Bagaimana Budaya Organisasi dilihat dari sudut pandang Postmodernisme ?

Budaya organisasi

Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.

Bagaimana Budaya Organisasi dilihat dari sudut pandang Postmodernisme ?

Meskipun budaya organisasi didalam teori organisasi merupakan sebuah subjek studi yang telah dilakukan sebelum kedatangan postmodernisme, postmodernisme membawa cara-cara baru untuk memahami dan melakukan penelitian terkait dengan budaya organisasi itu sendiri. Schultz (1992) mengidentifikasi tiga tantangan utama yang diberikan postmodernisme pada literatur-literatur yang berhubungan dengan budaya perusahaan, yaitu :

  • Pertama, postmodernisme mempertanyakan asumsi paham modernis terkait dengan budaya sebagai pola-pola makna dan nilai-nilai yang terletak di kedalaman organisasi, yang diekspresikan melalui berbagai simbol dan artefak. Sebaliknya, postmodernisme mengubah asumsi ekspresi ini dari budaya yang mendalam menjadi ritual hampa berdasarkan perpecahan antara bentuk dan isi.

  • Kedua, postmodernisme mempertanyakan gagasan budaya perusahaan sebagai kendaraan yang digunakan untuk identitas organisasi secara spesifik. Sebaliknya, dari sudut pandang postmodern, budaya organisasi telah digunakan sebagai cara untuk mengembangkan salinan budaya-budaya organisasi yang berasal dari organisasi-organisasi lainnya dan telah menghancurkan orisinalitas budaya organisasi yang terakhir.

  • Ketiga, postmodernisme berbeda pendapat terkait dengan asumsi bahwa budaya organisasi mampu mengatur perilaku anggota organisasi tersebut melalui peristiwa yang bermakna (meaningful events) dan pengetahuan yang terinternalisasi (internalized knowledge). Sebaliknya, postmodernisme fokus pada kegairahan budaya organisasi untuk bertindak melalui estetika, pembaharuan dan ilusi.

Dari perspektif modernis, banyak perdebatan dalam literatur tentang budaya perusahaan organisasi menyangkut apakah budaya organisasi harus dilihat sebagai artefak atau sebagai akar metafora - dengan kata lain, apakah budaya organisasi merupakan sesuatu yang dimiliki oleh organisasi atau apakah budaya organisasi tersebut dapat dikelola atau tidak.

Postmodernisme keluar dari perdebatan tersebut. Menurut Schultz, perdebatan tersebut menantang baik konstruksi pragmatis budaya sebagai variabel dan konstruksi teoritis budaya sebagai metafora karena ‘mereka berdua terjebak dalam klaim modernis terkait dengan kedalaman, keunikan dan tindakan yang bermakna’ (Schultz, 1992, hal. 16 ). Dari perspektif postmodern, tidak ada budaya organisasi yang terpadu atau menyatu.

Akibatnya, Schultz (1992) melihat budaya sebagai “sebuah katalisator antara modernisme dan postmodernisme” (hal. 29). Schultz berpendapat bahwa ketegangan antara modernisme dan postmodernisme dapat mengarah pada gagasan bahwa budaya memiliki dua wajah: wajah pertama, budaya tampaknya berfungsi untuk mengatur, membatasi dan mengarahkan tindakan anggota organisasi, dan wajah kedua, budaya berfungsi untuk melisensikan individu-individu dan kelompok-kelompok didalam organisasi untuk bertindak secara mandiri dan bertindak secara spontan dalam bentuk-bentuk budaya yang ada.

Bagaimana kita dapat memahami dan menguji budaya organisasi dari sisi postmodern ?

Penggunaan paling menarik dari perspektif postmodern berkaitan dengan budaya organisasi berasal dari Joanne Martin (1992), yang menggambarkan pandangannya terkait dengan fragmentasi budaya organisasi sebagai postmodern. Tidak ada upaya untuk menemukan sebuah konsensus budaya; sebaliknya, terdapat pengakuan atas berbagai interpretasi dan kompleksitas hubungan antara berbagai aspek budaya tersebut. Dari perspektif ini, budaya didefinisikan sebagai:

. . . a web of individuals sporadically and loosely connected by their changing positions on a variety of issues. Their involvement, their subcultural identities and their individual self-definitions fluctuate, depending on which issues are activated at a given moment (p. 153).

. . . sebuah jaring (web) individu yang dibentuk secara secara sporadis dan terhubung secara longgar oleh posisi mereka yang berubah-ubah terhadap berbagai isu-isu yang ada. Keterlibatan mereka, identitas subkultur mereka dan fluktuasi definisi-diri mereka, tergantung pada isu yang diaktifkan pada saat tertentu (p. 153).

Martin dan Meyerson (1988) juga menggunakan metafora “web” untuk menjelaskan budaya dari perspektif ini. Mereka menunjukkan bahwa individu dapat dilihat sebagai node pada sebuah web, dihubungkan oleh kepentingan bersama tetapi tidak terhubung dengan semua node di sekitarnya.

Ketika masalah tertentu menjadi menonjol, satu pola koneksi menjadi relevan. Pola itu akan mencakup serangkaian perjanjian, pertentangan, dan domain-domain ketidaktahuan (hlm. 117). Dari perspektif ini, budaya merupakan struktur yang tersusun secara longgar.

Meskipun beberapa orang mungkin berbagi beberapa nilai, tetapi nilai tersebut tidak dibagikan secara universal, dan budaya muncul secara dinamis ketika orang-orang mengalami peristiwa-peristiwa tertentu. Budaya tidak bisa lagi dilihat sebagai ‘pemersatu’ yang mempersatukan organisasi, atau setidaknya bagian-bagiannya, secara bersama-sama. Sebaliknya, budaya itu dinamis, rentan terhadap keretakan dan ambigu - dalam arti lain, budaya dapat dilihat sebagai kaleidoskop.

Jika kita mau menerima definisi seperti tersebut, pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana peneliti dapat merepresentasikan budaya yang longgar dan terfragmentasi ?

Untuk menjawab hal tersebut, Martin (1992) menggunakan konsep “perbedaan” atau “difference Derrida dalam analisis budayanya, dengan alasan bahwa penelitian harus memeriksa ketidakhadiran dan kehadiran. Misalnya, dia berkomentar bahwa sebagian besar organisasi memiliki cerita “anak (laki-laki) yang hilang” dimana terdapat seorang eksekutif yang menempati posisi tinggi meninggalkan organisasi tanpa alasan yang jelas tetapi kemudian disambut kembali pada organisasi tersebut dan dimaafkan atas kepergiannya dahulu.

Analisis budaya General Motors (GM) menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terjadi di sana, mungkin karena eksekutif yang meninggalkan organisasi itu jarang disambut kembali. Martin membuat poin-poin, bahwa tidak adanya kisah anak (pria) yang hilang dicatat dalam studi GM, tetapi kemungkinan cerita tentang anak (putri) yang hilang tidak pernah disebutkan didalam studi tersebut.

Dalam interpretasinya, ketiadaan ini dapat dipahami dengan mengacu pada konteks sosial yang lebih luas.

Baik organisasi maupun kehidupan rumah tangga cenderung memiliki peran yang terpisah berdasarkan gender. Hal ini menjadi sangat mungkin hanya terdapat beberapa wanita di GM yang menjadi eksekutif dengan posisi yang tinggi untuk dapat memenuhi syarat dalam peran anak yang hilang tersebut!

Oleh karena itu, dari perspektif postmodern, setiap representasi budaya harus menunjukkan ketidakseragaman, perbedaan, dan diskontinuitas. Dalam sebuah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan budaya organisasi, harus selalu ada kekhawatiran untuk mempertanyakan representasi dari pandangan para peserta yang tidak akurat, dan peserta dalam penelitian harus didorong untuk berbicara sendiri.

Sebagai contoh, salah satu budaya organisasi di Google adalah Good is not enough, hal ini tercermin dalam percakapan para pegawainya. Kalimat yang paling sering muncul dalam percakapan di Google adalah, “Apakah (produk) ini tidak menjadi lebih baik apabila…”

Namun, hal ini bukan tanpa masalah karena melakukan hal ini tidak akan sepenuhnya menghapus otoritas penulis dalam mempelajari budaya tertentu, termasuk memilih apa yang harus dimasukkan dan apa yang tidak dimasukkan (Martin, 1992).

Pendekatan postmodern ini telah membawa pada pemahaman tentang kebutuhan untuk mencari ambiguitas, untuk memeriksa apa yang terjadi di pinggiran, di mana orang-orang yang tidak mendapatkan banyak perhatian atau yang tidak dilihat sebagai “staf inti” beroperasi, dan pengakuan apa saja dari berbagai perspektif yang akan ada didalam organisasi. Hal ini juga membawa pemahaman yang meningkat atas hubungan antara peneliti dan yang diteliti (Johnson dan Duberley, 2000) serta pengembangan metode baru dalam mempelajari budaya organisasi - misalnya, sebagai teks yang dapat didekonstruksi.

Sumber : John McAuley, Joanne Duberley and Phil Johnson, Organization Theory : Challenges and Perspectives, Pearson Education Limited, 2007