Note : Lanjutan post diatas
OBSERVASI SETELAH TINDAKAN
Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman dengan bebat dan bidai yang dipasang, apakah nyeri sudah berkurang, apakah terlalu ketat atau terlalu longgar. Bila pasien masih merasakan bidai terlalu keras, tambahkan kapas di bawah bidai. Longgarkan bebat jika dirasakan terlalu kencang.
Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah distal segera setelah memasang bebat dan bidai, meliputi :
- Warna kulit di distal
- Fungsi sensorik dan motorik ekstremitas.
- Pulsasi arteri
- Pengisian kapiler
Perawatan rutin terhadap pasien pasca pemasangan bebat dan bidai adalah elevasi ekstremitas secara rutin, pemberian obat analgetika dan anti inflamasi, serta anti pruritik untuk mengurangi rasa gatal dan untuk mengurangi nyeri. Berikan instruksi kepada pasien untuk menjaga bebatnya dalam keadaan bersih dan kering serta tidak melepasnya lebih awal dari waktu yang diinstruksikan dokter.
KOMPLIKASI PEMASANGAN
Dalam 1-2 hari pasien kemungkinan akan merasakan bebatnya menjadi lebih kencang karena berkembangnya oedema jaringan. Berikan instruksi secara jelas kepada pasien untuk datang kembali ke dokter bila muncul gejala atau tanda gangguan neurovaskuler atau compartment syndrome, seperti bertambahnya pembengkakan atau rasa nyeri, kesulitan menggerakkan jari, dan gangguan fungsi sensorik.
REPOSISI FRAKTUR TERTUTUP DAN DISLOKASI
Penatalaksanaan fraktur terdiri dari manipulasi untuk memperbaiki posisi fragmen dan splintage untuk menahan fragmen sampai menyatu. Penyembuhan fraktur didukung oleh pemadatan tulang secara fisiologis, sehingga aktivitas otot dan pemberian beban awal penting untuk dilakukan.
Tujuan ini didukung oleh 3 proses yaitu reduksi, imobilisasi dan latihan.
Dua masalah yang penting yaitu bagaimana mengimobilisasi fraktur namun tetap memungkinkan pasien menggunakan anggota gerak dengan cukup; hal ini adalah dua hal yang berlawanan (menahan versus menggerakkan) yang dinginkan ahli bedah untuk mempercepat kesembuhan (misalnya dengan fiksasi internal). Akan tetapi, ahli bedah juga ingin menghindari resiko yang tidak diinginkan; ini adalah konflik kedua ( kecepatan versus keamanan).
Faktor yang paling penting dalam menentukan kecenderungan untuk sembuh secara alami adalah kondisi jaringan lunak sekitar dan suplai darah lokal. Fraktur energi rendah ( atau velositas rendah) hanya menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang parah, walaupun fraktur terbuka ataupun tertutup.
Tscheme (Oestern and Tscherne, 1984) mengklasifikasikan luka tertutup sebagai berikut :
- Grade 0 : Fraktur simple dengan sedikit atau tidak ada luka jaringan lunak
- Grade 1: Fraktur dengan abrasi superficial atau memar pada jaringan kulit dan jaringan subkutan.
- Grade 2 : Fraktur yang lebih parah dengan tanda kerusakan jaringan lunak dan ancaman sindrom compartment.
- Grade 3 : Luka berat dengan kerusakan jaringan halus yang jelas.
Semakin parah tingkatan luka makan semakin besar kemungkinan membutuhkan beberapa bentuk fiksasi mekanis; stabilitas tulang yang baik membantu penyembuhan jaringan lunak.
REDUKSI
Walaupun penatalaksanaan umum dan resusitasi harus didahulukan, namun penanganan fraktur diharapkan tidak terlambat; pembengkakan bagian lunak selama 12 jam pertama menyebabkan reduksi semakin sulit. Walaupun demikian, terdapat beberapa kondisi di mana reduksi tidak dibutuhkan yaitu :
- Saat hanya sedikit atau tidak ada dislokasi;
- Saat dislokasi bukan suatu masalah ( contoh: fraktur clavicula) dan
- Saat reduksi tidak mungkin berhasil ( contoh: fraktur kompresi pada vertebra)
Reduksi harus ditujukan untuk fragmen tulang dengan apposisi yang cukup dan garis fraktur yang normal. Semakin besar area permukaan kontak antarfragmen semakin besar kemungkinan terjadinya penyembuhan. Adanya jarak antara ujung fragmen merupakan penyebab sering union yang terlambat atau nonunion.
Di sisi lain, selama ada kontak dan fragmen segaris (alignment) sedikit overlap pada permukaan fraktur masih diperbolehkan. Pada fraktur yang meliputi pemukaan sendi, reduksi harus sedekat mungkin mendekati sempurna karena adanya irreguleritas akan menyebabkan distribusi muatan yang abnormal antarpermukaan yang akan berpredispoisisi pada perubahan degenaratif pada kartilago sendi.
Terdapat 2 metode reduksi yaitu tertutup dan terbuka.
Reduksi Tertutup
Di bawah anestesi dan relaksasi otot, fraktur direduksi dengan 3 maneuver:
- Bagian distal anggota gerak ditarik pada garis tulang;
- Karena fragment terpisah, maka direduksi dengan melawan arah gaya awal
- Garis fraktur yang lurus diusahakan pada setiap bidang.
Hal ini lebih efektif dilakukan ketika periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh karena ikatan jaringan lunak mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi (Charnley 1961).
Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yg terlalu kuat sehingga membutuhkan traksi yg lama. Traksi tulang atau kulit selama beberapa hari menyebabkan tegangan jaringan lunak menurun dan memudahkan tejadinya alingment yg lebih baik; sebagai contoh hal dapat dilakukan untuk fraktur femur, fraktur shaft tibia dan fraktur humerus supracondylus pada anak.
Pada umumnya reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur dislokasi minimal, untuk sebagian besar fraktur pada anak, untuk fraktur yg tidak stabil setelah reduksi dan dapat digunakan untuk beberapa bidai dan gips. Fraktur tidak stabil dapat direduksi juga dengan metode tertutup sebelum dengan fiksasi internal atau eksternal. Hal ini dilakukan untuk menghindari manipulasi langsung sisi fraktur oleh reduksi terbuka yang merusak suplai darah lokal dan mungkin menyebabkan waktu penyembuhan lebih lambat. Traksi yg mereduksi fragmen fraktur melalui ligamentotaxis (tarikan ligament) biasanya dapat diaplikasikan menggunakan fracture table atau bone distraktor.
Gambar Reposisi tertutup (a) Traksi pada garis tulang (b) Disimpaksi (c) Menekan fragmen pada posisi reduksi ( Sumber : Solomon L. Warwick DJ. Nayagam S. Principles of Fracture. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 8th ed. Oxford University Press Inc. New York. 2001)
Reduksi Terbuka
Indikasi reduksi operatif yaitu :
- reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen atau karena jaringan lunak berada diantaranya,
- terdapat fragmen sendi yang membutuhkan pengaturan posisi yang akurat,
- untuk traksi (avulsi) fraktur dengan fragmen yang terpisah.
DISLOKASI
Dislokasi berarti permukaan sendi bergeser secara lengkap dan tidak utuh lagi. Subluksasi menekankan pada pergeseran dengan derajat yang lebih ringan dengan permukaan sendi sebagian masih berapposisi.
Gambaran Klinis
Oleh karena cedera, sendi terasa nyeri dan pasien berusaha untuk menghindari pergerakan sendi. Bentuk sendi abnormal dan penanda tulang dapat bergeser. Anggota gerak yang mengalami dislokasi sering ditahan pada posisi tertentu karena pergerakan menyebabkan rasa nyeri dan juga terbatas. Foto sinar-X biasanya memperjelas diagnosis, dan juga menunjukkan apakah ada luka tulang yang mempengaruhi stabilitas sendi- misalnya dislokasi fraktur. Sendi yang dicurigai terjadi dislokasi dapat dites dengan menekannya, dan bila terjadi dislokasi pada lokasi tersebut pasien akan merasakan rasa nyeri menetap yang tidak tertahankan lebih jauh.
Jika batas sendi dan ligamen rusak, dislokasi berulang dapat terjadi. Hal ini terutama pada dislokasi sendi bahu dan sendi patellofemoral. Pada dislokasi habitual (voluntary), pasien mengalami dislokasi atau subluksasi sendi karena kontraksi otot secara volunter. Kelemahan ligament dapat mempermudah terjadinya hal ini.
Penatalaksanaan
Dislokasi harus direposisi sesegera mungkin; anestesi umum dan muscle relaxant kadang dibutuhkan. Sendi kemudian diistirahatkan atau diimobilisasi sampai pembengkakan jaringan lunak berkurang, biasanya setelah 2 minggu. Latihan gerakan terkontrol dimulai dengan penguatan fungsi kemudian bertahap berkembang dengan monitor fisioterapi. Biasanya rekonstruksi bedah dibutuhkan untuk kondisi ketidakstabilan sendi yang masih tersisa.
Komplikasi
Komplikasi pada fraktur juga terlihat setelah dislokasi yaitu kerusakan pembuluh darah, kerusakan saraf, nekrosis avaskular tulang, osifikasi heterotopic, kaku sendi dan osteoarthritis sekunder.
Sumber :
Jarot Subandono, Warsito, Ida Nurwati, Mutmainah, E. Listyaningsih, Isna Qadrijati, Dian Ariningrum, Rieva Ermawan, Tito Sumarwoto, Desy Kurniawati Tandiyo, Anak Agung Alit Kirti, Pembebatan dan pembidaian, Fakultas Kedokteran UNS dan RSU dr Moewardi