Bagaimana Baitul Mal Wat Tamwil bisa mengatasi permasalahan pinjaman rentenir?

Saat ini sedang marak pinjaman yang ditawarkan oleh rentenir kepada masyarakat yang sedang butuh uang dengan penawaran proses yang mudah dalam pencairannya. Namun biasanya bunga yang diberlakukan sangat tinggi dan adanya denda dan penagihan paksa ketika jatuh tempo. Hal seperti ini tentunya sangat meresahkan masyarakat. Lalu bagaimana peran BMT dalam mengatasi hal tersebut?

1_WZoSOpxD05xdfFnqQBly5w
Sumber : medium.com

Pengertian Baitul Mal Watamwil (BMT)

Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil ke bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal Wat Tamwil juga bisa menerima titipan zakat, infak, dan sedekah, serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya.

Baitul Mal Watamwil (BMT) merupakan salah satu lembaga keuangan mikro syariah yang hadir untuk melayani para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) atau berpenghasilan rendah, yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan besar seperti bank, karena dinilai tidak bankable.

Selain itu, yang mendasar adalah bahwa seluruh aktivitas BMT harus dijalankan berdasarkan prinsip muamalah ekonomi dalam Islam. Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa at-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya (Ridwan, 2013).

Dengan demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai institusi yang bergerak dibidang investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga keuangan, BMT juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagaimana lembaga keuangan (Soemitra, 2014).

Fungsi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di antaranya :

  1. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisir, mendorong dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota, kelompok, usaha anggota muamalat (pokusma) dan kerjanya

  2. Mempertinggi kualitas SDM anggota dan Pokusma menjadi lebih profesional dan islami sehingga makin utuh dan tangguh menghadapi tantangan global

  3. Menggalang dan mengorganisir potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota

Selain itu BMT juga memiliki beberapa peran, diantaranya adalah :

  1. Menjauhkan masyarakat dari praktik ekonomi yang bersifat non islam melakukan sosialisasi di tengah masyarakat tentang arti penting sistem ekonomi islam. Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara bertransaksi yang islami. Misalnya ada bukti dalam bertransaksi, dilarang curang dalam menimbang barang, jujur terhadap konsumen, dan sebagainya

  2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus harus bersikap aktif menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usaha-usaha nasabah

  3. Melepaskan ketergantungan pada rentenir, masyarakat yang masih tergantung rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam memenuhi dana dengan segera. Maka BMT harus mampu melayani masyarakat lebih baik, misalnya selalu tersedia dana setiap saat, birokrasi yang sederhana dan lain sebagainya.

  4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata. Fungsi BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks dituntut harus pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk melakukan evaluasi dalam rangka pemetaan skala prioritas yang harus diperhatikan, misalnya dalam masalah pembiayaan, BMT harus memperhatikan kelayakan usaha dalam hal golongan nasabah dan juga jenis pembiayaan yang dilakukan (Huda & Haykal).

Pengentasan Masalah Pinjaman Rentenir

Hubungan antara masyarakat yang masuk ke dalam kelompok usaha mikro dan lembaga keuangan mikro tidak bisa dipisahkan, karena salah satu kendala atau masalah yang dihadapi oleh UMKM termasuk di negara Indonesia adalah masalah kurangnya permodalan untuk mengembangkan market share-nya, dan untuk mengatasi permasalahan tersebut maka UMKM harus bekerjasama dengan lembaga keuangan termasuk di dalamnya adalah lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT.

Pembiayaan yang diberikan BMT diharapkan mampu mengatasi permasalahan UMKM diatas, akan tetapi proses pembiayaan yang diterapkan oleh BMT masih belum mampu ditempuh oleh seluruh UMKM, karena masih saja ada pelaku UMKM yang tidak bisa menempuh seluruh prosedur pembiayaan di BMT. Hal ini jelas mempersulit langkah UMKM untuk dapat mengembangkan usaha karena akses modal, dan UMKM tentunya tidak bisa diam begitu saja, mereka harus tetap mencari sumber modal yang dinilai sederhana.

Permasalahan UMKM ini dijadikan sasaran empuk bagi para penyedia jasa keuangan illegal dalam hal ini adalah rentenir. Mereka hadir dengan segala kemudahannya menyediakan jasa pembiayaan untuk modal atau konsumtif kepada masyarakat atau UMKM, prosedurnya singkat, tidak banyak persyaratan yang diminta, sehingga keberadaannya ini disambut dengan antusias oleh UMKM yang tidak bisa mendapatkan akses kepada BMT.

Akan tetapi, dibalik segala kemudahan yang diberikan, kredit yang diberikan rentenir ini ternyata menyisakan banyak masalah. Dibalik kemudahan akses pinjaman yang diberikan, bunga kredit yang diberikan ternyata sangat besar. Tidak sedikit masyarakat yang kehilangan harta bendanya karena terjerat utang kepada rentenir. Ironisnya, meskipun hal ini terjadi, masih saja permintaan pinjaman kepada rentenir ini masih banyak diminati. Kebutuhan ekonomi yang mendesak, keterbatasan pengetahuan yang minim dari masyarakat membuat mereka tidak berfikir lama untuk mengajukan pinjaman kepada rentenir.

Alasan utama masyarakat terjerat hutang kepada rentenir adalah karena kebutuhan yang mendesak untuk mempertahankan keberlangsungan dagangnya, nominal pinjaman yang kecil, prosedur cepat dan tidak berbelit-belit, serta persyaratan yang mudah bahkan tidak perlu jaminan, itulah yang membuat para pedagang dan ibu rumah tangga lebih memilih pinjam uang ke rentenir, karena dipandang mudah dan praktis dibandingkan mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan (Kabar Priangan, 2018).

Kondisi di atas sepintas masyarakat diawal sangat menguntungkan masyarakat, akan tetapi bunga yang tinggi tidak membuat pedagang berfikir lanjut untuk meminjam pada rentenir. Selain itu, maraknya rentenir ternyata membuat peran lembaga keuangan seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai mitra penyedia jasa pembiayaan untuk mendorong dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota dan menjauhkan masyarakat dari praktik keuangan non Islam sedikit demi sedikit mulai berkurang.

Kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, harus segera diselesaikan dengan mencari penyebab-penyebab utama mengapa hal ini terus terjadi kemudian dicarikan solusi strategis guna menyelesaikannya, dengan cara mensinergikan seluruh elemen yang terkait, seperti pemerintah daerah, pusat, akademisi, lembaga keuangan mikro (BMT) dan masyarakat itu sendiri untuk menyelesaikan permasalahan rentenir yang sudah menjamur dan menimbulkan keresahan dari masyarakat. Dengan diselesaikannya masalah rentenir, maka diharapkan fungsi dan peran BMT akan kembali ke semula, yaitu menjadi mitra usaha bagi UMKM dan sesuai aturan Islam.

Beberapa penelitian terkait dengan penyelesaian masalah rentenir guna mengembalikan fungsi BMT telah banyak dilakukan dan menjadi rujukan peneliti saat ini yaitu :

Pertama, untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap rentenir adalah dengan strategi memberikan pinjaman tanpa bunga, tanpa jaminan dan tanpa potongan, diangsur dengan batas waktu maksimal 10 bulan oleh lembaga BAZNAS dengan infaq (Naning Nur Hidayah, 2018).

Kedua, menyebutkan bahwa ibu-ibu terjerat rentenir adalah karena kebutuhan modal usaha untuk berjualan. Solusi untuk menyelesaikannya adalah dengan membangun kesadaran bersama melalui pertemuan diskusi-diskusi kecil atau Focus Group Discussion secara intens. Perencanaan dan pelaksanaan programnya adalah bekerjasama dengan Lazismu untuk memberikan pinjaman tanpa bunga, dan membentuk kelompok usaha kecul menengah bernama “Pena Surya” untuk wadah simpan pinjaman dan keberlanjutan pemberdayaan ibu-ibu setelah terbebas dari belenggu rentenir (Ramadhan, 2017).

Ketiga, strategi yang diterapkan BMT untuk menyelamatkan masyarakat dari rentenir adalah inovasi produk, perekrutan anggota, layanan mudah dan nyaman, sosialisasi dan jemput bola. Selain itu, dalam analisis SWOT menyimpulkan bajwa adalah beberapa strategi yang bisa dilakukan BMT yaitu, peningkatan promosi pada media social, meningkatkan jaringan dengan para ulama/kiai dan lembaga terkait, melakukan diferensiasi dan inovasi produk dan evaluasi kinerja secara berkala (Mujaddidi, 2017).

Keempat, keberadaan koperasi (BMT), setidaknya mempunyai beberapa peran yakni sebagai berikut; pertama menjauhkan masyarakat dari praktik ekonomi non syariah. Kedua, melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. Ketiga, melepaskan ketergantungan pada rentenir. Keempat, menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata. Sedangkan faktor penentu yang mendorong pedagang kecil untuk meminjam kredit dari rentenir adalah faktor kepercayaam, faktor aksesibilitas dan faktor transaksi (Varghese, 2013).

Oleh : Agus Ahmad Nasrulloh

REFERENSI

Ascarya. (2011). The Persistence of Low Profit and Loss Sharing Financing in Islamic Banking: The Case of Indonesia. Review of Indonesian economic and business studies . LIPI Economic Research Center, 1.

Ascarya & Yumanita, D. (2010). Determinan dan Persistensi Margin Perbankan Konvensional dan Syariah di Indonesia. working paper series No.WP/10/04. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.

Firmansyah, H.M. (2019). Rentenir Berkedok Koperasi Marak di Tasikmalaya . Htpps://mediadesa.id/rentenir-berkedok-koperasi-marak-di-tasikmalaya/

Hidayah, Naning Nur. (2018). Infaq Sebagai Program Pengurangan Ketergantungan Masyarakat Terhadap Rentenir (Studi Kasus Pada Baznas Kabupaten Ngawi) . Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. Jogjakarta

Huda, Nurul & Muhammad Haykal. (2010) Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Mujaddidi, Ahmad Shibghatullah. (2017). Peran Strategis BAyt Al-Mal Wa Al-Tamwil Dalam Mengatasi Prektek Rentenir : Studi BMT NU Jawa Timur . Tesis. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Nasrulloh, Agus. (2020). Pengembalian Fungsi Baitul Mal Wa Tamwil Melalui Strategi Penyelesaian Masalah Rentenir di Tasikmalaya. Amwaluna: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah. 4(1).

Ramadhan, Syahrul. (2017). Pengorganisasian Ibu-Ibu Jamaah Aisyiyah Dalam Pengentasan Masyarakat dari Belenggu Rentenir di Kelurahan Kalijudan Surabaya . Jurnal Tajdida. Vol. 15 No. 1, Juni 2017

Ridwan, Ahmad Hasan. (2013). Manajemen Baitul Mal wa Tamwil . Pustaka Setia. Bandung.

Soemitra, Andri. (2014). Bank dan Lembaga Keuangan Syariah . Jakarta: Kencana