Bagaimana biografi Maria Walanda Maramis?

maria walanda maramis

Maria Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 – meninggal di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun).

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan “Nederlandsche Zendeling Genootschap” tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki “bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki”.

Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.

Apa yang anda ketahui tentang biografi beliau?

Maria Walanda Maramis adalah tokoh Pergerakan Nasional yang bergerak di bidang pengembangan wanita pada awal abad 20. Maria bisa disebut sebagai RA Kartini dari Minahasa. Ia lahir di Kema, Minahasa Utara. Tanggal 1 Desember diperingati masyarakat Minahasa sebagai ‘Hari Ibu Maria Walanda Maramis’. Selain itu, dibangun pula Patung Walanda Maramis di Komo Luar Kecamatan Weang, Manado. Hal ini menunjukkan bahwa sosok Maria Walanda Maramis sangat melekat di hati masyarakat Minahasa.

Maria adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Saudara laki-lakinya yang bernama Andries Maramis yang nantinya terlibat dalam pergolakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Maria menjadi yatim piatu saat berusia 6 tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit lalu meninggal dunia. Maria dan dua saudaranya kemudian diasuh oleh paman mereka, Rotinsulu, dan memasukkan Maramis bersaudara ke Sekolah Melayu di Maumbi. Rotinsulu adalah orang yang cukup terpandang disana sehingga ia memiliki banyak teman dari Belanda. Secara tidak langsung, hal ini membuat Maria juga bergaul dengan orang-orang Belanda tersebut dan itu sangat membuka wawasannya.

Ketika berusia 18 tahun, Maria menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado. dari suaminya, Maria belajar banyak hal tentang keadaan masyarakat Sulawesi. Pada Juli 1917, dibantu oleh suami dan teman-temannya Maria mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang bertujuan untuk memberi pendidikan pada kaum perempuan tentang rumah tangga, misalnya memasak, menjahit, merawat bayi, dan sebagainya. Pembentukan organisasi ini didasari pikiran Maria yang percaya bahwa perempuan adalah tiang keluarga di mana pada merekalah masa depan anak-anak bergantung. Pemikiran-pemikiran MAria tentang sosok perempuan dituangkannya di harian Tjahaja Siang.

PIKAT yang semula hanya di daerah sekitar Maria kemudian berkembang ke daerah lain, misalnya Tondano, Gorontalo, Poso, Batavia, Bogor, Surabaya, Balikpapan, dan sebagainya. 2 Juli 1918, di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Untuk menambah pemasukan bagi organisasi, Maria berjualan kue dan hasata karya. Semangat dan kerja keras Maria menggugah hati orang-orang terpandang unutk berdonasi.

Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri. Maria juga aktif mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Maria yakin bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Selain itu, Maria juga berjuang supaya perempuan diberi tempat dalam urusan politik, misalnya hak untuk memilih dan duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad.

Maria Josephine Chaterine Maramis atau lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis. Merupakan seorang perempuan yang lahir di sebuah kota kecil bernama Kema, yang berada di Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 01 Desember 1872. Maria Walanda Maramis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Bapak Bernadus Maramis dan Ibu Sarah Rotinsulu. Maria Walanda Maramis memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Antje Maramis dan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Andries Alexander Maramis. Keluarga mereka merupakan keluarga sederhana sama seperti keluarga lainnya yang hidup di desa Kema, pesisir Timur Minahasa. Ayah Maria merupakan seorang pedagang yang memanfaatkan hari pasar di pesisir pantai ketika pelabuhan Kema sedang ramai.

Kema merupakan sebuah desa kecil di pesisir pantai timur Sulawesi Utara. Pada abad ke-19 desa di Minahasa merupakan bagian dari Keresidenan Manado yang merupakan daerah terpencil, orang Belanda menyebutnya buitengewesten (outling districts).

Selain diasuh dan dibesarkan oleh pamannya, Maria Walanda dengan kedua saudaranya pun diberikan kesempatan untuk sekolah. Dalam kehidupan sehari-hari, Maria Walanda dengan kakak perempuannya dan kakaknya lakilakinya tidak ada perbedaan perlakuan dari Pamannya. Namun, lain halnya dalam bidang pendidikan, Maria Walanda dan kakak perempuannya yaitu Antje dimasukkan ke Sekolah Melayu atau Sekolah Desa. Sementara itu, Kakak Maria Walanda yaitu Andries Maramis dimasukkan oleh Pamannya ke sekolah Raja (hoofdenscool) di Tondano.

Maria Walanda merasa pendidikan yang dilakukannya di Sekolah Desa tidak membuat dirinya berkembang. Beliau merasa kurang senang dengan adanya keadaan seperti ini, terlebih adanya perbedaan kesempatan bersekolah antara kaum laki-laki dengan perempuan. Namun, Maria Walanda saat itu sempat berfikir bahwa keadaan seperti ini terjadi karena biaya yang diwariskan oleh kedua orang tuanya hanya cukup untuk menyekolahkan saudara lakilakinya saja yaitu Andries di Hoofdeschool di Tondano. Namun, salain faktor dana sebagai penghambat Maria Walanda mendapatkan pendidikan yang layak yaitu karena masih terkungkung oleh kehidupan adat Minahasa

Setelah tamat dari sekolah desa, Maria Walanda merasa kurang puas karena hanya mendapatkan pelajaran yang sedikit. Saat itu Maria melihat anak perempuan dari Pamannya yang bernama Nettie, Stien, Gijsje, dan Fientje, disekolahnya di Maisjesschool di daerah Tomohon. Maisjesschool merupakan sekolah Belanda khusus untuk perempuan, salah satu pelajaran di sekolah itu adanya pelajaran Bahasa Belanda.

Saat itu, Maria merasa bahwa Ia harus dapat belajar Bahasa Belanda agar dapat mendapat pelajaran yang lebih tinggi lagi. Karena pada saat itu buku-buku pelajaran yang beredar lebih dominan menggunakan Bahasa Belanda. Sehingga Maria beranggapan salah satu jalan
agar Ia dapat belajar Bahasa Belanda ialah harus mengikuti jejak anak-anak perempuan pamannya yang sekolah di Maisjesschool. Dengan dorongan semangat belajar yang kuat dan jiwa “pemberontak”, Maria mengajak berbicara pamannya dan meminta agar dimasukkan ke sekolah Maisjesschool.

Namun, semua harapan Maria harus sirna karena pamannya merespons dengan gelengan
kepala yang menandakan bahwa pamannya tidak bisa memasukkan Maria ke sekolah itu.