Bagaimana bantahan dari teori klasik Cinaisasi dan Indianisasi di Nusantara?

Selama ini para ahli telah lalai beranggapan bahwa budaya Asia Tenggara hanyalah cabang sekunder dari peradaban Asia daratan di Cina dan India. Pandangan yang cenderung meremehkan data-data kuno itu tentu secara tidak langsung telah menghilangkan khazanah kesejarahan suatu bangsa besar yang selama ini ditenggelamkan oleh feodalisme akademik.

Asumsi-asumsi tentang peradaban awal dunia seringkali mengacuhkan Asia Tenggara. Sejarah Asia biasanya melompati periode prasejarah dalam beberapa baris dan paragraf dan sehingga hanya berkonsentrasi pada pada budaya-budaya seperti Cina dan India yang hanya berkisar 2000 tahun terakhir tanpa menggali pertanyaan-pertanyaan besar peradaban yang sebelumnya yang diklaim sebagai prasejarah, prehistoris yang memiliki makna penghinaan terhadap budaya sebelumnya. Kegagalan dalam memahami data yang rumit tersebut kemudian dengan mudah diklasifikasikan sebagai prasejarah untuk menghindari dari keruwetan objek yang diteliti. Sampai kemudian baru tercetus hipotesis tentang budaya Dong-Son atau Zaman Perunggu yang terpusat di Dong Son Vietnam.

Begitu banyak klaim sejarah, arkeologis, budaya dan bahasa yang dimunculkan berbagai pihak terutama orang-orang Cina dan India konservatif di Indonesia. Beberapa klaim identitas Nusantara mulai dari hal yang kecil sampai kepada pengklaiman yang sangat fundamental yang dapat menghancurkan nilai fundamental seperti genetis, ideologi, budaya, sejarah dll. Klaim-klaim tersebut bahkan lebih ironi menjangkiti orang-orang akademik pribumi Indonesia yang seharusnya lebih ketat dalam menganalisis sebuah data yang berasal dari luar.

Pada tahun 1971 heboh kontroversi buku karangan Slamet Mulyana yang diduga didukung oleh tokoh-tokoh Cina totok yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu di Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”. Dalam bukunya tersebut Mulyana menyatakan bahwa sebagian besar Wali Songo itu adalah keturunan Cina. Sontak pernyataan ini mendapat reaksi keras di masyarakat, hingga pemerintah melalui Keputusan Jaksa Agung melakukan pelarangan peredaran atas buku tersebut dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 043/DA/1971/. (Budiman 1979).

Dalam pandangan akademik bahwa apa yang ditulis oleh Slamet Mulyana tersebut sebagai sebuah “kecelakaan akademik” karena tidak bersandarkan data sahih dan justru berdasarkan pada data tersier yang sangat ditabukan dalam penulisan karya ilmiah. Keterangan ketidaksahihan tersebut justru diperoleh dari Slamet Mulyana sendiri setelah dicecar oleh beberapa sejarawan yang tidak terima dengan kesimpulan “ngawur’ tersebut. Slamet Mulyana mengatakan bahwa ia menulis berdasarkan pernyataan dari Mangaraja Onggang Parlindungan15. Sementara Mangaraja Onggang Parlindungan sendiri mengaku mendapatkan datanya dari Resident Poortman16. Menurut sumber yang tidak jelas itu dikaitkan bahwa pernyataan itu berasal dari sebuah buku yang tersimpan di Klenteng Sampo Khong Semarang. Berdasarkan pernyataan itu banyak sejarawan yang kemudian melacak tempat yang dimaksud dan di sana tidak diketemukan apa-apa. Padahal data primer yang digunakan oleh Slamet Mulyana tersebut merupakan basis asumsi yang digunakannya dalam mengembangkan tulisan tersebut. Anehnya Slamet Mulyana juga tidak pernah melihat buku aslinya tersebut.

Asumsi Slamet Mulyana ini juga memancing penasaran sejarawan luar yang telah lama berkecimpung pada sejarah Nusantara yaitu Dannys Lombard untuk melacak kesahihan data tersebut sehingga iapun pergi ke perpustakaan Belanda bahkan datang khsusus ke gedung di mana dokumen-dokumen Poortman disimpan, tapi ia tidak menemukan apa yang dicarinya alias nihil, sehingga iapun berkesimpulan bahwa asumsi Slamet Mulyana tidak layak dipercaya secara akademik. Demikian halnya sejarawan Sartono Kartodirdjo sangat menyangsikan sumber data yang dikatakan oleh Salmet Mulyana tersebut. Dalam pelacakannya di Klenteng Sampo Kong Semarang Sartono Kartodirdjo mengatakan, bahwa ia samasekali tidak menemukan ruang atau tempat yang layak sebagai tempat buku di Klenteng Sampo Kong sehingga ia berkesimpulan bahwa asumsi Slamet Mulyana tersebut sangat lemah alias “althans” .

Klaim-klaim orang Cina atas berbagai aspek identitas Nusantara sampai saat ini masih tetap bergulir ditambah dengan dukungan dari media TV yang tidak mau tahu atas kesahihan data yang diacu. Bahkan orang-orang seperti Remy Silado secara “latah” mengasumsikan beberapa kosa-kata bahasa Sunda dan Betawi menyerap dari bahasa Cina. Ia menyebutkan bahwa kata guwa , guwe pada bahasa Betawi sebagai kata serapan dari bahasa Cina uwe “saya’. Syilado tidak sadar bahwa Betawi itu bertipe bahasa aglutinatif yang sama sekali tidak memiliki pertalian kebahasaan dengan bahasa Cina yang bertipe isolatif yaitu bahasa bernada pembeda atau tone language

Untuk menggugurkan asumsi Syilado tersebut sangat mudah karena kata guwa dan guwe dalam bahasa Betawi secara linguistik merupakan kata hasil morfologi dari kata awak ‘atau uwak (panggilan sopan utk orang yang lebih tua) yang kata itu dapat dengan mudah ditemukan di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi dan bukan dari kata “uwe” yang konon dari bahasa Cina yang secara kebahasaan tidak memiliki pertalian rumpun kebahasaan dengan bahasa tersebut.

Klaim terhadap wilayah tanah asal atau the home land/ the place of origin di kalangan para ilmuwan sampai saat ini terus menerus berdinamika sejalan dengan dinamika social itu sendiri. Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Sangkot Marzuki17 salah seorang ahli genetika Indonesia tentang peta genetik manusia di Asia menelurkan kesimpulan yang berbeda dari teori yang diyakini para ilmuwan selama ini yaitu teori “ Out of Taiwan” . Dalam temuan terbarunya tersebut terlihat adanya jalur migrasi bangsa Austronesia yang berbeda dari sebelumnya yaitu hanya ada satu jalur migrasi tunggal ke Asia.

Lebih lanjut Sangkot mengatakan bahwa berdasarkan analisis deoxyribonucleic acid (DNA) Asia Tenggara merupakan pusat penyebaran bangsa dengan penutur bahasa Austronesia diAsia.” Temuan ini sekaligus menggugurkan teori sebelumnya yaitu “Out of Taiwan” yang menyatakan jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan. Sementara menurut Sangkot, Keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik-etnik di kawasan utara Asia lebih homogen. Sangkot hanya memperkirakan pusat peradaban terletak di Laut Cina Selatan (Sundaland) yang sudah tenggelam sekitar 12 ribu hingga 8.000 tahun lalu.

Klaim-klaim lainnya terkait dengan pernyataan bahwa asal beras di wilayah Nusantara pada masa lalu merupakan hasil persebaran tumbuhan yang dibawa dari Cina. Pernyataan itu akhir-akhir ini terbantahkan oleh temuan mutakhir Oppenheimer (2010) yang fenomenal dalam bukunya Eden in The East yang menemukan bahwa pembudidayaan ketela rambat liar dan talas telah ditemukan di Indonesia berpenanggalan 15.000 dan 10.000 SM. Lebih jauh lagi pembudidayaan beras telah dipraktekkan pada 6000-7000 SM di semenanjung Thailand jauh lebih awal dari fakta-fakta arkeologis beras yang ditemukan di wilayah Cina. Temuan-temuan tersebut berdasarkan tes karbon tanpa cela pada temuan sekam beras dari periuk berpenanggalan zaman perunggu pada awal milenium kedua SM di Ban Chiang Thailand Selatan dan di Phung Nguyen di Vietnam Utara (Oppenheimer 2010;xxxi). Jika melihat fakta-fakta mutakhir di atas bahwa bangsa Melayu Nusantara telah mengkonsumsi beras sejak 9000 tahun yang lalu, sementara bangsa Cina pada masa itu masih mengkonsumsi talas dan umbi-umbian dan baru mengkonsumsi beras 3000 tahun kemudian. 2000 tahun kemudian disusul oleh bangsa India.

Terdapat sebuah pertanyaan besar para ahli sejarah, jika Asia Tenggara telah lebih dahulu mengkonsumsi ketela dan beras asumsi kemudian siapa yang mengajari orang Nusantara tentang tekhnologi pertanian dan tekhnologi metalurgi sebagai pendukung pertanian sementara peradaban pertanian India masih di bawah Nusantara. Dalam cacatan Oppenheimer bahwa peradaban Asia Tenggara dalam periode yang bersamaan memiliki keahlian yang sama dengan peradaban Sumeria18, Mesir, dan Lembah Indus bahkan menurutnya bisa lebih awal.

Klaim lainnya juga terkait dengan budaya pembuatan kapal di Nusantara yang selama ini diasumsikan beberapa sejarawan amatiran diduga dipengaruhi oleh bangsa India. Asumsi ini telah terbantahkan oleh Tom Hoogervosrt (2013) seorang pakar sejarah bidang arkeologi

kelautan di University Oxford Inggris dan Leiden University Belanda dengan judul penelitiannya “Southeast Asia in the ancient Indian ocean world combining historical linguistic and archaeological approaches”. Penelitian antardisiplin antara arkeologi dan linguistik ini menyimpulkan bahwa tekhnologi kapal di India mengadopsi dari teknologi bangsa Nusantara. Fakta-kata tersebut berdasarkan atas ditemukannya banyak leksikon atau kosakata Nusantara yang diserap dalam tatacara tekhnologi pembuatan kapal yang terdapat di India. Asumsi ini tentu meruntuhkan anggapan kita selama ini yang menganggap bahwa kapal-kapal Nusantara pada masa lalu sebagai hasil dari alih teknologi dari India. Bahkan kapal bercadik yang terdapat di relief candi Borobudur secara gegabah dianggap sebagian ahli sejarah sebagai kapal Nusantara hasil adopsi dari tekhnologi India. Anggapan ini tentu merupakan sebuah ironi bagi bangsa Melayu Nusantara sendiri yang menunjukkan bahwa kita telah kehilangan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa besar yang tentu berdampak berat terhadap pembangunan jati diri bangsa sebagai Melayu Nusantara Mahawangsa!