Bagaimana cara berpakaian yang baik menurut Islam?

Diskusi cara berpakaian umat Islam di Indonesia menjadi hangat kembali akibat pernyataan yang dikeluarkan oleh Tengku Zulkarnain yang membahas masalah Jubah dan Batik.

Bagaimana menurut anda ?

Berikut adalah tanggapan dari seorang warga NU, Alex Ramses, terkait dengan pernyataan Tengku Zulkarnain tentang Jubah dan Batik.

_Assalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh. _

Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Allohumma Sholli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala aalihi washohbihi ajma’in. Wa ba’du…

Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada Ustaz Tengku Zulkarnain.

Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa mengenakan pakaian syuhroh (nyeleneh/tidak lazim) di dunia, Allah akan memakaikan pakaian kehinaan untuknya di hari kiamat.”

Dalam riwayat lain ada tambahan, “Lalu dikobarkan api pada pakaian itu”.

Ada pula riwayat lain yang redaksinya jika diterjemahkan menjadi

“Barang siapa mengenakan pakaian syuhroh maka Allah berpaling darinya sampai dia melepaskan pakaian itu.”

Redaksi lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, jika diterjemahkan berbunyi,

“Barang siapa memakai pakaian syuhroh, Allah akan berpaling darinya meskipun dia seorang wali.”

Banyak sekali ulama yang memberikan penjelasan mengenai apa itu pakaian syuhroh, di antaranya Ibnu Taimiyah, Assyaukani, Abul Walid al-Bahji, Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani, Ibnu Ruslan, dan lain-lain.

Jika penjelasan dari para ulama itu dirangkum, kita akan mendapatkan pemahaman bahwa pakaian syuhroh adalah pakaian yang tidak lazim dan terlihat aneh atau nyeleneh pada suatu masyarakat. Ketidak-laziman itu bisa jadi karena pakaian itu pakaian orang asing, atau warna dan bentuknya memang aneh dan terlalu menyolok, meskipun hasil kreasi orang setempat.

Pakaian syuhroh juga bisa berarti pakaian yang sengaja dipakai untuk menarik perhatian orang sehingga ia menjadi terkenal atau mendapat pujian; baik dipuji karena indahnya pakaian itu, atau dipuji karena buruknya pakaian itu sehingga ia dianggap sebagai orang yang zuhud terhadap dunia.

Al-Walid Al-Baji mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak menyukai pakaian yang tidak lazim; yaitu pakaian yang membuat pemakainya terkenal karena jeleknya atau terkenal karena indahnya.

Adapun Assyaukani mengatakan bahwa jika suatu pakaian dimaksudkan untuk mengundang perhatian orang, bagus atau jelek, maka sama haramnya.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa tuntunan dalam berpakaian adalah agar seseorang mengenakan pakaian yang lazim dan mudah didapatkan menurut warga daerah tempat dia tinggal.

Hadis di atas, dengan berbagai macam redaksi dan jalur riwayat, sangat terkenal di kalangan para ulama sehingga mereka berbicara mengenai hukum mengenakan pakaian syuhroh.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa memakai pakaian syuhroh hukumnya haram. Adapun dalam mazhab Hanbali, memakai pakaian syuhroh hanya dianggap makruh, tidak sampai haram. Dalam madzhab Hanbali ada penekanan kata “pakaian yang tidak sesuai dengan daerah tempat tinggal.”

Makruh memakai pakaian yang masuk kategori syuhroh, atau tidak sesuai dengan pakaian orang umum di suatu daerah/negara.”

Imam Ahmad pernah menyuruh orang mengganti pakaian karena pakaiannya tidak lazim, tetapi beliau tidak mengatakan itu haram, sambil memberitahu seandainya orang tersebut memakainya di Makkah atau di Madinah, maka beliau tidak akan menyuruhnya mengganti pakaian tersebut. Tetapi di tempat Imam Ahmad melihat orang itu, pakaian yang dikenakannya terlihat nyeleneh, sehingga masuk dalam kategori syuhroh.

Para ulama Kuwait sebagaimana dirangkum dalam mausu’ah fiqhiyah juga menganggap semua jenis pakaian yang tidak lazim dipakai suatu masyarakat tertentu, maka hukumnya makruh.

Perlu diketahui juga bahwa tidak semua yang bersifat tradisional pasti boleh dipakai, karena yang tradisionalpun, jika sudah tidak lazim dipakai, maka ia menjadi syuhroh juga.

Al-Hashin mengatakan bahwa Zubaid Al-Yami mengenakan Burnus, semacam jubah yang ada tudung kepalanya, tetapi oleh Ibrahim Annakha’i disalahkan. Al-Hashin membela Zubaid dengan mengatakan kepada Annakha’i bahwa orang dulu biasa memakai itu.

Annakha’i menjawab, “Ya benar, dulu orang-orang memakainya, tapi orang-orang itu sudah wafat semua. Kalau sekarang orang memakai burnus, maka akan jadi perhatian orang dan ditunjuk dengan jari sebagai orang aneh.”

Pernyataan Annakha’i ini menjelaskan bahwa pakaian tradisional suatu daerahpun, apabila sudah tidak lazim dipakai orang, maka ia termasuk syuhroh. Hal ini juga menunjukkan bahwa suatu gaya berpakaian bisa cepat berubah, bisa jadi hanya dalam hitungan satu generasi. Gaya berpakaian umat Islam di Nusantara pada abad ke 19 bisa jadi berbeda dengan abad ke 20, dan seterusnya.

Maka melihat cara berpakaian orang pada zaman dahulu, tidak bisa jadi alasan untuk meyakini bahwa cara berpakaian tersebut lebih utama dari zaman lainnya. Jenis dan bentuk pakaian, produk budaya negara tertentu, hasil kreasi bangsa tertentu, juga tidak menjadi acuan kebaikan dalam menilai cara berpakaian menurut agama.

Para ulama memberi batasan dalam berpakain yang diringkas dalam kata, Laa yashifu, walaa yasyiffu, walaa yaksyifu; “tidak menggambarkan bentuk tubuh (ketat), tidak transparan atau tembus pandang, dan tidak menyingkap aurat, kemudian ditambahkan ‘serta tidak syuhroh’.”

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir bermazhab Syafi’i), mengatakan bahwa kebiasaan berpakaian Rasulullah saw memakai surban, membawa tongkat dan lain-lain yang lazim digunakan oleh masyarakat di tempat hidup Rasul saw pada zamannya, tidak boleh ditiru di semua tempat dan semua waktu.

Meniru gaya penampilan Rasul saw, di tempat yang tidak lazim memakai surban dan membawa tongkat bukanlah sunnah, tetapi justru termasuk syuhroh yang dilarang oleh nabi saw sendiri. Ini beda dengan sunnah memegang tongkat ketika khutbah, karena bagi sebagian ulama, hal itu merupakan urusan ibadah murni, bukan style berpakaian.

Maka tidak aneh jika Ibnu Taimiyah yang mengharamkan syuhroh-pun, menganggap ibadah tanpa memakai tutup kepala sebagai perbuatan munkar. Padahal di luar ibadah, tutup kepala bisa jadi masuk dalam kategori syuhroh pada zaman dan tempat tertentu.

Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani juga menyatakan bahwa pakaian yang membuat orang jadi perhatian serta tidak sejalan dengan kebiasaan suatu daerah dan warganya haruslah dihindari.

Para ulama Sunni berpendapat bahwa seorang Muslim tidak selayaknya berpenampilan beda dari kebiasaan warga di mana dia tinggal dalam berpakaian, sepanjang pakaian yang biasa digunakan warga di situ tidak bertentangan dengan aturan agama.

Maka para ulama menganjurkan untuk meniru cara berpakaian Rasulullah saw itu dalam hal kesederhanaanya, bukan pada jenis rancangan busananya.

Rasulullah saw secara khusus berpesan agar umatnya kalau makan, minum, bersedekah, dan berpakaian janganlah berlebih-lebihan.

Para ulama yang berbicara mengenai hukum memakai pakaian syuhroh ini mengaitkan larangan tersebut dengan potensi ghibah yang akan muncul dari orang-orang yang melihat keanehan pada orang-orang yang memakai pakaian syuhroh. Mereka juga mengaitkannya dengan sifat ujub dan suka dipuji dari si pemakai pakaian syuhroh.

Kalau potensi ghibah dan ujub dalam berpakaian saja dikhawatirkan oleh para ulama dan diperintahkan untuk dihindari, lalu apa kira-kira kata para ulama mengenai caci maki dan pertengkaran di media mengenai jenis pakaian mana yang paling agamis? Padahal jika sampai terjadi ghibah, si pemakai pakaian syuhroh ini dikatakan para ulama harus ikut menanggung dosa ghibah tersebut.

Jubah, sarung, daster, gamis, batik, kemeja, jas, kaos, atau apapun, bukan ukuran kebaikan dan kesalihan dan tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk menilai mana yang lebih religius jika dipakai. Juga tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai mana yang lebih rendah nilai kesalihannya, asalkan tidak ada larangan syar’i padanya, misalnya bertuliskan makian, atau memuat gambar porno, gambar makhluk bernyawa secara utuh (bagi yang mengharamkannya), dan lain sebagainya.

Maafkan saya kalau terkesan mengajari, tetapi meributkan mana yang lebih baik dalam pandangan agama antara jubah dan batik, menurut saya bukan perkara yang sangat penting bagi ustadz masyhur seperti anda. Semoga Allah menyibukkan anda dengan hal-hal lain yang lebih bermanfaat. Dan karena anda ustadz terkenal, tentu tidak sulit merujuk kitab-kitab maroji’ apa saja yang menjelaskan masalah yang saya tulis di atas.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamitthoriq, Wassalaamu‘alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.

Seorang Muslim biasa dengan laqob Alex Ramses.

Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat

Walaupun seorang ulama atau kyai, tapi Cak Nun selalu berpakaian seperti layaknya orang biasa. Bisa dikatakan ganok bedane karo wong dodol akik (tidak ada bedanya dengan penjual akik), buruh pabrik atau sales kaos kaki.

“Kalau saya datang dengan berpakaian gamis dan sorban, memang tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang akan berkesimpulan bahwa saya lebih pandai daripada yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim…Kalau itu tidak benar, itu khan namanya ‘penipuan’…!"kata Cak Nun.

"Kalaupun memang benar, apakah akhlak itu untuk dipamerkan kepada orang lain (melalui pakaian)? Tidak boleh kan? Maka semampu-mampu saya, berpakaian seperti ini untuk mengurangi potensi ‘penipuan’ saya kepada Anda. Anda tidak boleh mendewakan saya, me-Muhammad-kan saya, meng-habib-kan saya, karena saya adalah saya karena Allah menjadikan saya sebagai saya dan tidak karena yang lain. Maka Anda obyektif saja sama saya…” lanjut Cak Nun.

Menurut Cak Nun, seorang ulama harusnya bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Cak Nun tidak mempersalahkan orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukan kecintaannya pada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada di diri Rasul. Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang.

Baju Rasulullah sendiri ada 3 jenis : yang dipakai, yang di dalam lemari dan yang dicuci. Dan semua orang Arab di jaman nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad…;Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lainnya, model klambine koyok ngono iku (model bajunya ya seperti itu).

Jadi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah Akhlaknya bukan pakaiannya. Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk, biso rumongso, nggak rumongso biso.

Orang yang diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Semua nabi mengaku dirinya dzolim : “Inni Kuntu Minadzolimin”(aku termasuk orang yang dzolim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya sholeh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae…ndang baliyo sriii…!

“Kalau sama Tuhan kita harus 100%, kalau kepada ilmu kita, cukup 99%. Seluruh yang saya ketahui dan yakini benar itu belum tentu benar. Maka saya tidak mempertahankan yang saya yakini benar karena mungkin mendapatkanilmu yang lebih tinggi.” kata Cak Nun.

Karena itulah saat bersama jamaahnya, Cak Nun selalu memposisikan dirinya sama, sama-sama belajar. Dan Cak Nun sendiri lebih suka pada jamaah yang sedang berproses daripada yang sudah ahli ibadah. Karena itu lebih tepat sasaran. Bukan pengajian pada orang yang sudah ngerti Al Quran, bukan pengajian yang menyuruh haji orang yang sudah berhaji, menyuruh ngaji orang yang sudah ngaji tiap hari, menyuruh orang shalat yang sudah shalat, dst.

"Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati, " begitu pesan Cak Nun.

"Kalau saya kadang bicara pakai bahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris…saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa…saya lahir dan dibesar di Jawa…diperintah Tuhan jadi orang Jawa…maka saya mencintai dan mendalami budaya saya…siapa bilang Jawa itu tidak Islam…kalau saya ayam saya nggak akan jadi kambing…kalau anda kucing jangan meng-anjing-anjing-kan diri…Kita memang disuruh Bhineka (berbeda-beda) kok…!

" Banyak orang salah kaprah menyebut Cak Nun sebagai penganut kejawen. Kejawen ndasmu… ‘Software’ Cak Nun lebih canggih karena laku tirakat luar biasa yang dilakukan sejak kecil. (Laku tirakat yang tidak bertujuan untuk menguasai ilmu hitam koyok mbahmu mbiyen). Sehingga beliau waskito, mempunyai sidik paningal, mempunyai pandangan yang tajam dan jernih soal kehidupan.

Sedikit aneh kalau ada orang Jawa (atau Indonesia) yang malah membangga-mbanggakan budaya Arab atau Barat. Benci kebaya tapi nggak ngasih solusi bagaimana kebaya bisa Islami. Ingat : Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat.

Sumber: - Emha Ainun Najib -

Pakaian berkaitan bukan saja dengan etika dan estetika, tetapi juga dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya, bahkan iklim. Al-Quran juga berbicara tentang masalah pakaian, walaupun pembicaraannya tidak menyangkut mode atau bentuknya. Yang dibicarakan adalah fungsi dan tujuan berpakaian.

Sedikitnya ada tiga fungsi pakaian yang disinggung Al-Quran;

  • Pertama, memelihara pemakainya dari sengatan panas dan dingin serta segala sesuatu yang dapat mengganggu jasmani.

    “Dan dia jadikan bagi kalian Pakaian yang memelihara kalian dari panas dan Pakaian (baju besi) yang memelihara kalian dalam peperangan. Demikianlah Alloh menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian, agar kalian berserah diri (kepada-Nya)”. (QS. An Nahl [16]: 81)

  • Kedua, menunjukan identitas, sehingga pemakainya dapat terpelihara dari gangguan dan usilan.

    “Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal” (QS. Al-Ahzab: 59)

  • Ketiga, menutupi yang tidak wajar kelihatan (termasuk aurat) serta menambah keindahan pemakainya.

    “Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepada kalian Pakaian untuk menutup aurat kalian dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (QS. Al A’raaf [7]: 26)

Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.

Libas pada mulanya berarti penutup, apa pun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti “menutup aurat”, karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.

Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir.

Tsiyab terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya. Ungkapan yang menyatakan, bahwa “awalnya adalah ide dan akhirnya adalah kenyataan”, mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.

Ar-Raghib Al-Isfahani, seorang pakar bahasa Al-Quran menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.

Ide dasar juga dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang dirinya. Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah “tertutupnya aurat”, namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya.

Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti “sesuatu yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya”, yaitu tertutup. Dari kata-kata di atas juga tampak bahwa ide “membuka aurat” adalah ide setan, dan karenanya "tanda- tanda kehadiran setan adalah “keterbukaan aurat”.

Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Biqa’i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa ketika Nabi SAW belum memperoleh keyakinan tentang apa yang dialaminya di Gua Hira, apakah dari malaikat atau dari setan, beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya Khadijah. Khadijah berkata,

“Jika engkau melihatnya lagi, beritahulah aku”.

Ketika di lain waktu Nabi SAW. Melihat (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka pakaiannya sambil bertanya,

“Sekarang, apakah engkau masih melihatnya?”

Nabi Saw. menjawab,

“Tidak, dia pergi.”

Khadijah dengan penuh keyakinan berkata,

“Yakinlah yang datang bukan setan (karena hanya setan yang senang melihat aurat)”.

Sarabil menurut kamus bahasa mengartikan kata ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al- Nahl: 81). Satu lagi dalam surat Ibrahim ayat 50 tentang siksa yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian, pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini dapat dipahami bahwa pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah SWT