Bagaimana batasan aurat wanita menurut Islam?

Dalam islam adab berpakaian diatur berdasarkan Al-Quran dan hadist. Dibalik aturan tersebut terdapat banyak manfaat yang dapat dituai. Bagaimana batasan aurat wanita menurut islam?

Berdasarkan madzhab Syafi’i, Aurat wanita yang wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:

“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa aurat itu berarti kurang, aib dan jelek. (Al Majmu’, 3: 119). Imam Nawawi menyatakan pula bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia dan ini adalah ijma’ (kata sepakat ulama).

Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia ketika berada bukan hanya di dalam shalat, namun juga di luar shalat. Juga aurat tersebut ditutup ketika bersendirian kecuali jika dalam keadaan mandi.” (Fathul Qorib).

Adapun aurat wanita disinggung oleh Imam Nawawi yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. (Al Majmu’). Juga disinggung beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188.

Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah pendapat terkuat.

Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’– menyatakan bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31).

Yang dimaksud menurut ulama pakar tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan.

Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, termasuk dalam telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan. Adapun aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh tubuhnya. Ketika sendirian aurat wanita adalah sebagaimana pria -yaitu antara pusar dan lutut-.” (Fathul Qorib).

Asy Syarbini berkata, “Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan.

Konsekuensi dari pernyataan aurat wanita di atas, bagian tangan dan kaki adalah aurat termasuk juga badan. Sehingga kalau bagian tersebut hanya dibalut dengan baju dan tidak longgar, alias ketat, maka berarti aurat belumlah tertutup. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian wanita muslimah dengan memakai penutup kepala namun sayangnya berpakaian ketat, bukanlah menutup aurat karena bagian aurat seperti tangan masih terlihat bentuk lekuk tubuhnya. Celana ketat pada paha pun masih menampakkan lekuk tubuh yang seksi. Lebih-lebih di dada walau kepala tertutup, masih membuat laki-laki tergoda syahwatnya.

Berjilbab yang benar bukan hanya menutup rambut kepala. Tetapi juga harus memperhatikan baju dan rok yang digunakan, mestilah lebar. Adapun menggunakan celana panjang tidaklah menggambarkan menutup aurat dengan sempurna meski longgar karena bentuk lekuk tubuh masih terlihat. Jadi yang aman bagi wanita adalah menggunakan baju atau gamis lalu ditutupi dengan jilbab yang lebar di luarnya yang panjangnya hingga pinggang atau paha sehingga lebih menutupi sempurna bagian badan. Kemudian bagian bawah lebih sempurna menggunakan rok yang lebar (longgar), tidak ketat. Rok tersebut hingga menutupi kaki. Adapun panjang rok tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah berikut ini.

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, telangkap kakinya masih tersingkap.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan satu hasta, jangan lebih dari itu.“ (HR. Tirmidzi no. 1731 dan An Nasai no. 5338. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Pelajaran yang bisa kita petik dari penjelasan ulama Syafi’iyah di atas, punggung dan bagian dalam telapak tangan bukanlah aurat yang mesti ditutupi, wallahu a’lam.

Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy


Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan;

“Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”

Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan:

“Yang demikian itu diperbolehkan. Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.”

Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Ikliil, berkata:

"Adapun aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala). Untuk seorang wanita, boleh dia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana dia boleh menampakkannya kepada laki-laki menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, wajah dan kedua telapak tangan.

Berikut adalah pendapat para ulama mengenai aurat perempuan:

  1. Wajah dan kedua telapak tangan, bukan aurat

    Ini adalah pendapat mayoritas madzhab, antara lain: Imam Malik, Ibn Hazm dari golongan Zhahiriyah dan sebagian Syi’ah Zaidiyah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya, Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah dalam satu riwayat, para sahabat Nabi dan Tabi’in (Ali, Ibn Abbas, Aisyah, ‘Atha, Mujahid, Al-Hasan, dll.).

  2. Wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki, tidak termasuk aurat

    Ini adalah pendapat Ats-Tsauri dan Al-Muzani, Al-Hanafiah, dan Syi’ah Imamiah menurut riwayat yang shahih.

  3. Seluruh tubuh perempuan adalah aurat

    Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, pendapat Abu Bakar dan Abd Rahman dari kalangan Tabi’in.

  4. Seluruh tubuh perempuan kecuali wajah adalah aurat

    Ini juga pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat dan pendapat Daud Al-Zhahiri serta sebagian Syi’ah Zaidah.

Aurat menurut bahasa adalah sesuatu yang menimbulkan rasa malu, sehingga seseorang terdorong untuk menutupnya.1 Secara terminologi dalam Hukum Islam, aurat adalah bagian badan yang tidak boleh kelihatan menurut syariat Islam, batas minimal bagian tubuh manusia yang wajib ditutup berdasarkan perintah Allah.3Berdasarkan pengertian ini, dipahami bahwa aurat tidaklah identik dengan bahagian tubuh yang ditutup menurut adat suatu kelompok masyarakat.

Apabila pengertian tentang aurat dikenakan pada tubuh wanita, maka hal itu terkait dengan situasi mana wanita itu berada. Secara umum, situasi itu dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu; Ketika ia berhadapan dengan Tuhan dalam keadaan shalat, ketika ia berada ditengah-tengah muhrimnya, dan ketika ia berada di tengah-tengah orang yang bukan muhrimnya.

Berdasarkan syari‟at, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran dan Hadis, maupun Ijtihad ulama, ternyata batas-batas aurat wanita tidak sama dalam tiga keadaan yang melingkupi ruang gerak wanita. Persoalan aurat merupakan cakupan bahasan yang sangat urgen dalam konteks wacana hukum Islam. Realitasnya, terkadang makna aurat sering dijadikan bahan kajian untuk mendiskreditkan eksistensi wanita, utamanya dalam melakukan aktivitasnya. Sementara kajian-kajian keislaman (syariat Islam) bertujuan menciptakan suasana kondusif dan harmonis, serta saling memberikan kontribusi pemikiran berharga bagi setiap yang menjalankan syariat agama dengan sempurna.

Aurat Wanita

Jumhur Ulama sepakat bahwa aurat wanita yang wajib ditutup ketika bershalat adalah segenap anggota tubuhnya, secuali muka dan telapak tangan nya. Muka dan dua telapak tangan itu, menurut Sayyid Sabiq adalah bahagian tubuh yang dibolehkan tampak sesuai dengan kalimat illaa mââ zâhâ minhââ dalam QS An-Nur (24): 31.4

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahawa Abu Hanifah membolehkan telapak kaki wanita tanpak dalam shalat, dan ini adalah pendapat yang paling kuat, berdasarkan riwayat dari Aisyah yang memasukkan dua telapak kaki itu kedalam kategori tubuh yang boleh tanpak sesuai dengan potongan ayat tersebut. Dua telapak kaki tidak termasuk punggung. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ummi Salmah yang menanyakan kepada Rasul tentang bolehnya melaksanakan shalat dengan hanya menggunakan baju dan kudung, maka Rasulullah SAW. Bersabda Izââ kâânâ al dâr’a sââigân yaguzzu zuhüüri qâdâmâih (Jika baju itu cukup menutupi punggung dua telapak kakimu).6 Pendapat ini berbeda dengan pendapat al-Syafi‟i yang tidak membolehkan dua telapak kaki itu tampak dalam shalat. Batas aurat wanita di luar shalat, harus dibedakan antara dua keadaan, yakni

  • ketika berhadapan dengan muhrimnya sendiri atau yang disamakan dengan itu, dan
  • ketika berhadapan dengan orang yang bukan muhrimnya.

Ulama berbeda pendapat mengenai batas aurat wanita di depan muhrimnya. Al Syafi‟iyah mengatakan bahwa aurat wanita ketika berhadapan dengan muhrimnya adalah antara pusat dengan lutut. Selain batas tersebut, dapat dilihat oleh muhrimnya dan oleh sesamanya wanita. Pendapat lain mengatakan bahwa segenap badan wanita adalah „aurat di hadapan muhrimnya, kecuali kepala (termasuk muka dan rambut), leher, kedua tangan sampai siku dan kedua kaki sampai lutut, karena semua anggota badan tersebut digunakan dalam pekerjaan sehari-hari.

Adapun yang dimaksud dengan mâhrâm atau yang disamakan dengan itu sebagai yang tercantum dalam surah An- Nur ayat 31. adalah; suami, ayah, ayah suami, putra laki-laki, putra suami, saudara, putra saudara laki-laki, putra saudara perempuan, wanita, budaknya, pelayan laki-laki yang tak bersyahwat, atau anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Selain itu, dalam surat An-Nisâ disebutkan pula saudara bapak dan saudara ibu. Menurut Ibnu Tainiyah, yang disebut muhrim di antara orang-orang tersebut di atas, hanyalah orang yang diharamkan mengawini wanita untuk selama-lamanya karena hubungan keluarga atau persemendaan.

Berbeda dengan itu, aurat wanita ketika berhadapan dengan orang-orang yang bukan muhrimnya, menurut kesepakatan ulama adalah meliputi seluruh tubuhnya, selaian muka dan dua telapak tangan dan kakinya. Karena itulah, seorang laki-laki dapat saja melihat bagian-bagian tersebut pada tubuh wanita yang dilamarnya.10 Disini tampaknya batasan „aurat wanita sama dengan batasan „auratnya ketika shalat. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebahagian besar fuqaha’ menilai apa yang wajib ditutup dalam shalat (ketika berhadapan dengan Tuhan) wajib pula ditutup dari pandangan orang lain yang bukan muhrim.