.

    Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa pemberian antibiotika secara tidak adekuat berkaitan dengan angka kematian pada pasien dengan VAP (ventilator-associated pneumonia). Dilaporkan juga bahwa pemberian awal antibiotika secara tidak adekuat pada kasus-kasus VAP, khususnya yang disebabkan oleh bakteri yang resisten, menjadi penyebab kematian utama VAP di rumah sakit. Studi-studi lain ternyata juga menemukan hal yang hampir sama, yaitu bahwa pasien- pasien yang mendapat antibiotika secara tidak adekuat, yang pemberiannya dilakukan sebelum diperolehnya hasil kultur dari sekresi saluran nafas, darah, ataupun cairan pleura memiliki angka kematian yang lebih tinggi daripada yang bakteri patogennya teridentifikasi sebelum terapi.

    Bentuk ketidakrasionalan penggunaan antibiotika sebetulnya cukup beragam, mulai dari ketidaktepatan dalam pemilihan jenis antibiotika hingga cara dan lama pemberiannya. Kebiasaan memberikan antibiotika dengan dosis yang tidak tepat (umumnya “under dose”), frekuensi pemberian yang keliru, atau waktu pemberian terlalu singkat atau terlalu lama selain mengurangi "efficacy"nya sebagai pembunuh mikroba juga menimbulkan masalah resistensi yang cukup serius. Dampak terjadinya resistensi telah banyak dilaporkan. Pada tahun 1996 di Matlab dan Dhaka, Bangladesh, misalnya, lebih dari 95% isolat-isolat

    Shigella dysenteriae ditemukan resisten terhadap ampisilin, kotrimoksazol, dan asam nalidixat1. Secara sederhana, hal ini terjadi oleh karena sejak 1991 ketiga jenis antibiotika tersebut tersedia secara luas di seluruh negara, tidak saja di apotek tetapi juga toko-toko obat, sehingga masyarakat dengan sangat mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa resep. Di Somalia, case fatality rate saat terjadi epidemi kholera pada tahun 1985-1986 sangat tinggi, yaitu 13% akibat Vibrio cholerae yang semula sensitif, ditemukan resisten terhadap ampisilin, tetrasiklin, sulfonamid, dan streptomisin.

    Di pelayanan kesehatan seperti misalnya rumahsakit, masalah ini bisa diatasi dengan adanya formularium. Formularium merupakan kompilasi sediaan obat yang digunakan sebagai acuan untuk penulisan resep oleh dokter di suatu unit pelayanan kesehatan. Bagi praktisi medik, formularium ini membantu dalam proses pemilihan obat yang rasional. Dengan formularium ini maka obat yang digunakan adalah obat yang benar-benar diperlukan sehingga menghindari pemborosan biaya atas pembelanjaan obat-obat yang tidak diperlukan. Dalam seleksi obat ini, juga mengandung arti memilih drug of choice saja, sedangkan obat yang tidak dibutuhkan tidak harus disediakan, apalagi jika tidak didukung oleh bukti- bukti ilmiah yang meyakinkan. Melalui formularium yang baik maka sebenarnya rumahsakit secara tidak langsung telah memberikan jaminan bahwa hanya obat yang memiliki bukti efikasi dan keamanan yang terbaiklah yang akan tersedia. Sedangkan obat yang manfaatnya meragukan tidak perlu disediakan. Sistem ini tentu akan menaikkan kepercayaan pasien kepada praktisi medik karena mengerti bahwa obat yang diresepkan merupakan obat pilihan yang telah mengalami pengkajian mendalam dalam hal manfaat, mutu, dan keamanannya.

  3. Upaya Informasi
    Upaya informasi secara ringkas dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

    • Intervensi informasi bagi provider, yaitu dokter sebagai peresep (prescriber) dan apoteker/asisten apoteker sebagai dispenser.
    • Intervensi informasi bagi pasien/masyarakat.

    Bagi dokter, intervensi informasi bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh informasi- informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek keprofesiannya. Mutu informasi yang tersedia hendaknya tetap dipelihara dengan cara menyeleksi secara ketat sumber informasi yang handal, tidak memihak/seimbang dan bebas dari pengaruh promosi industri farmasi.

    Bagi apoteker, sebagai dispenser (penyerah obat), intervensi informasi bertujuan untuk memberi kemudahan dalam memperoleh informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek keprofesiannya. Dengan informasi tersebut, dispenser dapat menjelaskan cara menyimpan dan minum obat secara tepat, serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan.

    Bagi pasien/masyarakat, intervensi informasi lebih ditujukan untuk mendidik agar memahami dengan benar setiap upaya pengobatan yang diberikan, karena keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh ketaatan pasien untuk menjalankan setiap upaya pengobatan yang diberikan oleh dokter.

    Masih kurang tertatanya sistem informasi pengobatan dari dokter ke pasien menjadi salah satu masalah dalam proses terapi. Di satu sisi salah satu alasan dokter mengapa tidak rasional adalah akibat tekanan dan permintaan pasien terhadap obat tertentu (misalnya penggunaan injeksi). Sementara itu di pihak pasien sebenarnya tidak pernah ada keberatan terhadap setiap proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter. Dengan demikian, selama dokter dapat memberikan informasi yang benar kepada pasien, maka tidak mungkin pasien berniat mendikte dokter, apalagi memaksakan kehendak untuk mendapatkan jenis terapi tertentu.

    Informasi yang disampaikan ke pasien antara lain:

    • Informasi mengenai penyakit yang diderita.
    • Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.
    • Informasi mengenai cara, frekuensi dan lama penggunaan obat.
    • Kemungkinan resiko efek samping obat.
    • Cara penanggulangan efek samping.
    • Apa yang harus dilakukan jika dalam periode waktu tertentu obat belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.
    • Informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan selain pengobatan yang diberikan, seperti misalnya diet karbohidrat dan olahraga untuk penderita diabetes, anjuran untuk banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya untuk penderita common cold.

Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan:

  1. Dilakukan identifikasi masalah dan kebutuhan untuk mengatasi masalah tersebut.
  2. Identifikasi faktor penyebab.
  3. Buat daftar intervensi yang mungkin dilakukan.
  4. Menetapkan sumber daya yang tersedia.
  5. Memilih intervensi yang akan dilakukan.
  6. Melaksanakan intervensi.
  7. Memonitor dampak dan melakukan revisi terhadap intervensi yang telah dilakukan bila diperlukan.

Cara melakukan intervensi yang efektif:

  1. Identifikasi faktor yang paling berpengaruh.
  2. Individu/kelompok yang paling buruk menjadi target utama intervensi tersebut.
  3. Gunakan sumber informasi yang terpercaya.
  4. Gunakan jalur komunikasi yang terpercaya.
  5. Gunakan kontak pribadi bila perlu.
  6. Batasi jumlah pesan.
  7. Ulangi pesan utama melalui berbagai media komunikasi.
  8. Berikan alternatif yang lebih baik.