Bagaimana cara mengatasi dampak negatif dari revolusi hijau?

Dampak negatif dari revolusi hijau dapat dilihat pada diskusi di topik ini

Untuk mengatasi dan mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh teknologi Revolusi Hijau, perlu dilakukan koreksi dan penyempurnaan terhadap teknologi Revolusi Hijau tahun 1970-2005.

Beberapa konsep teknologi yang dapat mendukung keberlanjutan sistem produksi dan kelestarian lingkungan sebelumnya telah dikemukakan, di antaranya adalah agroekoteknologi (Sumarno dan Suyamto 1998); usahatani ramah lingkungan (Sumarno et al. 2000); pengelolaan sumber daya dan tanaman terpadu (Makarim dan Las 2005; Abdurahman et al. 2006); dan yang lebih menekankan kepada aspek kelestarian lingkungan adalah konsep pertanian organik (Uphoff and Gani 2005).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyusun pertanian berkelanjutan, biasa disebut Teknologi Revolusi Hijau Lestari (TRHL), dalam rangka mengurangi dampak revolusi hijau , yaitu:

  1. pola dan pergiliran tanaman,
  2. pemilihan varietas,
  3. penyiapan lahan optimal,
  4. pengayaan kandungan bahan organik tanah,
  5. penyehatan ekologi lahan sawah,
  6. penyediaan hara secara optimal,
  7. pengendalian terpadu terhadap hama-penyakit-gulma,
  8. penyediaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sumber air secara bijaksana,
  9. peningkatan pengetahuan dan kesadaran petani terhadap produktivitas dan kelestarian sumber daya.

1. Pola dan Rotasi Tanaman

Pola tanam multi-spesies (banyak jenis tanaman dalam satu hamparan) dianjurkan, karena berfungsi menjaga keanekaragaman hayati, berupa tanaman, mikro flora dan mikro fauna di permukaan dan dalam tanah, guna mendukung terjadinya keseimbangan populasi antara parasit-predator, serangga hama dan patogen penyakit.

Keanekaragaman hayati yang tinggi berfungsi sebagai penyangga terhadap berbagai perubahan ekologi/ekosistem. Kondisi ideal diperoleh apabila di setiap hamparan sawah terdapat 25% lahan non sawah yang letaknya terpencar merata, dan di atasnya ditanam berbagai tanaman semusim termasuk palawija, sayuran, bunga, dan lain-lain. Pe- ngelolaan lahan dengan teknik surjan (berselang-seling antara petak sawah dan lahan îkeringî), merupakan contoh cara memperbesar keanekaragaman hayati.

Pergiliran tanaman tahunan yang direncanakan dengan baik, menyertakan leguminosa atau tanaman yang memerlukan pengolahan tanah intensif seperti tebu, tembakau, cabe, bawang merah, dapat memperbaiki struktur tanah, drainasi dan aerasi tanah, serta memperkaya kandungan bahan organik tanah.

Penyusunan pola tanam tahunan atau dua tahunan dan pergiliran tanaman padi ñ non padi harus dibuat oleh setiap pemilik dan penggarap lahan sawah. Agar pola tanam dan pergiliran tanaman diterapkan oleh petani, perlu dibuat ketentuan Perda tentang pola tanam dan rotasi tanaman, yang mengharuskan hal-hal berikut:

  1. Tanaman jenis legum (kacang-kacangan) disertakan dalam pola tanam/ pergiliran tanaman pada lahan sawah, minimal sekali dalam setahun.
  2. Di setiap hamparan sekitar 50 ha terdapat minimal 10% luas lahan (± 5 ha) yang diusahakan sebagai lahan kering dan ditanami palawija atau sayuran buah. Petak lahan kering tersebut tersebar (tidak mengumpul) dan dapat diubah menjadi lahan sawah kembali setelah 1 tahun atau lebih.
  3. Pematang sawah ditanami kacang-kacangan untuk pengayaan populasi predator dan parasit (musuh alami) terhadap hama penyakit (Baehaki 2006).
  4. Penanaman leguminosa pohon/perdu seperti turi (Sesbania), jayanti, pada pematang (galengan) dan batas petakan lahan.
  5. Setiap dua tahun, minimal ditanam sekali (satu musim) tanaman-tanaman yang memerlukan pengolahan tanah intensif, seperti tebu, tembakau, jagung, ubijalar, sayuran (cabe, bawang merah, kacang panjang, mentimun, dan lain-lain), agar terjadi perbaikan drainase dan struktur tanah.

Keharusan dipraktekkannya pola tanam yang tepat dan pergiliran tanaman adalah untuk keuntungan petani sendiri dan terutama untuk keberlanjutan sistem produksi lahan sawah milik petani yang bersangkutan.

2. Penanaman Multi Varietas

Penanaman secara luas satu varietas unggul nasional harus diubah menjadi penanaman varietas unggul agroekologi spesifik ñ musim spesifik, sehingga terdapat banyak varietas dalam setiap hamparan. Kondisi kesuburan, ketersediaan air, kondisi OPT, dan kesukaan petani dapat dianggap sebagai ciri agroekologi spesifik, sehingga setiap petani dianjurkan untuk menanam varietas yang berbeda.

Terdapatnya keragaman genetik tanaman yang berasal dari multi varietas dalam setiap hamparan 50-100 ha akan memperkuat daya sangga genetik tanaman (genetic buffering capacity), sehingga tanaman lebih toleran terhadap berbagai epidemi hama-penyakit dan cekaman abiotik lainnya. Bahkan sebenarnya, dalam setiap varietas pun dapat dibuat keragaman genetik, yang ditimbulkan oleh varietas yang heterogen (Sumarno dan Anwari 1994).

3. Penyiapan Lahan Optimal

Penyiapan lahan optimal ditujukan agar tanah sawah dapat secara optimal berfungsi menyediakan hara dan air, baik secara fisik maupun kimiawi. Selain itu lapisan olah tanah dapat menjadi media yang ideal untuk pertumbuhan akar tanaman dan penyerapan hara. Pembenaman residu tanaman dan gulma harus menjadi salah satu faktor persyaratan penyiapan lahan.

Untuk memperoleh struktur tanah yang baik, perlu ada ketentuan tentang pengolahan tanah, meliputi:

  • Jangka waktu minimal, sejak pengolahan pertama hingga siap tanam.
  • Kedalaman pengolahan tanah, sesuai dengan jenis tanah.
  • Kedalaman lapisan lumpur, sesuai dengan jenis tanah.
  • Populasi gulma maksimal per m2 yang dibolehkan, menurut jenis gulma.
  • Persyaratan pencegahan erosi tanah dan pencegahan kehilangan lumpur dari petakan sawah.

4. Pengkayaan Kandungan Bahan Organik Tanah

Revolusi Hijau tahun 1970-2005 terlalu menggantungkan kecukupan hara dari pupuk sintetis. Anjuran dosis pupuk hanya berlaku bagi pupuk sintetis, tidak ada anjuran dosis pupuk organik. Pupuk organik seolah-olah tidak diperlukan lagi pada teknik Revolusi Hijau. Kekeliruan ini perlu dikoreksi.

Sejak awal penggunaan pupuk organik berasal dari hewan dan tumbuhan/ tanaman sudah banyak dianjurkan. Agar saran dan anjuran untuk pengayaan kandungan bahan organik dalam tanah menjadi operasional, diperlukan hal- hal sebagai berikut:

  • Dosis anjuran pupuk organik, sesuai jenis tanah. Anjuran dosis pupuk organik menjadi bagian integral anjuran pemupukan.

  • Jerami padi harus dikembalikan ke petakan semula dalam bentuk kompos, residu, pupuk kandang, atau bentuk dekomposisi jerami lainnya. Jerami tidak boleh dibakar di lahan atau pinggiran lahan sawah.

  • Apabila memungkinkan, lahan sawah ditanami Azola untuk sumber pengayaan bahan organik.

  • Mikroba tanah yang bermanfaat untuk peningkatan kesuburan tanah perlu diberi kondisi lingkungan yang optimal.

  • Ketentuan batas minimum kandungan bahan organik tanah, misalnya 1,5%, sesuai dengan jenis tanah. Berdasarkan hasil analisis tanah, Dinas Pertanian dan penyuluh harus mengampanyekan tindakan pengayaan bahan organik tanah, bagi lahan yang bahan organiknya kurang dari 1,5%.

  • Pelatihan pembuatan kompos, bokhasi, dan pupuk organik lain, bagi petani, disertai peningkatan pengetahuan dan kesadaran petani tentang pentingnya bahan organik bagi tanah.

  • Kampanye penanaman Crotalaria sp.; Muccuna sp.; Sesbania sp.; dan sebagainya, di lahan sawah sebagai tanaman penyelang, untuk dibenam- kan ke dalam tanah menjelang penanaman padi sawah.

  • Penggiatan pertanian integratif antara tanaman-ternak, agar terjadi sistem pertanian nir-limbah (zero waste farming).

  • Perlunya mengaitkan penggunaan/pengembalian bahan organik yang cukup ke dalam tanah dengan persyaratan kredit ketahanan pangan atau dengan besarnya potongan pajak bumi dan bangunan, atau penyediaan air irigasi.

  • Memberi pengertian kepada petani, bahwa tidak ada pemisahan antara pertanian masukan organik dan pertanian dengan pupuk anorganik. Pupuk organik dan anorganik diperlukan secara komplementer untuk pen- cukupan kebutuhan hara tanaman.

Kandungan bahan organik tanah yang kritis rendah pada lahan sawah Indonesia harus menjadi perhatian program prioritas Departemen Pertanian dan Dinas Pertanian untuk diatasi. Penyuluh pertanian harus dibekali pengetahuan tentang pengelolaan bahan organik untuk kesuburan tanah.

5. Penyehatan Ekologi Lahan

Kegiatan yang termasuk penyehatan ekologi lahan sawah sangat luas, mencakup seluruh kegiatan yang dilakukan di bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir dari sistem hidrologi alamiah, yang berdampak kepada ekologi yang îsehatî, lingkungan yang lestari; sumber daya air yang tidak terganggu; terhindar dari bahaya banjir, tanah longsor, dan penimbunan lahan sawah oleh longsoran, serta prasarana irigasi yang terpelihara.

Konservasi hutan dan sumber air untuk pencegahan banjir, untuk memperbesar daya serap air tanah, untuk melestarikan sumber air, merupakan esensi dari penyehatan ekologi lahan sawah.

Ekologi lahan sawah yang sehat didefinisikan sebagai Ekologi wilayah tangkapan dan limpasan air alamiah (natural watershed region) yang mampu menampung, menyimpan dan menyediakan sumber pengairan bagi lahan persawahan di wilayah yang bersangkutan, secara sinambung

Selain dari aspek air, juga terdapat keseimbangan biologis pada wilayah yang dimaksud, sehingga ekologi wilayah tersebut mantap, dan sinambung.

6. Penyediaan Hara Tanaman Secara Optimal

Dengan teknologi Revolusi Hijau Lestari, pencukupan ketersediaan hara bagi tanaman tidak dibatasi asalnya. Hara untuk pertumbuhan tanaman optimal dan untuk mempertahankan kesuburan tanah dapat berasal dari: asli tanah (indigenous nutrients), endapan lumpur dari wilayah hulu; dari pengairan; dari air hujan; dari pupuk organik; dari pupuk anorganik (sintetis); dari residu tanaman; dari penambatan N oleh tanaman legum; tumbuhan air dan mikroba; dan bahkan dari debu, abu gunung dan dari kilat. Hara yang berasal dari dekomposisi mikroba, hewan rendah dan hewan tinggi juga merupakan sumber hara yang legitimate pada teknologi Revolusi Hijau Lestari.

Pada teknologi Revolusi Hijau Lestari, sumber hara tidak menjadi permasalahan, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Tidak memiliki dampak negatif secara fisik maupun kimia terhadap lahan sawah.
  2. Tidak mengandung logam berat dan senyawa beracun.
  3. Tidak mengontaminasi badan air dan tanah dengan senyawa yang beracun bagi manusia, ternak/hewan dan tanaman.
  4. Tidak mengandung mikroba patogenik bagi tanaman, ternak dan manusia, serta tidak menularkan gulma jahat.
  5. Tidak menjadi wahana penularan hama penyakit tanaman.
  6. Tersedia bagi tanaman dan bermanfaat nyata pada hasil panen dan mutu produk.
  7. Menunjukkan efektivitas hara bagi pertumbuhan tanaman secara nyata, bukan berdasarkan teori atau janji dan harapan yang tidak ilmiah.
  8. Untuk pupuk buatan pabrik telah terstandardisasi mutunya, dengan mencantumkan kandungan hara serta kadarnya dan telah lulus uji efektivitasnya.
  9. Memenuhi persyaratan halal bagi hukum Islam, atau persyaratan higienis secara umum.

Walaupun persyaratan pupuk untuk dapat digunakan tampaknya cukup banyak, namun sebenarnya ketentuan tersebut merupakan persyaratan wajar yang memang harus dimiliki oleh produk pupuk organik, maupun anorganik.

Penggunaan pupuk “sintetik anorganik”

Untuk pupuk buatan pabrik (sintetik anorganik) seperti Urea, SP36, KCl, ZA, dan sejenisnya, yang harganya relatif mahal, sebenarnya harus disadari bahwa penggunaannya harus rasional, tidak boros, dan efisien. Pupuk, fungsinya adalah penambah atau peningkatan fungsi tumbuh atau hasil panen. Tanaman pada umumnya memberikan tanggap positif yang sering bersifat regresif terhadap dosis pupuk sampai batas tertentu.

Oleh karena itu dosis pupuk yang harus diberikan mempunyai kisaran yang cukup besar, dari dosis rendah, sedang, hingga dosis tinggi. Dalam teknologi Revolusi Hijau Lestari, pupuk buatan pabrik diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Anjuran dosis pupuk harus berdasarkan status hara dalam tanah dari hasil analisa tanah.
  2. Berdasarkan target hasil panen yang ingin diperoleh.
  3. Memperhitungkan asupan pupuk organik yang diberikan pada musim tanam yang bersangkutan.
  4. Memperhatikan hara yang terangkut hasil panen, dalam rangka pelestarian kesuburan tanah.
  5. Mendasarkan kebutuhan dan tanggap varietas yang ditanam.
  6. Memperhatikan sifat fisiko-kimia tanah.

Atas dasar ketentuan tersebut maka fungsi pupuk anorganik sebagai penyedia hara dalam TRHL adalah: fungsi suplemen hara; penyedia hara ke arah optimal; penyeimbang ketersediaan hara; dan fungsi pemeliharaan (maintenance) hara dalam tanah.

Oleh karena itu pupuk anorganik bukan merupakan satu-satunya sumber hara bagi tanaman; pupuk anorganik berfungsi suplementer dan bersifat komplementer dengan sumber hara/jenis pupuk lainnya.

7. Pengendalian Gulma-Hama-Penyakit Terpadu dalam TRHL

Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu (PHT) sudah banyak dibahas dan didokumentasikan (Oka dan Bahagiawati 1991). Rumusan teknologi PHT pada dasarnya bertujuan agar OPT dapat terkendali secara alamiah dalam ekologi yang seimbang antara semua organisme penyusun ekologi.

Dalam praktek, hal demikian sukar terjadi karena usaha pertanian sawah mengubah komponen ekologi menjadi îsatu spesies dominanî yaitu tanaman padi. Hama, penyakit, dan gulma secara alamiah akan ter- seleksi ke arah OPT yang sesuai dengan tanaman padi, sehingga keseimbangan ekobiologi sukar diperoleh.

Teknologi RHL mempersyaratkan pengendalian OPT memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Mengutamakan peniadaan/minimalisasi sumber penularan, baik yang berasal dari tumbuhan inang, wilayah sekitar, lokasi setempat, atau terbawa masuk melalui sarana produksi dan alat dan mesin pertanian.
  2. Pemutusan daur hidup OPT melalui pergiliran tanaman/varietas, dan pengaturan pola tanam yang tepat.
  3. Penanaman varietas-varietas yang memiliki gen-gen ketahanan terhadap OPT; memanfaatkan kemampuan daya sangga genetik berbagai genotipe/varietas tanaman.
  4. Pemanfaatan musuh alami, baik yang bersifat indigenous (asli) maupun berasal dari luar.
  5. Penggunaan pestisida secara rasional, baik dari segi jenis yang dipakai, waktu aplikasi, dosis dan teknik aplikasi, sehingga memberikan efek residu minimal, tidak mematikan musuh alami, dan tidak mengakibatkan OPT menjadi kebal.
  6. Penerapan teknik PHT secara efektif dan relevan.

Prinsip usahatani ramah lingkungan dan bertani secara sehat (hygienic- farming) seperti yang dianjurkan Sumarno et al. (2000) sangat relevan untuk mendukung TRHL. Pengendalian OPT dalam TRHL harus merupakan bagian integral dalam seluruh sistem usahatani di lahan sawah, termasuk sanitasi lingkungan, pergiliran tanaman, pergiliran varietas, bertani secara sehat, dan sebagainya, yang terencana dalam jangka pendek dan jangka panjang.

8. Penyediaan, Pemeliharaan dan Pemanfaatan Sumber Air secara Bijaksana

Air merupakan sarana produksi terpenting bagi sistem produksi padi sawah, namun kurang memperoleh perhatian petani. Ketersediaan dan kecukupan air pengairan masih dipandang sebagai suatu hal yang îseharusnya demikianî (taken for granted), belum memperhatikan aspek penghematan, efisiensi, dan pelestariannya.

Shah dan Strong (1999) memprediksi bahwa ketersediaan air untuk produksi pertanian akan menjadi semakin berkurang mulai abad XXI ini, dan akan menjadi faktor pembatas produksi penting, seperti halnya pupuk, hama, penyakit, dan gulma.

TRHL mempersyaratkan perlunya kesadaran petani dan seluruh masyarakat untuk hal-hal berikut:

  1. Air yang tersedia secara melimpah berasal dari hujan, sungai atau sumber lain, harus dikonservasi/disimpan untuk digunakan pada periode waktu kering.
  2. Masyarakat petani pengguna air harus ikut menjadi penjaga, pelestari, dan pemelihara sumber air, prasarana pengairan, dan mutu baku air pengairan.
  3. Masyarakat pengguna air perlu aktif ikut mengkonservari air dalam bendungan, waduk, embung, dam sederhana, untuk digunakan pada periode kering. Konsep ìsatu desa memiliki satu wadukî yang sangat populer di Sri Lanka perlu diadopsi desa-desa di Indonesia.
  4. Air pengairan harus digunakan secara efisien, hemat, dan rasional, sehingga penyediaan air merata di seluruh cakupan saluran irigasi.
  5. Air pengairan harus dipandang sebagai barang ekonomis yang tidak boleh dihamburkan penggunaannya.
  6. Masyarakat di wilayah hulu-hilir harus bertindak/menjaga, melestarikan wilayah tangkapan dan serapan air, sehingga tidak terjadi banjir/longsor dan sumber air terpelihara.
  7. Masyarakat pengguna air aktif merawat, menjaga dan memelihara badan air (bendungan, waduk, dam, embung) agar tidak terjadi pendangkalan oleh endapan erosi, infasi gulma, pengotoran oleh sampah dan plastik, serta pencemaran zat kimia beracun.
  8. Masyarakat pengguna air ikut aktif merawat, memelihara, dan menjaga prasarana irigasi, termasuk saluran, pintu air, bak pembagi air, dan sebagainya.

Untuk menjadi pelaku teknologi RHL petani perlu menyadari bahwa air adalah barang berharga yang semakin langka, air merupakan kebutuhan bersama, dan pemeliharaan sumber/prasarana pengairan merupakan tanggung jawab dan tugas bersama. Di masa depan penggunaan air pengairan perlu diukur seperti halnya air untuk rumah tangga, dan petani membayar harga air sesuai banyaknya penggunaan.

9. Pendidikan dan Penyadaran Petani

Pelaku dan penanggung jawab terlaksananya Teknologi Revolusi Hijau Lestari adalah petani padi sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendidikan dan upaya penyadaran petani tentang pentingnya penerapan Teknologi Revolusi Hijau Lestari.

Untuk dapat menyediakan bahan pangan yang cukup bagi generasi masa kini, masa depan dan waktu dalam jangka panjang yang akan datang, pilihan teknologinya hanya Teknologi Revolusi Hijau Lestari. TRHL harus menjadi agenda penyuluhan pertanian dan petani harus memahami serta mempraktekkannya.

Sumber : Sumarno, Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Nasional di Masa Depan, Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 2 - 2007