Maria Josephine Chaterine Maramis atau lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis. Merupakan seorang perempuan yang lahir di sebuah kota kecil bernama Kema, yang berada di Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 01 Desember 1872. Maria Walanda Maramis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Bapak Bernadus Maramis dan Ibu Sarah Rotinsulu. Maria Walanda Maramis memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Antje Maramis dan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Andries Alexander Maramis. Keluarga mereka merupakan keluarga sederhana sama seperti keluarga lainnya yang hidup di desa Kema, pesisir Timur Minahasa. Ayah Maria merupakan seorang pedagang yang memanfaatkan hari pasar di pesisir pantai ketika pelabuhan Kema sedang ramai.
Kema merupakan sebuah desa kecil di pesisir pantai timur Sulawesi Utara. Pada abad ke-19 desa di Minahasa merupakan bagian dari Keresidenan Manado yang merupakan daerah terpencil, orang Belanda menyebutnya buitengewesten (outling districts).
Selain diasuh dan dibesarkan oleh pamannya, Maria Walanda dengan kedua saudaranya pun diberikan kesempatan untuk sekolah. Dalam kehidupan sehari-hari, Maria Walanda dengan kakak perempuannya dan kakaknya lakilakinya tidak ada perbedaan perlakuan dari Pamannya. Namun, lain halnya dalam bidang pendidikan, Maria Walanda dan kakak perempuannya yaitu Antje dimasukkan ke Sekolah Melayu atau Sekolah Desa. Sementara itu, Kakak Maria Walanda yaitu Andries Maramis dimasukkan oleh Pamannya ke sekolah Raja (hoofdenscool) di Tondano.
Maria Walanda merasa pendidikan yang dilakukannya di Sekolah Desa tidak membuat dirinya berkembang. Beliau merasa kurang senang dengan adanya keadaan seperti ini, terlebih adanya perbedaan kesempatan bersekolah antara kaum laki-laki dengan perempuan. Namun, Maria Walanda saat itu sempat berfikir bahwa keadaan seperti ini terjadi karena biaya yang diwariskan oleh kedua orang tuanya hanya cukup untuk menyekolahkan saudara lakilakinya saja yaitu Andries di Hoofdeschool di Tondano. Namun, salain faktor dana sebagai penghambat Maria Walanda mendapatkan pendidikan yang layak yaitu karena masih terkungkung oleh kehidupan adat Minahasa
Setelah tamat dari sekolah desa, Maria Walanda merasa kurang puas karena hanya mendapatkan pelajaran yang sedikit. Saat itu Maria melihat anak perempuan dari Pamannya yang bernama Nettie, Stien, Gijsje, dan Fientje, disekolahnya di Maisjesschool di daerah Tomohon. Maisjesschool merupakan sekolah Belanda khusus untuk perempuan, salah satu pelajaran di sekolah itu adanya pelajaran Bahasa Belanda.
Saat itu, Maria merasa bahwa Ia harus dapat belajar Bahasa Belanda agar dapat mendapat pelajaran yang lebih tinggi lagi. Karena pada saat itu buku-buku pelajaran yang beredar lebih dominan menggunakan Bahasa Belanda. Sehingga Maria beranggapan salah satu jalan
agar Ia dapat belajar Bahasa Belanda ialah harus mengikuti jejak anak-anak perempuan pamannya yang sekolah di Maisjesschool. Dengan dorongan semangat belajar yang kuat dan jiwa “pemberontak”, Maria mengajak berbicara pamannya dan meminta agar dimasukkan ke sekolah Maisjesschool.
Namun, semua harapan Maria harus sirna karena pamannya merespons dengan gelengan
kepala yang menandakan bahwa pamannya tidak bisa memasukkan Maria ke sekolah itu.