Bagaimana cara atau proses untuk menuju kondisi fana menurut sufi ?

Fana

Kondisi fana merupakan salah satu tingkatan yang ada dalam ajaran sufisme. Bagaimana cara atau proses untuk menuju kondisi fana menurut sufi ?

Ibn 'Arabi berpendapat, bahwa proses gradual untuk mencapai kondisi fana itu ada tujuh tahap, yaitu :

  • Fana’ an ma’ashi, meninggalkan dosa.

  • Menjauhkan diri dari semua perbuatan apapun. Arinya, seorang sufi harus mampu menyadari bahwa hanya Tuhan satu-satunya “agen” dan muthlak di alam ini, manusia tidak berbuat apa-apa.

  • Menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen (mukminul wujud), si sufi harus menyadari bahwa segala macam bentuk-bentuk yang ada, sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan. Penglihatan, pendengaran, dan perasaan kita itu adalah milik Tuhan. Artinya, Tuhan melihat diri-Nya sendiri melalui mata ki ta (sufi). Sufi sejati adalah mereka yang dapat melihat Tuhan dari Tuhan di dalam Tuhan dan dari mata Tuhan sendiri.

  • Menyingkir dari personalitas dirinya sendiri, menyadari non-eksistensidari fenomenal dirinya sendiriserta “ke-Tuhan-an” dari substansi yang tidak bisa berubah.

  • Meninggalkan seluruh alam, yakni mengabaikan dan menghentikan penglihatan terhadap aspek fenomena dunia dan penyadaran terhadap aspek nyata (realita) yang merupakan hakikat dari fenomena.

  • Menghilangkan segala hal selain Tuhan, menghilangkan terhadap kesadaran terhadap diri sendiri sebagai seorang “pelihat” atau pemirsa, tetapi adalah Tuhan itu sendiri yang melihat dan yang dilihat, Ia dilihat dari manifestasi-manifestasinya.

  • Melepaskan semua atribut-atribut atau sifat-sifat Tuhan serta hubungan-hubungan atribut-atribut itu. Artinya, memandang Tuhan sebagai Esensi alam ketimbang terhadap sebab dari alam itu. Si sufi tidak memandang alam ini sebagai suatu akibat dari suatu sebab, tetapi sebagai suatu realita dalam penampakan. Tahapan ini adalah penyadaran penuh terhadap kesatuan esensial dari semua yang ada dan tahap ini merupakan ikhtisar dari seluruh filsafat mistis.

Berdasarkan tahapan-tahapan di atas, terlihat bahwa tujuan akhir dari tasawuf Ibn 'Arabi adalah pencapaian “pengetahuan sejati” dan kebahagiaan puncak sebagai seorang sufi adalah “penyadaran” melalui intuisi mistik, yakni kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Apa yang diperolehnya dari pengetahuan sejati ('ilm al-yaqin) adalah “esensi” dari kepastian ('ain al-yaqin). Dan pada saat dia mentransendensikan tahap dualitas dari “pemberitahu” dan yang “diketahui”, ia tiba di puncak kehidupan mistikal pada saat mana ia saling berhadapan dengan Tuhan atau haqqul yaqin.

Salah satu cara untuk menuju fana’ adalah didasarkan pada penghancuran hawa nafsu (ego). Tanpa pembinasaan ego, kesadaran spiritual tidak mungkin ada. Dalam bahasa teologi, orang tidak dapat dikatakan telah memiliki jiwa kecuali jika dia telah melampaui tingkatan “Tiada tuhan…”, (la ilaha) dan mencapai tingkatan “kecuali Allah” (illa Allah). Jadi, proses ‘menaikkan kesadaran’ secara paradoksikal terjadi dalam penegasian keakuan.

Di Jalan ini, hanya dia yang mencapai penegasan illa Allah memiliki sebentuk jiwa; orang yang jauh dari tingkatan ini tidak memiliki apa-apa dari kesempurnaan jiwa".

Dengan menekankan sentralitas disiplin Sufi dalam pemikirannya, 'Ayn al-Qudat mencatat bahwa pembinasaan dan pelenyapan-diri adalah murni produk dari kepemuridan [masa menjadi murid]. Jadi,

Berkah tertinggi bagi para pencari kebenaran, menurut 'Ayn al-Qudat adalah untuk berusaha sepenuh hati dalam pelayanan seorang manusia yang telah meninggalkan kehidupannya untuk “melayani” Allah swt, Tuhan akan mempercepat dia dengan kehidupan suci; tak sesuatu pun dari hal ini diketahui oleh seluruh ulama lain yang terlepas dari nama yang kosong dan bentuk yang rendah.

Untuk mendorong seseorang dalam rangka menyadari dan menerima ‘pembinasaan diri’ ini, peran yang dimainkan adalah sama dengan peran al-Qur’an. Di sini, orang diingatkan tentang nasihat Rumi kepada muridnya,

“Bertanyalah tentang makna al-Qur’an semata-mata dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari orang yang telah membakar nafsu dirinya. Orang yang telah mengorbankan diri demi al-Qur’an, dan merendahkan diri, sehingga ruhnya dalam esensinya menjadi al-Qur’an.”