Bagaimana cara mendapatkan ampunan dari Allah swt ?

Taubat

Seringkali kali melakukan kesalahan, yang berujung pada perbuatan dosa,sehingga pada akhirnya kita menyesal dengan apa yang telah kita kerjakan. Bagaimana cara mendapatkan ampunan dari Allah swt ?

Dalam menyikapi dosa, hendaklah seseorang tidak pernah merasa putus asa dari mengharapkan rahmat dan ampunan Allah atas segala dosa yang terlanjur dilakukannya. Sebesar apapun dosa seseorang, selama ia mau kembali kepada- Nya dengan sebenar-besarnya, niscaya Allah akan menerima taubat dan mengampun dosa-dosanya. Allah telah menegaskan hal itu melalui firman-Nya dalam suart al-Zumar ayat 53;

Katakanlah:”Hai hamba-hamba-Ku yang melalpaui batas atas diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang.

Sikap optimistik terhadap ampunan Allah SWT harus dikembangkan dalam diri setap mukmin. Namun sikap optimis tersebut janganlah sampai berlebihan, karena justru akan membawanya kepada sikap meremehkan dosa dan banyak melakukan dosa. Yang perlu dicatat dalah ketika timbul penyesalan yang mendalam terhadap perbuatan dosa, janganlah sekali-kali orang beriman merasa berputus asa dari ampunan-Nya, karena hanya orang-orang yang sesat akan berputus asa dari rahmat-Nya. Itulah yang senantiasa menjadi pedoman san Khalilullah, nabi Ibrahim as.

Allah memang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada seluruh hamba- Nya. Ia selalu mencurahkan kemurahan-Nya kepada siapa saja yang tidak pernah berputus asa dari mengharapkan rahmat-Nya. Demikian pula halnya terhadap orang-orang yang terlanjur berbuat dosa dalam hidupnya, Allah berkenan menjadikan taubat sebagai sarana untuk menebus dosa.

Disamping itu Allah juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki kesalahannya, dengan mengerjakan berbagai hal (perbuatan) yang dapat menghapus dosa. Yaitu dengan cara bertaubat, kembali kepada Allah dan beramal serta ikhlas berserah diri.

Makna kata “kembalilah kalian kepada Tuhanmu”, maksudnya adalah kembalilah kalian kepada Allah SWT dengan meninggalkan maksiat dan disertai dengan rasa penyesalan yang mendalam atas segala kesalahan yang telah terlanjur dilakukan dan diikuti keinginan kuat untuk tidak mengulanginya lagi.

Menurut Al-Qusyairi, seorang pakar dan pengamal tasawuf, berpendapat bahwa kata Al-Inabah adalah kembali kepada Allah dengan sempurna, yaitu kembali kepada Allah karena terdorong oleh rasa malu kepada Allah apalagi dengan aneka limpahan karunia-Nya.

Allah telah menginstruksikan kepada seluruh umat manusia, terutama kepada orang yang beriman, untuk senantiasa melakukan taubat yang semurni- murninya ketika mereka melakukan perbuatan dosa. Allah SWT berfirman dalam surat At-Tahkim ayat 8:

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu da memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecawakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Pada ayat di atas Allah SWT memerintahkan mereka untuk bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya (nashuha), taubat yang ikhlas dan jujur. Perintah Allah dalam Al-qur’an bersifat wajib, menurut Al-Qurtubi, ulama- ulama Islam pun telah bersepakat bahwa taubat itu hukumnya fardu ‘ain, seperti yang dijelaskan dalam buku “Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an.” Secara spesifik Ibnu Qudamah Al-Muqaddasi juga menjelaskan bahwa para ulama telah menyepakati tentang wajibnya melakukan taubat dari perbuatan dosa, karena dosa merupakan sesuatu yang menghancurkan dan menjauhkan manusia dari Allah.

Allah SWT juga memerintahkan kepada mereka untuk bertaubat kepada Allah dengan keikhlasan beramal (berserah diri). Menurut Tafsir Ruhul Ma’ani, berserah diri (ikhlas) itu sesudah inabah. Yang dimaksud dengan keikhlasan beramal ialah keinginan mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengagungkan ihwal-Nya dan menyambut seruan-Nya. Ikhlas (tulus,murni), bersih dan terbebas dari tujuan untuk selain Allah,ketulusan dan kesucian niat. Dalam pandangan islam ikhlas merupakan pengukuhan dari konsep keesaan Tuhan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam ungkapan kalimat syahadah. Sedangkan menurut abu Al-Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya adalah mengesahkan Al-Haqq (Tuhan Yang Maha Benar) dalam melakukan ketaatan dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan pujian atau apa saja yang dapat menghalangi diri untuk dekat kepada Allah.

Setiap manusia pasti berbuat kesalahan dan melakukan dosa. Mereka benar- benar perlu melakukan taubat yang semurni-murninya (taubat nashuha) dan berserah diri kepada Allah SWT (beramal shaleh), untuk menghapuskan dosa yang telah diperbuatnnya.

Oleh sebab itu lebih baiklah dari sekarang. Di waktu masih hidup di dunia ini lkhlas bertaubat, lekas inaabah (kembali) dan lekas menyerahkan diri kepada Tuhan. Bagaimanapun besar dosa yang telah diperbuat Tuhan tetap bersedia memberikan ampun. Lansung memohon kepada Tuhan, bukakan hati, akui dosa yang telah diperbuat, tidak usah dengan memakai orang sebagai perantara. Sebab perhitungan ini adalah perhitungan langsung di antara seorang hamba dengan Tuhannya.Tuhan mengetahui semua kesalahan hambanya sampai kepada dosa yang terkecil dan si hamba pun mengakui pula kesalahan itu.

Hal-hal yang dapat menghapuskan dosa:

  1. Menyempurnakan wudhu dan rajin pergi ke masjid

  2. Melakukan ibadah pada bulan Ramadhan

  3. Mengikuti perbuatan buruk dengan kebaikan

  4. Bersabar saat menghadapi bala’ (ujian hidup)

  5. Memelihara shalat lima waktu, salat Jum’at dan puasa Ramadhan

  6. Banyak membaca do’a dan dzikir

  7. Rajin melakukan qiyam al-lail

  8. Berjihad di jalan Allah

Referensi :

  • Saiful Hadi El-Sutha, Kado terindah untuk orang berdosa, (Jakarta, Erlangga, 2008)
  • Muhammad Husain, Tafsir Ruhul Ma’ani, (Beirut, Dar Al-Fikar, tanpa tahun)