Bagaimana cara memprediksi Kebangkrutan sebuah perusahaan?

Kebangkrutan adalah ketidakmampuan yang dinyatakan secara legal oleh individu atau organisasi untuk membayar kreditur mereka.

Bagaimana cara memprediksi Kebangkrutan sebuah perusahaan?

Berbagai cara dapat digunakan untuk mendeteksi dan meramalkan kemungkinan terjadinya kebangkrutan. Cara yang dapat digunakan antara lain :

1. Analisis Univariate (variabel keuangan tunggal)

Pendekatan berdasarkan variabel tunggal (univariate) untuk meramalkan kemungkinan terjadinya kebangkrutan, dengan menggunakan asumsi sebagai berikut:

  • Bahwa distribusi dari variabel keuangan untuk perusahaan yang mengalami kesulitan berbeda dengan distribusi variabel keuangan untuk perusahaan yang tidak yang mengalami kesulitan keuangan.

  • Perbedaan variabel dapat dikapitalisasi / dikuantifikasikan untuk maksud- maksud membuat ramalan tersebut. Salah satu kelemahan dalam pendekatan univariate ini adalah menggunakan rasio keuangan yang berbeda akan menghasilkan perkiraan yang berbeda pula dalam suatu perusahaan.

2. Analisis Multivariate (Variabel Keuangan Ganda)

Model Diskriminan Analisis (MDA) adalah teknik statistik yang digunakan untuk mengklasifikasikan pengamatam ke dalam sebuah kelompok dari beberapa prioritas pengelompokan MDA yang digunakan terutama menggolongkan dalam membuat prediksi ke masalah-masalah dalam variabel dependent muncul dalam bentuk kualitatif.

Hanafi dan Halim (2005) “Model kebangkrutan sudah dikembangkan ke beberapa negara. Altman (1983-1984) melakukan survey model-model yang dikembangkan di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Swiss, Brasil, Australia, Inggris, Irlandia, Kanada, Belanda dan Perancis. Salah satu masalah yang bisa dibahas adalah apakah ada kesamaan rasio keuangan yang bisa dipakai untuk prediksi kebangkrutan untuk semua negara, ataukah mempunyai kekhususan. Tabel berikut ini menyajikan rasio-rasio keunagan komparatif untuk beberapa negara studi.

Nilai Zi juga disajikan.Nilai tersebut dicari dengan persamaan diskriminan sebagai berikut ini :

Zi = 1.2 X1 + 1.4 X2 + 3.3 X3 + 0.6 X4 + 0.99 X5

dimana :

X1 = Working Capital / Total Assets.
X2 = Retained Earnings / Total Assets.
X3 = Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets.
X4 = Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities. X5 = Sales/ Total Assets.

Dalam laporannya Altman mengelompokkan perusahaan menjadi dua kategori, yaitu pailit dan tidak pailit. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh nilai Z rata-rata kelompok perusahaan yang pailit sebesar -0,2599 dan rata-rata untuk perusahaan yang tidak pailit sebesar 4,8863. Sebagai patokan untuk mengkalsifikasikan perusahaan yang dipilih batas nilai Z sebesar 2,675 sebagai nilai kritis yang merupakan klasifikasi umum. Jadi nilai perusahaan dengan nilai skor Z yang lebih besar dari 2,675 diklasifikasikan perusahaan yang tidak pailit.

Selain metode diatas, untuk memprediksi kebangkitan dapat dilakukan dengan melakukan analisis rasio keuangan.

Rasio keuangan yang sering digunakan dalam berbagai analisis keuangan adalah : rasio likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas.

  • Rasio Likuiditas, bertujuan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

  • Rasio Laverage, bertujuan mengukur seberapa jauh kebutuhan keuangan perusahaan dibiayai dengan dana pinjaman.

  • Rasio Aktivitas, bertujuan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam mengoperasikan dana.

  • Rasio Profitabilitas, bertujuan mengukur efektifitas manajemen yang tercermin pada imbalan hasil dari investasi melalui kegiatan penjualan.

  • Rasio Pertumbuhan, bertujuan mengukur kemampuan perusahaan dalam mempertahankan bkedudukannya dalam pertumbuhan perekonomian dan dalam industri.

  • Rasio Penilaian, bertujuan mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan karena rasio ini merupakan pencerminan dari rasio resiko dan rasio imbalan hasil.

  • Rasio Pasar, rasio pasar mengukur harga pasar saham perusahaan, relatif terhadap nilai bukunya. Sudut pandang rasio ini lebih banyak berdasar pada sudut pandang investor (atau calon investor), meskipun pihak manajemen juga berkepentingan terhadap rasio-rasio ini (Hanafi, 2004).

    Ada beberapa rasio yang bisa dihitung dalam rasio pasar ini, yaitu :

    1. PER (Price Earning Ratio)
      PER melihat harga pasar saham relatif terhadap earning-nya. Perusahaan yang diharapkan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tinggi (yang berarti mempunyai prospek yang baik), biasanya mempunyai PER yang tinggi.

    2. Devidend Yield
      Devidend Yield merupakan dari sebagian total return yang akan dieperoleh investor. Bagian dari return yang lain adalah capital gain, yang diperoleh dari selisih positif antara harga jual dengan harga beli.

    3. Rasio Pembayaran Deviden
      Rasio ini melihat bagian earning (pendapatan) yang dibayarkan sebagai deviden kepada investor. Bagian lain yang tidak dibagikan akan di investaikan kembali ke perusahaan.

Kesulitan keuangan adalah suatu situasi di mana arus kas dari aktivitas operasi sebuah perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajiban lancar (seperti utang dagang atau biaya bunga) dan perusahaan dipaksa untuk mengambil tindakan yang memperbaiki.

Kesulitan keuangan dapat membawa sebuah perusahaan pada kegagalan pada sebuah kontrak, hal ini dapat melibatkan restruktur keuangan antar perusahaan, para krediturnya, dan para investor sahamnya. Biasanya perusahaan dipaksa untuk mengambil tindakan yang tidak akan dilakukan jika mempunyai kecukupan arus kas.

Kebangkrutan secara sederhana dapat diartikan bahwa utang-utang kita lebih besar dibandingkan dengan aset yang kita miliki. Atau, dapat juga ditafsirkan sebagai kondisi di mana biaya hidup kita lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang kita peroleh.

Palepu, Bernard dan Healy (2000), lebih menekankan masalah kesulitan keuangan dari sudut pandang kreditor, menyebutkan betapa pentingnya masalah kesulitan keuangan dalam analisis kredit:

“Sebuah elemen kunci dari analisis kredit adalah prediksi dari kemungkinan sebuah perusahaan akan menghadapi kesulitan keuangan”.

Lebih lanjut, Palepu, Bernard dan Healy (2000), menyebutkan tujuan dari analisis ini sebagai berikut:

Tujuan dari analisis ini tidak hanya menilai kemungkinan bahwa seorang peminjam potensial akan gagal untuk mengembalikan pinjamannya. Penting juga untuk mengenali sifat dasar dari resiko-resiko kunci yang terkait, dan bagaimana pinjaman dapat terstruktur untuk mengurangi atau mengontrol resiko-resiko tersebut. Pinjaman yang terstruktur dengan baik menyediakan pinjaman dengan “exit strategy” yang dapat berjalan, bahkan dalam kasus kegagalan. Kunci untuk struktur ini adalah perjanjian yang di-desain secara tepat berdasarkan akuntansi.

Indikator Kebangkrutan

Berdasarkan pendapat Rico Lesmana dan Rudi Surjanto (2003), tanda-tanda yang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan dalam bisnisnya dan mungkin kesulitan, antara lain sebagai berikut:

  1. Penjualan atau pendapatan yang mengalami penurunan secara signifikan.

  2. Penurunan laba dan atau arus kas dari operasi.

  3. Penurunan total aktiva.

  4. Harga pasar saham menurun secara signifikan.

  5. Kemungkinan gagal yang besar dalam industri, atau industri dengan resiko yang tinggi.

  6. Young Company, perusahaan berusia muda pada umumnya mengalami kesulitan di tahun-tahun awal operasinya, sehingga kalau tidak didukung sumber permodalan yang kuat akan dapat mengalami kesulitan keuangan yang serius dan berakhir dengan kebangkrutan.

  7. Pemotongan yang signifikan dalam dividen.

Analisis Kesehatan Keuangan Perusahaan

Berdasarkan pendapat Agnes Sawir (2005), rasio-rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari suatu perusahaan. Keterbatasan analisis rasio timbul dari kenyataan bahwa metodologinya pada dasarnya bersifat univariate, yang artinya setiap rasio diuji secara terpisah. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan dari analisis rasio maka perlu dikombinasikan berbagai rasio agar menjadi suatu model prediksi yang berarti.

Untuk tujuan tersebut, Agnes Sawir (2005, p22) menyatakan bahwa ada dua teknik stastistik yang digunakan yaitu:

  1. Analisis regresi, menggunakan data masa lampau untuk memprediksi nilai yang akan datang dari suatu variabel dependent.

  2. Analisis diskriminan, menghasilkan suatu indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari beberapa pengelompokkan yang bersifat apriori.

Altman Models (Z-Skor Model)

Edward I. Altman pada pertengahan tahun 1960 membuat model persamaan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan menggunakan analisis diskriminan (STIE Supra 2003, p95). Menurut pendapat Agnes Sawir (2005), Z-Skor hasil kreasi Altman telah teruji keandalannya sehingga bertahan sampai sekarang.

Fungsi diskriminan Z (Zeta) yang ditemukan Edward I. Altman adalah :

Z = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,998 X5

dimana:

Z = Zeta (Z-Skor atau total skor)

X1 = Modal Kerja / Total Aktiva
Rasio ini mengukur tingkat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Rasio ini merefleksikan likuiditas serta karakteristik ukuran perusahaan, dimana suatu perusahan yang mengalami kerugian operasional akan terus menerus mendapatkan bahwa modal kerjanya menyusut secara relatif terhadap total aktivanya. Modal kerja didefinisikan sebagai total aktiva lancar dikurangi total kewajiban lancar. Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun. Dengan demikian semakin kecil rasio ini, menunjukkan kondisi likuiditas perusahaan yang semakin memburuk. Berdasarkan hal tersebut, Altman memberikan bobot rasio ini sebesar 0,717.

X2 = Laba Ditahan / Total Aktiva
Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio ini karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperbesar akumulasi laba ditahan. Perusahaan yang relatif baru, biasanya belum dapat mengumpulkan laba, sehingga laba ditahan terhadap total aktivanya menghasilkan rasio yang relatif kecil, kecuali yang labanya sangat besar pada awal berdirinya. Bobot yang diberikan untuk rasio ini adalah 0,847.

X3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak / Total Aktiva
Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dari aktiva yang digunakan. Rasio ini berfungsi sebagai alat pengaman jika perusahaan mengalami kegagalan keuangan, oleh karena itu rasio ini dianggap paling berkontribusi dalam menilai kelangsungan hidup perusahaan. Altman memberikan bobot yang paling besar yaitu 3,107.

X4 = Nilai Pasar Saham / Total Utang
Nilai pasar saham adalah jumlah saham yang beredar dikalikan dengan nilai kurs. Karena nilai pasar ini sangat obyektif, maka Altman lebih cenderung menilai pasar modal saham dengan nilai bukunya. Rasio ini dipakai untuk menilai solvabilitas perusahaan, yaitu kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka panjang atau mengukur kemampuan permodalan perusahaan dalam menanggung seluruh beban utangnya. Nilai perusahaan dapat menurun sebelum perusahaan mengalami insolvency (kegagalan usaha), sehingga nilai pasar modal saham dapat dijadikan suatu alat peramal yang efektif untuk mengenali adanya kebangkrutan. Bobot yang diberikan untuk rasio ini adalah 0,420.

X5 = Penjualan / Total Aktiva
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam meningkatkan usaha, yaitu sejauh mana efektivitas perusahaan menggunakan sumber dayanya untuk meningkatkan penjualan dengan berbagai macam kondisi persaingan. Rasio yang lebih besar mencerminkan kemampuan perusahaan mengatasi persaingan yang ada. Bobot yang diberikan untuk rasio ini adalah 0,998.

Dengan kriteria sebagai berikut:

Apabila total skor (Z-skor) perusahaan lebih besar daripada 2,90 berarti segalanya berjalan baik (non-bankrupt). Apabila total skor (Z-skor) lebih kecil daripada 1,23, kebangkrutan (bankrupt) mungkin terjadi. Bila total skor (Z-skor) perusahaan berada diantara 1,23 sampai dengan 2,90, perusahaan berada dalam wilayah abu-abu (grey area), atau pada wilayah ini ada banyak perusahaan dengan skor yang lebih tinggi telah bangkrut, sementara perusahaan dengan skor lebih rendah masih bertahan hidup.

Kategori Bangkrut

Berdasarkan pendapat Agnes Sawir (2005), Z-skor pertama kali dikembangkan untuk menentukan kecenderungan kebangkrutan, dapat juga digunakan sebagai ukuran dari keseluruhan kinerja keuangan perusahaan. Hal yang menarik mengenai Z-skor adalah keandalannya sebagai alat analisis tanpa memperhatikan bagaimana ukuran perusahaan. Meskipun seandainya perusahaan sangat makmur, bila Z-skor mulai turun dengan tajam, lonceng peringatan harus berdering. Atau, bila perusahaan baru saja survive, Z-skor bisa digunakan untuk membantu mengevaluasi dampak yang telah diperhitungkan dari perubahan upaya-upaya manajemen perusahaan.