Cara penentuan obesitas berdasarkan antropometrik
1. Indeks masa tubuh (IMT)
Seorang ahli matematika dan statistik, Lambert Adolf Jacques, menemukan konsep Body Mass Indeks (BMI) atau Indeks Masa Tubuh (IMT), yakni berat badan dibagi tinggi badan pangkat dua. Sampai sekarang IMT digunakan untuk pengelompokan obesitas dan tidak obesitas, karena obesitas menentukan resiko komorbiditas maka WHO telah mengelompokan nilai IMT. IMT merupakan indeks pengukuran yang sederhana bagi seseorang yang kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan kegemukan / obesitas. Cut off point dalam penentuan obesitas adalah IMT ≥ 30.00. Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga macam yaitu : obesitas tingkat I dengan IMT 30.00-34.99; obesitas tingkat II dengan IMT 35.00-39.99; dan obesitas tingkat III dengan IMT ≥ 40.00.
Pada tahun 2000 diselenggrakan “The Asia Pasific Persfective : Redefining Obesity and Treatment” yang menghasilkan rekomendasi pengukuran indeks baru untuk penentuan status overweght dan obesitas di kawasan Asia Pasifik. Penelitian dialakukan oleh para ahli berdasarkan bukti-bukti medis yang menunjukkan hasil bahwa penduduk Asia cenderung tidak memperlihatkan tanda-tanda overweight walaupun sudah menderita obesitas abdominal. Cut off Point obesitas untuk penduduk Asia Pasifik yaitu IMT ≥ 25.00, berdasarkan hal ini maka di Asia Pasifik obesitas dibagi menjadi 2 macam yaitu : obesitas tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan IMT ≥ 30.00 (Tabel 2.2) (WHO 2000; Weisell, 2002;Tchernof, 2007; Harris, 2009).
Tabel Klasifikasi IMT untuk Asia (Weisell, 2002)
2 Weist circumference (lingkar pinggang)
Distribusi lemak dalam tubuh dapat diketahui dengan menggunakan pengukuran lingkar lengan atas (LLA), pengukuran linkar panggul / pinggang, dan melihat ciri fisik bentuk tubuh. Lemak yang berada disekitar perut memberikan resiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan lemak di daerah paha atau bagian tubuh lain. Suatu metode cukup akurat untuk mengetahui resiko pada obesitas.
Pengukuran Weist Circumference merupakan cara yang mudah untuk menentukan body shape yaitu dilakukan pada pertengahan antara lower rib dan crista iliaca (pada titik yang paling sempit), dengan posisi penderita berdiri, dan diukur pada akhir respirasi pelan dan dalam. Diameter sagital diukur pada posisi supine, setinggi pertengahan lower rib dan crista iliaca.
Gambar Lokasi midpoint tempat pengukuran lingkar pinggang (waist circumference).
Hasil pengukuran lingkar pinggang ini tidak hanya mencerminkan jaringan adipose, tetapi meliputi seluruh kompertemennya. Lingkar pinggang berkolerasi dengan resiko jantung koroner dan diabetes. Lingkar pinggang lebih dari 94 cm pada laki-laki dan lebih dari 88 cm pada perempuan (Tabel 2.3), meningkatkan resiko komplikasi metabilik (WHO, 2000; Dewan & Wilding, 2003; Huxley et al, 2010; Arsenalt et al, 2010 ; Cor et al, 2011).
Tabel Pengukuran lingkar panggul / pinggang
3. Waist Hip Ratio (rasio lingkar panggul / pinggang)
Seseorang yang lemak nya banyak tertimbun di perut mungkin akan lebih mudah mengalami berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas. Mereka memiliki resiko yang lebih tinggi. Gambaran buah pir lebih baik dibandingkan dengan gambaran buah apel. Untuk membedakan kedua gambaran tersebut, telah ditemukan suatu cara untuk menentukan apakah seseorang berbentuk seperti buah apel atau seperti buah pir, yaitu dengan menghitung rasio pinggang dengan pinggul. Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan pinggul diukur pada titik yang terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan ukuran pinggul.
Seorang wanita dengan ukuran pinggang 87,5 cm dan ukuran pinggul 115 cm, memiliki rasio pinggang-pinggul sebesar 0,76. Wanita dengan rasio pinggang: pinggul lebih dari 0,8 atau pria dengan rasio pinggang: pinggul lebih dari 1, dikatakan berbentuk apel.Waist hip ratio (WHR) atau Waist to hip rasio adalah rasio antara linkar pinggang (diukur melingkar melewati iga terbawah dan iliaca) terhadap lingkar panggul (paha) yang diukur pada trochanter mayor (Gambar 2.3), dengan angka nomral WHR adalah < 0,95 untuk laki-laki dan <0,8 untuk perempuan. (WHO, 2000; Hsieh, 2003; Semiz S et al, 2007; Huxley et al, 2010).
Gambar Pengukuran WHR. Seseorang ramping (kiri), pinggang dapat diukur melingkar melewati iga terbawah (titik tersempit), sementara untuk orang gemuk (obesitas) (kanan), pinggang dapat diukur di sekitar satu inci di atas pusar. Pinggul diukur setinggi trochantor major, pada diameter yang terlebar dan dilakukan pada posisi pasien berdiri.
4. Indeks BROCA
Indeks Broca dikembangkan oleh Paul Broca, ahli bedah Perancis yang hidup diantara tahun 1824 dan 1880. Indeks Broca adalah hanya perkiraan kasar dan digunakan juga untuk mengetahui berat badan ideal. Perhitungan ini menggunakan rumus BB dan TB yaitu: BB = [TB(cm)-100] x 100% . Bila hasilnya : 90-110% termasuk Berat badan normal ;110-120% termasuk Kelebihan berat badan (Overweight) dan jika hasilnya > 120% termasuk Kegemukan (Obesitas). (Halls, 2008)
5 Skin Fold Caliper
Tebal lemak subkutan lipatan kulit dengan menggunakan “Skin Fold Caliper” (Gambar 2.5) pada beberapa tempat, antara lain: triceps: diukur lipatan kulit yang menggantung bebas antara bahu dan siku. Dinyatakan obesitas bila tebal lemak subkutan> 20 mm pada pria dan > 30 mm pada wanita. Biceps, skapula, supra iliaka dan subkostal. Bila melebihi 1 standar deviasi setelah dibandingkan dengan standar yang ada, dapat dinyatakan obesitas. Pengukuran dikeempat bagian tubuh ini lebih dianjurkan dari pada berat badan, karena tidak dipengaruhi tinggi badan, sehingga dapat memberi nilai untuk tiap umur dan jenis kelamin. (Muth, 2009)
Gambar Alat Skin Fold Caliper dan cara pengukurannya. (Muth, 2009)
6. Underwater weight
Underwater weight merupakan pengukuran berat badan dilakukan di dalam air dan kemudian lemak tubuh dihitung berdasarkan jumlah air yang tersisa, tetapi cara ini dianggap tidak efisien karena banyak orang yang tidak nyaman berada di dalam air, dan juga bagi penderita dengan penyakit tertentu juga tidak baik untuk melakukan pengukuran berat badan ini.
Gambar Pengukuran Underwater weight. Pengukuran dianggap kurang efisien karena membutuhkan peralatan yang mahal, dan penderita tertentu merasa kurang nyaman dalam pengukuran.
Penentuan obesitas berdasarkan laboratorik
1. BOD POD
BOD POD merupakan salah satu alat untuk mengukur lemak dalam tubuh, yaitu berupa ruang berbentuk telur yang telah dikomputerisasi. Setelah seseorang memasuki BOD POD, jumlah udara yang tersisa digunakan untuk mengukur lemak tubuh (Ellis, 2007).
Gambar Pengukuran BodPod.
BodPod memperkirakan volume tubuh dengan mengukur tekanan udara. Sensor tekanan terkomputerisasi menentukan jumlah udara yang dikeluarkan oleh tubuh seseorang ketika mereka duduk di ruang BodPod. (Ellis, 2007)
2. DXA (Dual Energy X-ray Absorptometry)
DXA adalah salah satu cara menentukan jumlah dan lokasi lemak dalam tubuh yaitu dengan cara menyerupai scaning tulang. Sinar x digunakan untuk menentukan jumlah dan lokasi dari lemak (NHANES, 2007).
3. Bioelectric impedance analysis (BIA)
BIA ini juga merupakan salah satu cara pengukuran obesitas yaitu dengan ara penderita berdiri di atas skala khusus dan sejumlah arus listrik yang tidak berbahaya dialirkanke seluruh tubuh lalu dianalisa (Kyel et al, 2004).
4. CT SCAN / Computed Tomography Scan
Pertama kali diperkenalkan oleh Hounsfield pada tahun 1973, dan pada perkembangannya yaitu pada tahun 1980, mulai dipakai di seluruh rumah sakit di dunia untuk keperluan diagnosa, dan juga sudah diperkenalkan dalam pemeriksaan / pengukuran volume organ visceral dan pada tahun 1981 berkembang dalam pengukuran volume jaringan lemak. CT Scan merupakan gold standard untuk menghitung secara kwantitatif jaringan adipose intraabdominal. Tetapi penggunaannya masih terbatas, dengan pertimbangan ekomis dan radiation exposure (Gong, 2007).
5. Magnetic Resonace Imaging (MRI)
Pada tahun 1980, Foster melaporkan pertama kali penggunaan MRI untuk menghitung komposisi tubuh manusia. MRI dipergunakan untuk menghitung jaringan adipose intra abdominal, dan sangat tergantung setting dari MRI. Kelebihan MRI tidak tergantung pada operator, sehingga tidak terdapat inter observer dan tidak menggunakan X-Ray. Pada penggunaannya lebih objektif daripada ultrasonografi, serta dapat digunakan pada pasien muda yang menderita hepatic steatosis. Kerugian dari pemeriksaan ini adalah membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan CT Scan, dan pada saat pemeriksaan berlangsung pasien harus menahan nafas serta tidak diperbolehkan bergerak. Alat ini juga kurang efisien karena mahal dan tidak bisa di pindah ke tempat lain. (Pacificio et al, 2007).
6. Gelombang Ultrasonic
Gelombang ultrasonic dianggap merupakan metode gold standard untuk menilai jaringan adipose visceral, pre peritoneal dan subcutaneous, bila dibandingkan dengan pengukuran IMT dan WHR yang juga digunakan untuk menilai jaringan adipose tubuh, tetapi tidak dapat menilai intra abdomen. Ultrasonografi merupakan teknik alternatif, tidak invasive untuk menghitung jaringan adipose visceral dan subkutan, hal ini dapat mengatasi kekurangan dari pengukuran antropometerik (Pineau, 2007; Chiloiro et al, 2008).